Majelis hakim pengadilan tinggi menilai, penjatuhan pidana tambahan tidak hanya berdasar kepada adanya kerugian negara atau uang negara yang diperoleh maupun dinikmati oleh terdakwa, tetapi juga terhadap uang atau barang gratifikasi yang diperolehnya.
Dalam hal ini, majelis hakim tingkat banding menyatakan, Gazalba Saleh dan pengacara bernama Ahmad Riyad terbukti menerima gratifikasi berupa uang senilai Rp650 juta. Dari total uang tersebut, Gazalba Saleh menerima bagian sejumlah Rp500 juta.
Uang gratifikasi tersebut terkait dengan pengurusan perkara kasasi pemilik Usaha Dagang Logam Jaya, Jawahirul Fuad yang mengalami permasalahan hukum mengenai pengelolaan limbah B3 tanpa izin pada tahun 2017.
Menurut majelis hakim PT DKI Jakarta, perbuatan Gazalba Saleh menerima gratifikasi itu termasuk dalam kategori suap karena berhubungan dengan jabatan yang berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya sebagai hakim agung.
Berdasarkan Pasal 18 ayat (2) UU 31/1999, perbuatan tersebut dapat dikenakan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti yang jumlahnya paling banyak sama dengan nominal yang diperoleh Gazalba Saleh dari Jawahirul Fuad, yakni Rp500 juta.
Lebih lanjut, majelis hakim banding menegaskan, Gazalba Saleh sebagai hakim agung seharusnya memberi contoh dan teladan yang baik, serta meningkatkan kepercayaan publik dan para pencari keadilan terhadap MA RI.
“Justru terdakwa melakukan tindak pidana menerima gratifikasi dan pencucian uang yang mencoreng dan mencemarkan nama baik lembaga MA RI. Bahwa tindak pidana korupsi adalah tindak pidana luar biasa sehingga diperlukan tindakan yang luar biasa pula untuk penanganannya termasuk kesungguh-sungguhan hakim ketika mengadilinya,” demikian pertimbangan hukum majelis hakim banding.