Jakarta (beritajatim.com) – A’wan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Abdul Muhaimin, menegaskan pentingnya menjaga konstitusi organisasi Nahdlatul Ulama serta marwah jam’iyah NU di tengah dinamika yang berkembang di internal PBNU.
KH Abdul Muhaimin, yang juga Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Ummahat, Prenggan, Kotagede, Yogyakarta, menyatakan bahwa Rais Aam PBNU beserta jajaran Syuriyah NU harus tetap berpegang teguh pada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) NU serta Peraturan Perkumpulan (Perkum) yang berlaku sebagai pijakan utama tata kelola organisasi.
“Dalam menjaga keutuhan dan marwah NU, Syuriyah harus tetap berdiri di atas konstitusi organisasi dan tidak terpengaruh oleh tekanan, ancaman, atau ultimatum dari pihak-pihak yang tidak memiliki otoritas struktural,” ujar KH Abdul Muhaimin kepada wartawan, Selasa (23/12).
Ia menegaskan bahwa sikap tersebut sejalan dengan kaidah fikih dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih, yang mengajarkan bahwa mencegah kerusakan, termasuk potensi pelanggaran AD/ART dan pelemahan marwah organisasi, harus didahulukan daripada upaya meraih kemaslahatan yang berisiko menimbulkan mudarat.
Terkait berbagai ikhtiar untuk mencari jalan keluar atas dinamika di PBNU, termasuk melalui upaya ishlah, KH Abdul Muhaimin menekankan bahwa seluruh langkah tersebut harus ditempuh dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan AD/ART NU dan Perkum sebagai konstitusi organisasi.
Ia juga menyinggung forum yang disebut Musyawarah Kubro yang digelar di Pondok Pesantren Lirboyo. Menurutnya, istilah tersebut tidak memiliki dasar konstitusional dalam struktur permusyawaratan NU sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar NU.
Dalam Anggaran Dasar NU Pasal 22, kata dia, forum yang diakui secara organisasi hanyalah Muktamar, Muktamar Luar Biasa, Musyawarah Nasional Alim Ulama, dan Konferensi Besar. Selain itu, AD NU juga hanya mengenal jenis rapat seperti Rapat Kerja, Rapat Pleno, serta Rapat Harian Syuriyah dan Tanfidziyah.
“Forum di luar itu tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan setingkat Muktamar,” tegas KH Abdul Muhaimin.
Ia menambahkan bahwa Mustasyar NU tidak memiliki kewenangan struktural untuk mengundang seluruh fungsionaris NU dari tingkat PBNU hingga PWNU dan PCNU. Berdasarkan AD NU Pasal 17, Mustasyar berfungsi sebagai penasihat yang memberikan nasihat dan masukan, tanpa kewenangan eksekutif maupun legislatif.
“Nasihat boleh diberikan, diminta atau tidak diminta. Tetapi tidak ada kewenangan untuk memaksakan nasihat apalagi dengan tekanan atau ancaman. Itu justru berpotensi menjadi preseden buruk bagi jam’iyah NU,” ujarnya.
KH Abdul Muhaimin juga mengingatkan bahwa PBNU telah menyelenggarakan Rapat Pleno pada 9 Desember 2025, di mana keputusan organisasi diambil melalui forum yang sah, prosedural, dan diatur secara konstitusional. Oleh karena itu, keputusan yang dihasilkan bersifat mengikat dan wajib dipatuhi oleh seluruh pengurus serta warga NU.
Menurutnya, kehadiran sejumlah pejabat negara dalam Rapat Pleno PBNU tersebut menunjukkan pengakuan terhadap legalitas forum dan proses organisasi yang dijalankan.
“Adapun berbagai nasihat, saran, dan rekomendasi dari warga NU melalui forum non-struktural atau forum kultural tetap kita hormati sebagai aspirasi, sepanjang tidak bertentangan dengan AD/ART dan konstitusi organisasi,” kata KH Abdul Muhaimin. [beq]
