Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Perdagangan (Kemendag) mendorong para pelaku usaha mempersiapkan diri untuk menggenjot ekspor ke pasar Uni Eropa. Hal ini menyusul rampungnya perundingan Indonesia European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (Indonesia—EU CEPA/IEU—CEPA) secara substansif pada September 2025.
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kemendag Djatmiko Bris Witjaksono menuturkan bahwa rampungnya perjanjian IEU—CEPA secara substansif memberikan waktu bagi pelaku usaha untuk menyesuaikan produk dan memenuhi standar pasar Uni Eropa sebelum perjanjian ini diimplementasikan pascaratifikasi.
Pasalnya, pasar Eropa menuntut kualitas tinggi, keamanan produk, keberlanjutan lingkungan, serta kemasan dan label yang informatif. Adapun, jika ratifikasi IEU—CEPA rampung, nantinya mayoritas produk Indonesia dapat masuk ke pasar Uni Eropa dengan tarif 0% alias bebas bea masuk.
“Jika pelaku usaha dapat menyesuaikan diri, manfaat Indonesia—EU CEPA akan terasa nyata bagi pertumbuhan ekspor Indonesia. Mayoritas produk Indonesia nantinya dapat masuk ke pasar Uni Eropa dengan tarif 0% setelah Indonesia—EU CEPA berlaku,” kata Djatmiko dalam Trade Expo Indonesia (TEI) ke-40 di Indonesia Convention Exhibition (ICE) BSD City, Kabupaten Tangerang, Banten, dikutip pada Sabtu (18/10/2025).
Djatmiko menambahkan, perkembangan signifikan dari perjanjian CEPA dengan Uni Eropa juga membuka peluang besar bagi pelaku usaha.
Meski begitu, dia mengingatkan para eksportir agar tetap bersiap untuk memenuhi standar tinggi yang ditetapkan pasar Eropa. Langkah ini dilakukan untuk memastikan produk Indonesia mampu bersaing dan memenuhi standar tinggi yang ditetapkan pasar Eropa.
Sementara itu, Atase Perdagangan RI Roma, Hesty Syntia Paramita Kusmanto menuturkan bahwa neraca perdagangan Indonesia dengan Italia menunjukkan tren positif selama lima tahun terakhir dengan surplus yang konsisten bagi Indonesia. Kemendag mencatat, produk perikanan seperti tuna, gurita, dan udang menjadi komoditas unggulan Indonesia.
“Pasar Italia dan negara-negara Eropa lainnya tetap potensial dan responsif terhadap produk Indonesia. Namun, pelaku usaha perlu memperhatikan regulasi ketat terkait kandungan logam berat, sertifikasi kesehatan, serta pelabelan dalam bahasa lokal,” beber Hesty.
Head of Trade and Economic Section of the EU Delegation to Indonesia and Brunei Darussalam, Carsten Sorensen menuturkan bahwa perjanjian IEU—CEPA merupakan peluang besar yang harus dipersiapkan dengan baik bagi dunia usaha.
“Indonesia—EU CEPA belum berlaku karena menunggu ratifikasi. Tetapi, begitu diterapkan, lebih dari 99% pos tarif akan dibebaskan. Pasar Eropa adalah pasar terbuka, namun mengedepankan kualitas, ketertelusuran, dan keberlanjutan,” jelas Carsten.
Bahkan, dia juga memastikan begitu produk Indonesia memenuhi standar tersebut, maka nantinya seluruh pasar beranggotakan 27 negara akan terbuka tanpa hambatan tambahan.
Pasar Kopi dan Furnitur
Di sisi lain, Atase Perdagangan RI Brussel, Lusyana Halmiati mengungkap bahwa pasar Eropa memiliki karakteristik yang unik dan sangat potensial terutama untuk komoditas seperti kopi dan furnitur.
Tercatat, nilai pasar kopi Eropa saat ini mencapai sekitar US$47 miliar dan diperkirakan meningkat menjadi US$67 miliar pada 2033 mendatang.
Sementara itu, nilai impor kopi UE pada 2024 mencapai US$24 miliar, atau naik 17% dibanding tahun sebelumnya. Mayoritas impor berupa biji kopi mentah dari Amerika Latin dan Asia.
Menurut Lusyana, tren konsumsi di Eropa kini semakin mengarah pada specialty coffee dan produk premium, terutama di kalangan usia 18–39 tahun yang peduli terhadap isu keberlanjutan.
Dia juga menyebut bahwa robusta berkualitas tinggi kini semakin diminati di Eropa seiring perubahan iklim global yang memengaruhi produksi arabika.
“Konsumen Eropa semakin menyukai kopi bersertifikat organik dan berkelanjutan, serta tertarik pada kisah di balik perjalanan kopi. Karakter ini menjadi peluang besar bagi kopi Indonesia yang memiliki keunikan rasa dan cerita asal yang kuat,” lanjutnya.
Selain kopi, sektor furnitur juga memiliki potensi besar di pasar Eropa. Dia menuturkan bahwa pasar furnitur Eropa merupakan yang terbesar ketiga di dunia setelah Asia Pasifik dan Amerika Utara dengan nilai mencapai sekitar 250 juta unit dan diproyeksikan meningkat menjadi 350 juta unit.
Lusyana menyampaikan bahwa sekitar 50% nilai pasar furnitur Eropa berada di segmen menengah (mid-price range) dan sesuai dengan karakter produk Indonesia.
“Belanja furnitur secara daring juga meningkat pesat, didukung digitalisasi yang memungkinkan konsumen melihat produk dalam 360 derajat di platform e-commerce,” jelas Lusy.
Meski begitu, dia menjelaskan bahwa tingginya ekspor produk kopi dan furnitur ke Eropa juga perlu memperhatikan regulasi terbaru Uni Eropa, termasuk Peraturan Uni Eropa tentang Deforestasi atau European Union Deforestation Regulation/EUDR. Kebijakan ini menuntut produk yang masuk ke Uni Eropa bebas dari aktivitas deforestasi.
“Eksportir perlu dapat menunjukkan data geolokasi asal bahan baku, kepatuhan terhadap hukum negara asal, dan melengkapi dokumen due diligence,” imbuhnya.
Untuk produk berbasis kayu, Lusyana menuturkan bahwa sertifikat legalitas seperti Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) sudah menjadi bukti kepatuhan hukum negara asal. Namun untuk kopi, lanjut dia, masih diperlukan bukti asal lahan dan rantai pasok yang legal dan berkelanjutan.
