Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Badai PHK Industri Padat Karya, Bagaimana Kondisi Tenaga Kerja Manufaktur RI?

Badai PHK Industri Padat Karya, Bagaimana Kondisi Tenaga Kerja Manufaktur RI?

Bisnis.com, JAKARTA – Serapan tenaga kerja industri pengolahan tercatat mengalami kenaikan dari tahun ke tahun, meskipun kondisi industri padat karya saat ini masih dihantui pemutusan hubungan kerja atau PHK massal. 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), industri pengolahan berada di posisi ketiga sebagai lapangan usaha yang paling banyak menyerap tenaga kerja dengan kontribusi sebesar 13,83% per Agustus 2024. 

Jumlah serapan tenaga kerja meningkat sebesar 0,66 juta orang menjadi 20,01 juta pekerja hingga Agustus 2024, dengan rata-rata upah buruh sebesar Rp3,25 juta. 

Jumlah tenaga kerja periode tersebut meningkat dibandingkan Agustus 2023 sebanyak 19,35 juta pekerja dan lebih tinggi jika dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja pada Agustus 2019 yang mencapai 19,20 juta pekerja. 

Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi Indef Andry Satrio Nugroho mengatakan, terdapat subsektor industri yang tertekan dan terus menerus memangkas pekerja. Kendati tak dipungkiri ada industri lain memiliki kinerja stabil sehingga serapan tenaga kerja terus tumbuh. 

“Kita melihat sungguh kontradiktif dengan apa yang terjadi hari ini di mana kita tahu bahwa banyak tenaga kerja juga terdampak, tenaga kerja di-PHK yang berada di industri ini,” kata Andri kepada Bisnis, dikutip Rabu (6/11/2024). 

Dia mencontohkan industri tekstil yang tengah tertekan lantaran lesunya permintaan imbas persaingan dengan produk impor legal maupun ilegal. Tak sedikit pabrik-pabrik tekstil yang mulai bertumbangan. 

Terlebih, daya beli masyarakat yang lemah membuat konsumsi produk lebih menyasar pada produk impor yang disebut lebih murah. Andry menilai perlu ada kebijakan pemerintah yang lebih melindungi industri. 

“Beberapa pelaku usaha pada akhirnya kemungkinan besar menurun, dari sisi tenaga kerja dan yang juga menurun,” imbuhnya. 

Lebih lanjut, dia menyoroti regulasi dari pemerintah saat ini masih sangat longgar dan dengan mudah membiarkan produk ilegal masuk ke pasar domestik. 

Untuk menjaga produktivitas industri pengolahan atau manufaktur, pihaknya menilai pemerintah juga perlu memberi stimulus dengan menurunkan biaya produksi, mulai dari bahan baku hingga energi.