Badan Pengkajian MPR soroti minimnya kewenangan legislatif DPD

Badan Pengkajian MPR soroti minimnya kewenangan legislatif DPD

Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR RI Tifatul Sembiring menyoroti minimnya kekuatan legislatif Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dibandingkan lembaga serupa di negara federasi, seperti Amerika Serikat.

“Ke depan kita harus menjawab apakah kewenangan DPD akan tetap seperti itu atau diperkuat. Naskah usulan penguatan Pasal 22 D sudah dibahas dan banyak pihak mendorong agar struktur ketatanegaraan kembali pada semangat asli Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” kata Tifatul dalam keterangannya di Jakarta, Selasa..

Hal tersebut menjadi salah satu pembahasan Badan Pengkajian MPR RI melalui Kelompok IV dalam diskusi kelompok terarah (FGD) dengan tema “Sistem Keuangan Negara, Perekonomian Nasional, dan Kesejahteraan Sosial”.

Tifatul menyoroti pasal-pasal ekonomi dalam UUD NRI 1945 yaitu, Pasal 23 tentang keuangan negara, mencakup penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan undang-undang, serta pembentukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk memeriksa tanggung jawab keuangan negara.

Lalu, Pasal 33 tentang perekonomian nasional dengan dasar asas kekeluargaan, yang menekankan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama. Kemudian, Pasal 34 tentang fakir miskin dan anak terlantar (kesejahteraan sosial).

Disebutkan Tifatul bahwa APBN 2026 yang mencapai Rp3.800 triliun harus menjadi instrumen untuk pemerataan, termasuk mendukung program-program prioritas, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dinilai memiliki multiplier effect bagi sektor UMKM, pangan, dan industri turunannya.

Sementara itu, dalam paparanya, Wakil Rektor III Universitas Ibnu Sina Batam Sumardin menegaskan pentingnya sistem keuangan negara sebagai instrumen utama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan serta meningkatkan kesejahteraan sosial.

Ia menekankan bahwa pengelolaan APBN, perpajakan, pembiayaan negara, dan transfer ke daerah harus diarahkan untuk memastikan pemerataan pembangunan.

“Sistem keuangan negara harus mampu menjamin keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, bukan kelompok tertentu,” katanya.

Sumardin menuturkan bahwa perlu sinergi kuat antara pemerintah pusat, daerah, dan pelaku usaha dalam menjaga stabilitas ekonomi, mendukung pertumbuhan, serta merespons perkembangan ekonomi digital.

“Kita harus memastikan bahwa perkembangan teknologi dan ekonomi digital dirasakan merata, termasuk di daerah-daerah yang selama ini tertinggal secara jaringan maupun akses informasi,” tambahnya.

Sementara itu, Dosen Prodi Ilmu Hukum Universitas Maritim Raja Ali Haji Oksep Adhayanto mengatakan perlunya perhatian serius pemerintah pusat terhadap delapan provinsi berciri kepulauan yang hingga kini masih tertinggal dalam berbagai indikator pembangunan.

Ketimpangan tersebut bersumber dari keterbatasan kewenangan serta minimnya dukungan fiskal yang memadai bagi daerah kepulauan.

“Provinsi kepulauan selalu berada di bawah rata-rata nasional dalam hal infrastruktur, pendidikan, hingga kesejahteraan. Padahal 40 persen pulau di Indonesia berada di wilayah kepulauan, semestinya kebijakan negara juga memberi keberpihakan pada karakter geografis ini,” ujarnya.

Ia menyoroti belum terbitnya Peraturan Pemerintah tentang daerah provinsi berciri kepulauan yang telah diamanatkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.

Ketiadaan regulasi tersebut menyebabkan daerah tidak dapat mengelola potensi besar yang dimiliki, termasuk pendapatan dari sektor kelautan.

Pada kesempatan sama, Dekan FISIPOL Universitas Riau Kepulauan Askarmin Harun mengkritisi implementasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 yang mengatur hubungan keuangan pusat dan daerah.

Menurutnya, sentralisasi kewenangan melalui opsi pajak serta kebijakan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 menyebabkan pendapatan asli daerah berkurang, sehingga pembangunan dan kesejahteraan di tingkat lokal tidak merata.

Askarmin menekankan pentingnya prinsip pengelolaan keuangan negara yang profesional, terbuka, dan bertanggung jawab untuk mencapai tujuan kesejahteraan nasional.

“Setiap perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan, baik di pusat maupun daerah, wajib mempertahankan kepentingan masyarakat secara menyeluruh,” tuturnya.

Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
Editor: Didik Kusbiantoro
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.