Author: Voi.id

  • Sepuluh Menit Jaga Gawang Membuat Kyle Walker Tobat Olok-Olok Kiper City

    Sepuluh Menit Jaga Gawang Membuat Kyle Walker Tobat Olok-Olok Kiper City

    MILAN – Bek sayap Manchester City, Kyle Walker mengisi posisi penjaga gawang di akhir laga melawan Atalanta. Sepuluh menit di bawah mistar membuat Walker sadar, menjaga gawang adalah tugas berat, dan tak seharusnya ia mengolok-olok penjaga gawang.

    Laga yang dihelat di San Siro, Milan berjalan ketat. Skor sama kuat 1-1 berlangsung hingga akhir laga. Namun, kejadian menarik justru terjadi di menit 81 ketika Claudio Bravo diganjar kartu merah karena tekel kerasnya menggagalkan peluang krusial penyerang Atalanta Papu Gomez.

    Hal menarik diungkap Walker usai laga. Dalam wawancara, ia mengaku kerap mengolok-olok kiper di timnya saat latihan. Namun, berdiri selama kurang lebih sepuluh menit di bawah mistar membuatnya sadar, tugas menjadi kiper adalah hal yang berat.

    “Terkadang saya mengolok-olok kiper dalam latihan ketika saya menendang (tendangan bebas) dan meminta (kiper) untuk menangkap dengan satu tangkapan. Tapi, nyatanya memang sulit,” Walker berkelakar menjawab tangkapan bola yang lepas saat mengantisipasi tendangan bebas pemain Atalanta.

    Namun, tangkapan itu tetap tercatat sebagai penyelamatan Walker di sepuluh menit aksinya. Selain penyelamatan tendangan bebas, Walker juga melakukan penyelamatan lain saat memotong umpan lambung pemain Atalanta di akhir laga.

    Manajer klub, Pep Guardiola mengomentari penampilan tim, khususnya Walker. Ia mengaku panik ketika dua kiper tim harus keluar dari lapangan. Sebelum Bravo diusir, kiper utama tim, Ederson Moraes juga harus keluar karena cedera.

    Namun, Pep tahu, Walker adalah pertaruhan yang tepat untuk mengisi posisi penjaga gawang. “Kami tidak tahu sebelumnya. Tapi, Xavi Mancisidor, pelatih kiper kami menyarankan untuk memilih Walker karena kecepatan dan keberaniannya,” kata Pep dikutip Metro, Kamis (7/11/2019).

  • Lampu Hijau Gojek Bisa Mengaspal di Malaysia

    Lampu Hijau Gojek Bisa Mengaspal di Malaysia

    JAKARTA – Ekspansi Gojek ke Malaysia membuahkan hasil. Rencananya, Gojek segera mengaspal di Negeri Jiran pada awal tahun depan, yakni Januari 2020.

    Mengutip dari Tech in Asia, Pemerintah Malaysia melalui Menteri Transportasi Anthony Loke Siew Fook, telah memberikan izin Gojek untuk beroperasi di negaranya. Loke menjelaskan, uji coba layanan Gojek ini akan berlangsung selama enam bulan.  

    “Sepeda motor akan menjadi komponen penting dalam menyediakan sistem transportasi umum yang komprehensif, sebagai mode untuk konektivitas pertama dan terakhir,” kata Loke, seperti dikutip Voi, Kamis (7/11/2019).

    Rencananya tes operasional juga dilakukan secara terbatas hanya di wilayah Lembah Klang, Kuala Lumpur. Di samping itu, pemerintah Malaysia juga tengah menyusun regulasi yang mengatur operasional ojek online.

    “Bike-hailing akan tunduk pada peraturan yang sama, seperti yang ditetapkan untuk e-hailing,” ungkap Loke.

    Pengemudi Gojek (Anto/Voi)

    Hingga sekarang, Gojek sudah mengaspal setidaknya di tiga negara Asia Tenggara, yakni Vietnam, Thailand, dan Singapura. Perjuangan Gojek untuk bisa mengekspansi negara-negara tersebut juga tidak mudah, karena sempat mengalami penolakan. 

    Sebelum ini, izin Gojek di Malaysia sempat tersendat karena pemerintah setempat melarang kendaraan roda dua dijadikan moda transportasi publik. Alasannya terkait dengan tingkat kecelakaan yang tinggi. 

    Tidak hanya di Malaysia, Gojek juga sempat terganjal di Filipina karena aturan kepemilikan saham lokal. Setidaknya 60 persen investasi perusahaan asing untuk mendapat izin operasi harus dimiliki oleh orang Filipina. 

    Kini Gojek telah tumbuh dengan pesat sejak aplikasi ini diluncurkan pada Juni 2016 lalu. Sejak saat itu, jumlah transaksi yang diproses dalam platform tersebut melesat hingga 1.100 persen atau 12 kali lipat, hingga menyandang gelar Decacorn pertama di Indonesia.

    Pertumbuhan signifikan ini menurutnya didorong oleh peningkatan permintaan konsumen akan layanan terintegrasi dari Gojek. Saat debut perdana, aplikasi ini dimulai dengan 20 mitra pengemudi. Hingga kini, Gojek telah bermitra dengan lebih dari 2 juta mitra pengemudi, 400 ribu mitra merchant dan 60 ribu penyedia jasa di Asia Tenggara.

  • Parpol Kesiangan dan Kita yang Terjebak dalam Dilema Anggaran Formula E

    Parpol Kesiangan dan Kita yang Terjebak dalam Dilema Anggaran Formula E

    JAKARTA – Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) di DPRD DKI Jakarta menyatakan penolakan pada penyelenggaraan Formula E. Protes ini sejatinya baik. Namun, sayang kesiangan. Saat ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah membayar commitment fee. Jika dibatalkan sekarang, anggaran daerah sebesar Rp360 miliar justru bisa terbuang sia-sia.

    Anggota Fraksi PSI Anthony Winza Prabowo menyampaikan alasan menolak Formula E. Menurutnya, acara ini sejatinya tak ada dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang diajukan Gubernur Anies Baswedan dalam lima tahun jabatannya.

    Alasan lain, Anthony menyoroti alokasi anggaran yang menurutnya lebih baik digunakan untuk kepentingan rakyat. Membenahi sarana dan prasarana daerah, misalnya. Bukan apa-apa. Saat ini, neraca keuangan DKI Jakarta tengah mengalami defisit.

    “Saya pikir lebih bijak kalau kita anggarkan untuk sesutau yang lebih penting. Misal, rehab gedung sekolah atau penyediaan air bersih kepada masyarakat, mengingat APBD berasal dari rakyat. Kami memandang APBD harus dapat menjawab kebutuhan daripada keinginan,” tutur Anthony ditemui di Gedung DPRD DKI, Kamis (7/11/2019).

    Terpisah, Corporate Secretary PT Jakpro Hanni Sumarmo mengatakan besar anggaran penyelenggaraan Formula E telah disepakati oleh sejumlah komisi di DPRD. Katanya, anggaran itu telah disertakan dalam APBD 2020, tahun Formula E rencananya digelar.

    “Kan sudah dibahas di Komisi B dan Komisi C. Komisi itu kan ada berbagai fraksi. Ya, sudah selesai. Sudah lolos. Artinya tidak ada masalah. Tinggal jadwal disampaikan di Banggar,” kata Hanni.

    Balap Formula E (Instagram/@fiaformulae)

    Terkait dengan wacana Formula E sebagai langkah mendorong mobil listrik di Jakarta, PSI mengkritisi. Anggota DPRD Fraksi PSI lainnya, Anggara Wicitra Sastroamidjojo menilai alasan tersebut tak masuk akal.

    Menurutnya, logika lebih masuk akal untuk menyambut mobil listrik adalah membangun infrastruktur pendukung. Bukan menyelenggarakan Formula E. “Kalau memang tujuannya untuk mendorong penggunaan mobil listrik, kita bisa kok dengan anggaran sebesar itu membangun infrastruktur menunjang mobil listrik,” kata Anggara.

    “Misalnya, pemprov bikin charger-charger mobil listrik di ribuan tempat. Beli juga ratusan bus listrik. Tapi, kenapa Pak Anies cuma bikin event panggung,” tambahnya.

    Dilema

    Kritik PSI barangkali beralasan. Tapi, menolak Formula E bisa jadi malah menimbulkan kerugian lebih besar bagi daerah. Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus jadi salah satu yang menyoroti dilema tersebut.

    “Jika sudah mengeluarkan anggaran ratusan miliar seperti itu, ya sayang juga. Terbuang begitu saja kalau dibatalkan,” kata Lucius dihubungi VOI, Kamis (7/11/2019).

    Menurut Lucius, PSI perlu memahami bahwa ada anggaran sebesar Rp360 miliar yang telah digelontorkan Pemprov DKI. Maka, meski kritik PSI masuk akal, sejatinya penolakan ini kesiangan.

    Namun, Lucius juga memahami posisi PSI yang belum masuk DPRD ketika commitment fee disetujui masuk dalam APBD 2019. Maka, PSI harus mengambil langkah politik yang lebih strategis untuk menyatakan penolakan ini.

    Saat ini, PSI harus melakukan pendekatan kepada partai-partai politik di DPRD untuk mencari solusi dari dilema ini. Langkah strategis tentu dibutuhkan. Sebab, partai-partai lain di DPRD adalah mereka yang menyetujui anggaran commitment fee Rp360 miliar. 

    “Makanya, dalam pertimbangan penolakan ini, PSI mesti membicarakan dulu kepada seluruh anggota DPRD dalam proses pembahasan anggaran itu,” kata Lucius.

    Anies Baswedan bersama perwakilan FIA Formula E (Instagram/@aniesbaswedan)

    PSI sendiri telah menyampaikan bahwa mereka akan menyatakan penolakan ini di forum resmi, yakni pembahasan di Banggar DPRD DKI Jakarta. PSI juga akan mempertanyakan kajian investasi Formula E yang sampai saat ini belum diserahkan Pemprov DKI.

    “Kami sedang coba bangun komunikasi. Kebetulan, dari 106 lebih, setengahnya kan anggota dewan baru. Kami mencoba komunikasi angggota dewan lain untuk menyamakan visi dan misi,” ucap Anggara. 

    Sebagai informasi pelengkap, pada Jumat (20/9) lalu Anies resmi mengumumkan ke publik bahwa Jakarta bakal menjadi tuan rumah Formula E. Acara yang digelar dengan nama Jakarta E-prix akan diselenggarakan pada 6 Juni 2020.

    Demi bisa menyelenggarakan Formula E, Pemprov DKI mengajukan anggaran mencapai sekitar Rp1,6 triliun dengan rincian Rp360 miliar untuk commitment fee kepada federasi Formula E, Rp934 miliar dana penyelenggaraan yang akan dikelola oleh Dinas Pendidikan dan Olahraga (Dispora) DKI, serta Rp305,2 miliar biaya penyelenggaraan yang dibutuhkan Jakpro.

  • Merasakan Mati Agar Hidup Lebih Berarti di Korea Selatan

    Merasakan Mati Agar Hidup Lebih Berarti di Korea Selatan

    JAKARTA – World Health Organization (WHO) mencatat, Korea Selatan merupakan salah satu negara dengan tingkat bunuh diri tertinggi di dunia. Tahun ini, Negeri Gingseng itu mendapat peringkat ke-4 setelah Lituania, Rusia, dan Guyana. 

    Bunuh diri di Korea Selatan paling banyak dilakukan oleh orang tua dan anak muda. Ada faktor yang mendasari hal ini. Di Korea Selatan, seorang anak diharapkan untuk merawat orang tua mereka ketika mereka menjadi lansia. Agar tidak menjadi beban bagi anak, orang tua sering kali memutuskan untuk mengakhiri hidup.

    Anak muda di Korea Selatan juga mengalami hal yang tak kalah menyedihkan. Sering kali, mereka dituntut untuk mencapai nilai akademis yang bagus. Karena itu, ketika mereka merasa tidak puas dengan hasil dan takut mengecewakan orang tua, mereka memilih untuk bunuh diri agar tidak menjadi beban.

    Untuk menghentikan fenomena ini, pemerintah Korea Selatan terus berusaha meningkatkan panduan kesehatan mental. Gunanya agar masyarakat berani menyuarakan apa yang mereka rasakan. Jembatan Mapo, yang biasa dijadikan tempat mengakhiri hidup juga dipasangkan penanda seperti tanda semangat untuk orang-orang yang melewati jembatan tersebut.

    Jembatan Mapo di Korea Selatan. (Yujin Ko/Pixabay) 

    Tidak hanya pemerintah, perusahaan perkantoran dan sekolah juga mencoba berbagai usaha agar mengurangi angka bunuh diri yaitu dengan belajar mengapresiasi hidup. Ada banyak cara untuk mengapresiasi, tetapi yang dibuat kali ini berbeda. Masuk ke peti mati adalah satu siasat sebuah perusahaan. Kegiatan ini disebut living funerals.

    Bagaimana cara kerja living funerals ini? Di sebuah ruangan, para peserta masuk memakai jubah putih lalu duduk di depan meja dan menulis surat terakhir untuk orang yang mereka cintai. Kemudian, mereka masuk ke dalam peti mati yang diatur terbuka dan memeluk foto untuk peti mereka.

    Setelah masuk dan berbaring di dalam peti mati, seorang laki-laki memakai pakaian serba hitam dengan topi hitam datang menutup peti tersebut. Ia biasa disebut malaikat kematian. Selama di dalam peti, mereka akan membayangkan apa yang mereka lalui sepanjang hidup mereka.

    Sama seperti perusahaan, sekolah-sekolah di Korea Selatan melakukan hal yang sama. Disebut sebagai program “Death Experience”, sekolah menunjukkan bagaimana rasanya ketika mati. Setelah merasakan pengalaman tersebut untuk 10 menit, kemudian peserta akan bangun. Kepala program itu kemudian berkata, “Anda telah melihat seperti apa kematian. Anda hidup, dan Anda harus berjuang!” dikutip dari Elite Readers.

    Hal ini dibuat agar peserta bisa memahami bahwa sebuah masalah juga bagian dari hidup. Hidup ini perlu diapresiasi agar kita bisa menjalaninya dengan baik. Dan pengalaman ini juga bisa mengubah cara perspektif seseorang, salah satunya Cho Yong Tae.

    Dilansir dari BBC, pengalaman ini menyadarkan bahwa Ia harus memulai sebuah cara hidup yang baru. “Saya sadar, saya melakukan banyak kesalahan. Saya berharap lebih passionate dalam pekerjaan yang saya lakukan dan meluangkan waktu bersama keluarga.”

    Jeong Yong-Mun, pengelola Hyowon Healing Center merasa pengalaman ini diperlukan agar peserta bisa mengatasi masalah mereka yang menjadi bagian kehidupan. Kata dia, sebagai manusia, kita perlu belajar menerima sebuah keadaan tetapi tidak tinggal diam begitu saja. Di samping itu, Healing Center juga mengajarkan untuk membiasakan tertawa bersama orang terdekat. Hal itu membantu perasaan menjadi rileks. Memberi semangat kepada satu sama lain juga menjadi cara mengapresiasi hidup. 

    Bagaimana? Apakah Anda tertarik mencoba pengalaman ini?

  • Beban Idham Azis soal Polisi yang Kerap Langgar Hak Minoritas

    Beban Idham Azis soal Polisi yang Kerap Langgar Hak Minoritas

    JAKARTA – Kepolisian tercatat sebagai salah satu institusi yang paling banyak melakukan pelanggaran terhadap hak-hak minoritas. Tugas berat menanti kepala polisi yang baru, Idham Azis.

    Laporan riset tentang kebebasan beragama yang dilakukan Setara Institute menempatkan kepolisian sebagai aktor dari negara yang paling menonjol dalam keterlibatan terkait diskriminasi kebebasan beragama. Setidaknya, ada 480 pelanggaran yang dilakukan kepolisian dalam 12 tahun terakhir.

    Jadi ironis. Sebab, sebagai penyelenggara negara, polisi harusnya jadi pelindung hak warga negara atas kebebasan beragama atau berkeyakinan. Namun, hal ini tidak berbanding lurus dengan adanya fakta jika polisi jadi salah satu aktor pelanggar aktual yang menonjol selain pemerintah daerah.

    “Pertanyaannya, apakah kepolisian selalu optimal dalam melindungi hak konstitusional setiap warga negara, terutama untuk kelompok minoritas? Saya kira tidak. Sehingga kita berikan kritik serius terhadap kepolisian karena tidak melakukan fungsi optimal mereka,” kata Direktur Riset Setara Institute Halili dalam sebuah diskusi di Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (7/11/2019).

    Berkaca dari fakta ini, tugas berat kini dibebankan kepada Idham Azis sebagai kepala kepolisian yang baru. Melindungi hak-hak golongan minoritas untuk beragama sepenuhnya jadi tugas utama Idham Azis. Menurut Halili, tugas ini bukan hal mudah. Berkaca pada kepemimpinan terdahulu, misalnya. Tito Karnavian bahkan dinilai gagal mewujudkan hal ini.

    “Persoalan yang paling bisa kita tagihkan ke Kapolri baru mestinya menunjukkan kepimpinan yang menonjolkan kebhinekaan … Kita harus tetap kritisi kalau fakta di lapangan, begitu banyak minoritas yang menjadi korban kebebasan beragama dan berkeyakinan,” katanya.

    Pembenahan internal kepolisian

    Berkaitan perlindungan terhadap masyarakat minoritas, Setara mendorong Idham Azis membenahi sektor internal Polri. Sebab, beberapa anggota kepolisian telah terpapar pemikiran radikalisme dan hal ini dibuktikan dengan adanya penangkapan terhadap anggota mereka.

    “Mulai dari Brigadir K di Jambi pada tahun 2018 hingga Bripda NOS yang dua kali ditangkap pada 2019. Maka mendesak bagi Kapolri melakukan audit tematik dalam jabatan atas petinggi serta screening ideologi dalam rekrutmen di lingkungan internal,” kata Halili.

    Tak sampai di situ, berdasarkan survei yang mereka lakukan di tahun 2017 yang lalu, ada potensi ancaman yang nyata terhadap Pancasila. Potensi ini terendus dengan adanya upaya mengganti dasar negara Pancasila dengan dasar atau ideologi lain.

    Tercatat, dari 171 sekolah yang mereka survei ada 0,3 persen siswa terpapar ideologi teror; 2,4 persen intoleran aktif; 35,7 persen intoleran pasif dan 61,6 berperilaku toleran. Sedangkan di tahun 2019, dengan mengambil sampel dari sepuluh perguruan tinggi negeri tercatat 8,1 persen mahasiswa ingin berjihad untuk menjadikan keyakinannya sebagai regulasi formal negara.

    “Untuk ASN, kami punya studi kebijakan tahun 2018 yang mengonfirmasi bahwa ASN itu terpapar radikalisme, dalam konteks ini anggota kepolisian juga,” jelasnya.

    Sehingga, berdasar angka tersebut, Halili mengatakan pihak kepolisian harus mengambil peran yang tepat terutama terkait penegakan hukum dan pencegahan ancaman terhadap dasar negara sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Tentunya, penegakan dan pencegahan ini harus dilakukan secara demokratis dan tidak menggunakan cara kekerasan.

    “Pendekatan demokratis dan non-kekerasan harus dikedepankan dalam menangani ancaman tersebut, sebagaimana pendekatan yang sama juga harus dipilih sebagai prioritas dalam penanganan aksi-aksi damai,” tutupnya.

  • Cat, Pasir, dan Helm Berharga Miliaran di Anggaran Pemprov DKI

    Cat, Pasir, dan Helm Berharga Miliaran di Anggaran Pemprov DKI

    JAKARTA – Pengajuan anggaran ganjil DKI kembali ditemukan dalam draf kebijakan umum anggaran-plafon prioritas anggaran sementara itu (KUA-PPAS) tahun 2020. 

    Anggaran ini ditemukan oleh Anggota Fraksi PDIP DPRD DKI Ima Mahdiah. Ima bilang, ada beberapa komponen anggaran yang tak masuk akal dari Dinas Pendidikan DKI Jakarta. 

    Temuannya adalah pengadaan pasir sebesar Rp52,16 miliar, helm proyek Rp34,27 miliar, cat tembok sebesar Rp18,91 miliar, thinner Rp40,1 miliar, cat minyak berwarna Rp19,78 miliar, dan kaca bening Rp18,54 miliar. 

    “Anggaran ini masuknya ke bantuan operasional pendidikan (BOP), yaitu alat peraga sekolah Disdik DKI. Berarti kan bukan untuk rehabilitasi sekolah. Untuk apa coba pasir, cat, tiner seperti ini,” kata Ima saat ditemui di Gedung DPRD DKI, Kamis (7/11/2019).

    Rincian komponen pengajuan anggaran ini ia dapatkan dengan meminta langsung ke satuan kerja perangkat daerah (SKPD) setelah pembahasan dengan Komisi E DPRD DKI. 

    Ima meragukan komponen yang ia temukan tersebut adalah dummy atau bersifat sementara. Pasalnya, temuan anggaran ganjil tersebut disisir dari draf KUA-PPAS yang baru.

    “Kita memang sudah dikasih PDF-nya, tapi itu draf KUA-PPAS yang masih memiliki total anggaran Rp95 triliun. Nah, temuan anggaran ini masuk dalam KUA-PPAS yang sudah direvisi menjadi Rp89 triliun. Jadi aku minta yang terupdate, setelah kita nyisir ketemu ini lah,” jelas Ima. 

    Ima mengakui, pembahasan detail komponen anggaran yang diajukan dilakukan setelah revisi KUA-PPAS disahkan, kemudian lanjut di pembahasan rancangan APBD (RAPBD). 

    Tapi, menurut dia, DPRD perlu mencermati komponen secepatnya. Mengingat, dalam satu Komisi, ada ratusan ribu komponen yang mesti diteliti agar tak ada anggaran ganjil yang berpotensi lolos dari pembahasan. Terlebih, pengesahan APBD sudah mesti diketok pada akhir November. 

    “Untuk ngebahas ini, setidaknya ini memang dibahasnya ketika RAPBD, cuma inikan dikasih ke kita dulu dong. Masa mereka udah bikin kegiatan tapi belum ada komponennya, karena alasannya mereka baru berkegiatan, komponennya belum ada. Kan enggak mungkin,” pungkas dia. 

  • Jaksa Agung Pertimbangkan Menghapus Program TP4 di Kejaksaan

    Jaksa Agung Pertimbangkan Menghapus Program TP4 di Kejaksaan

    JAKARTA – Jaksa Agung ST Burhanuddin menyatakan akan melakukan evaluasi terhadap program-program Tim Pengawal, Pengamanan Pemerintah, dan Pembangunan (TP4) yang selama ini digerakkan kejaksaan dalam mengawal proyek pemerintah baik di pusat maupun daerah.

    Burhanuddin mengatakan, bila hasil evaluasi yang dilakukan pihaknya tersebut menyebutkan TP4 terbukti mengandung banyak potensi penyalahgunaan, maka TP4 bisa saja dibubarkan.

    “Kami akan evaluasi, kalau perlu saya bubarkan,” katanya, dalam rapat bersama Komisi III DPR RI, di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/11).

    Awalnya, sejumlah komplain terkait TP4 itu muncul dalam rapat antara Komisi III DPR RI dan Kejaksaan Agung berserta Kejati seluruh Indonesia. Sejumlah anggota dewan menyayangkan adanya penyalahgunaan wewenang TP4 yang dilakukan oleh oknum Jaksa.

    Padahal, TP4 seharusnya digunakan untuk mengawal proyek pemerintah agar tak terjadi penyimpangan, baik di daerah dengan TP4 Daerah maupun TP4 di tingkat pusat.

    TP4 menjadi keweangan penuh Kejaksaan ini, dikhawatirkan oleh para anggota komisi III dapat memunculkan potensi penyelewengan.

    Terkait evaluasi sendiri, Baharuddin tak memberikan tenggat waktu secara spesifik. Meski begitu, ia berharap evaluasi dapat dilakukan secepatnya. Sehingga, muncul keputusan apakah TP4 ini akan dibubarkan atau dilanjutkan.

    “Kan nanti dievaluasi. Nanti apakah kita akan bubarkan (atau) diganti dengan program lain. Yang jelas ini program tadinya kan benar. Kemudian ada oknum-oknum tertentu yang menyalahgunakan,” tuturnya.

  • Polisi Perpanjang Catatan Kasus Salah Tangkap

    Polisi Perpanjang Catatan Kasus Salah Tangkap

    JAKARTA – Polisi memperpanjang kasus salah tangkap. Kesalahan terbesar polisi adalah menjadikan pengakuan tertuduh sebagai faktor utama pengusutan perkara.

    Hari ini, jagat media sosial dihebohkan dengan beredarnya rekaman video yang memperlihatkan aksi penangkapan seorang pria di depan warung kelontong. Video itu diperbincangkan lantaran adanya narasi yang menyebut bahwa pria itu merupakan korban salah tangkap dalam kasus narkoba.

    Narasi pada video itu juga tertulis soal tudingan bahwa polisi sengaja menjebak pria tersebut. Sebab, dikatakan bahwa anggota buser dengan sengaja menyelipkan narkoba di dalam bungkus rokok milik pria tersebut.

    Selain itu, video yang diunggah akun media sosial Facebook, Munx Guevara, juga memperlihatkan adegan dimana anggota polisi menodongkan senjata api. Dikatakan, peristiwa itu tejadi di kawasan Tegal Alur, Kalideres, Jakarta Barat.

    Dikonfirmasi perihal peristiwa itu, Kapolsek Kalideres AKP Indra Maulana membenarkan soal penangkapan. Namun, penindakan terhadap pria yang belakangan beridentitas Ade Gunawan itu bukan dilakukan oleh anggotanya.

    Melainkan, penindakan itu dilakukan oleh anggota Polsek Cengkareng. Akan tetapi, Maulana enggan berkomentar banyak soal penangkapan itu dengan alasan bukanlah kapasitasnya. “Itu (Penindakan) bukan anggota kami. Anggota Polsek Cengkareng. Hanya TKP nya aja di tempat kami,” katanya.

    Sementara, dikonfirmasi hal serupa, Kapolsek Cengkareng Kompol H. Khoiri membenarkan bahwa anggotanyalah yang melakukan penangkapan. Namun, ia membatah perihal kebenaran narasi yang menyebut bahwa penindakan itu merupakan jebakan.

    Penangkapan terhadap Ade, dikatakannya berdasarkan kecurigaan adanya transaksi narkotika. Sebab sebelumnya ada informasi adanya transaksi narkotika dan juga ditemukan sabu tak jauh dari lokasi tersebut.

    Bahkan, dikatakan bahwa saat ini Ade telah dikembalikan ke orangtuanya lantaran tak terbukti memiliki atau terlibat dalam jaringan narkotika. “Tapi kan Ade tidak terbukti, makanya kita lepas,” ungkapnya.

    Dikesempatan yang sama, Kanit Reskrim Polsek Cengkareng, AKP Antonius menambahkan bahwa penangkapan tehadap Ade merupakan upaya pengungkapan narkoba jaringan lapas. Sebelumnya, dua orang, P (35) dan UJ (27) ditangkap dengan barang butki tiga paket sabu.

    “Jadi setelah kita kembangkan, kami mendapati rencana transaksi lain. Saat itu anggota mengamankan Ade karena tak jauh dari temuan narkoba,” singkatnya.

    Perpanjang catatan

    Menurut catatan KontraS, ada 51 kasus salah tangkap sejak Juli 2018 hingga Juni 2019. “Ada yang didapatkan dari monitoring media dan ada juga yang kita bantu pendampingan,” kata Kepala Divisi Pembelaan HAM Kontras Arif Nur Fikri ditulis Kompas.

    Menurut Arif, kebiasaan polisi berfokus pada pengakuan orang tertuduh jadi penyebab banyaknya kasus salah tangkap. Kebiasan itu sejatinya menyalahi Undang-Undang (UU).

    Pasal 184 Ayat 1 KUHAP menyebutkan, pengakuan seharusnya jadi pertimbangan terakhir penyidik untuk menetapkan tersangka. Bukan dijadikan faktor utama.

    “Ketika pengakuan dari terduga tersangka itu sudah didapatkan, tinggallah disusun bukti-bukti oleh penyidik. Padahal kalau di KUHAP, pengakuan dari terduga tersangka itu berada di urutan terakhir … Fakta di lapangan, kita banyak menemukan kasus-kasus yang diduga salah tangkap itu berawal dari pengakuan orang yang disangkakan,” kata Arif.

  • Masyumi Mati Namun Kadernya Abadi

    Masyumi Mati Namun Kadernya Abadi

    JAKARTA – Pada awal masa kemerdekaan Indonesia, kita tahu sempat ada Partai Islam yang punya kekuatan politik besar yakni Masyumi (Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Partai itu didirikan hari ini hingga 7 November 74 tahun lalu. Meski hari ini partai Masyumi telah bubar, tapi gagasannya masih hidup, “kadernya” masih ada. 

    Masyumi dulunya merupakan himpunan berbagai organisasi Islam yang ada di berbagai daerah di Indonesia saat masa penjajahan Jepang. Diantaranya Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Perti, PSII dan lain sebagainya. Mereka diizinkan menghidupkan kembali Islam A’la Indonesia (MIAI) oleh Balatentara Djepang pada 4 September 1942. 

    Lalu setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, pada 3 November 1945 lewat Maklumat Pemerintah No. X, pemerintah menganjurkan untuk membentuk partai-partai politik. Maka partai-partai politik pun lahir dan salah satunya Masyumi.

    Masyumi didirikan oleh beberapa tokoh Islam seperti Agus Salim, Abdul Kahar Muzakhar, Soekiman Wirosandjojo, Ki Bagus Hadikusumo, Muhammad Natsir dan lainnya. Menurut Anggaran Dasar Masyumi yang disahkan oleh KUII pada tahun 1945, mereka mempunya tujuan untuk menegakan kedaulatan negara Republik Indonesia dan agama Islam dan melaksanakan Cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan.

    Dalam keanggotaannya, Masyumi punya dua macam, yakni perseorangan dan anggota inti (organisasi). Anggota perseorangan minimum berumur 18 tahun atau sudah kawin. Ia yang terdaftar kader perseorangan tidak boleh merangkap keanggotaan partai lain. Sementara Anggota Perseorangan mempunyai hak suara, sedangan anggota organisasi (anggota istimewa) punya hak untuk memberi saran atau nasihat. Ide dualisme anggota ini merupakan strategi mereka untuk memperbanyak kader.

    Jatuh bangun Masyumi

    Menurut Aris Sumanto dan Zulkarnain dalam tulisannya “Perkembangan Politik Partai Masyumi Pasca Pemilu 1955” yang dimuat Jurnal Risalah Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta (2016), dari awal berdirinya Masyumi, partai ini sudah menunjukan jatuh bangun. 

    Pada kurun waktu 1945-1949 misalnya, anggota partai Masyumi sudah berhasil duduk di pemerintahan. Sayangnya, baru saja mendapat posisi di pemerintahan, bibit perpecahan sudah terjadi. Salah satu kadernya Amir Sjarifuddin membentuk Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Peristiwa ini lantas menimbulkan keretakan dalam kalangan Masyumi walaupun dampak dari keluarnya itu tidak begitu besar. 

    Berdirinya PSII kembali disebabkan karena kekecewaan sebagian politisinya di Partai Masyumi yang tidak mendapatkan peran dan kedudukan kurang strategis seperti Wondoamiseno dan Arundji Kartawinata. Partai Masyumi akhirnya bersedia ikut dalam kabinet, meskipun sebelumnya menolak kebijakan Amir.

    Lalu pada periode 1950-1955 partai Masyumi juga menunjukan dinamika naik turun. Pada tahun 1952 saat kabinet dipimpin Wilopo, muncul ketegangan dengan keluarnya NU dalam Masyumi. Keluarnya NU ditandai dengan terpilihnya KH Fakih Usman (unsur Muhamadiyah dalam NU) menjadi Menteri Agama dalam kabinet Wiloppo.

    Perpolitikan terus berlanjut. Masyumi yang sudah ditinggal PSII dan NU terus maju hingga pemilihan umum 1955. Hasilnya, Masyumi menjadi partai pemenang suara terbanyak kedua setelah PNI.

    Akhirnya dibubarkan

    Intrik politik Masyumi pasca pemilu 1955 mulai semakin meruncing. Pada tahun 1957 misalnya ketika presiden hendak menyatukan keempat partai pemeinang pemilu, Masyumi, NU menolak dan menentang keterlibatan PKI, Karena di beberapa kabinet sebelumnya terjadi perdebatan dengan PKI seperti misalah Tanjung Morawa. 

    Penolakan itu berbuntut panjang. Tokoh Masyumi seperti  Natsir, dan Sjarifuddin Prawiranegara pergi ke Sumatera Barat memproklamirkan PRRI (Pemberontak Revolusio Republik Indoesia) pada 15 Februari 1958. 

    Akibat aksi pemberontakan itu pemerintah mengambil jalan tegas untuk menghentikannya. Padang dan kota-kota lain di Sumatera Barat di bom angkatan perang pemerintah, demikian juga Manado dan beberapa kota Sulawesi. Kekuatan PRRI akhirnya padam. 

    Sementara itu, menurut M. Dzulfikriddin dalam bukunya Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia: Peran dan Jasa Mohammad Natsir dalam Dua Orde Indonesia (2010) setelah pemberontakan, Masyumi dikucilkan. Anggota partai ini tak diajak dalam DPR-GR yang dibentuk Sukarno.

    Kunjungan Soekarno di Kongres Masyumi tahun 1954 (Commons Wikimedia)

    Masih menurut Mohammad Roem mengatakan, Sukarno ingin Masyumi mengutuk anggotanya yang ikut PRRI. Masyumi menolak. Karena itu, Sukarno lantas berpikir untuk membubarkan Masyumi. Partai Sosialis Indonesia, yang menyalahkan dan mengutuk Soemitro Djojohadikusumo serta memecatnya dari keanggotaan PSI, tetap dibubarkan Sukarno.

    Lebih lanjut, menurut M. Dzulfikriddin, pada 17 Agustus 1960, Masyumi menerima surat dari Direktur Kabinet Presiden, menyampaikan Keputusan Presiden Nomor 200/1960. Prawoto Mangkusasmito selaku Ketua PP Masyumi segera bermusyawarah untuk mengambil tindakan. Pada 13 September 1960, PP Masyumi menyatakan bahwa Partai Masyumi dibubarkan. Pernyataan itu dilakukan kurang dari sebulan sejak Keppres Nomor 200/1960 dikeluarkan.

    Jadi, Masyumi membubarkan diri setelah Keppres dikeluarkan pemerintah. Menurut Delmus Puneri Salim dalam bukunya The Transnational and the Local in the Politics of Islam: The Case of West Sumatra Indonesia (2015), pemimpin Masyumi, Syafruddin dan Natsir dipenjara setelah dituding terlibat PRRI dan DI/TII.

    Kadernya abadi

    Meskipun secara bentuk Masyumi telah tiada, namun secara ide mereka masih ada. Apabila dirunut kader ideologisnya tetap hidup. Salah satunya adalah tokoh Islam keturunan Arab, Abu Bakar Ba’asyir. Pria yang biasa juga dipanggil Ustaz Abu itu merupakan pemimpin Majelis Mujahidin Indonesia serta salah seorang pendiri Pondok Pesantren Islam Al Mu’min. 

    Ia merupakan sosok yang menolak ikrar setia kepada NKRI dan Pancasila. Menurutnya selain hukum Al-Quran dan hadits adalah thaghut. Ba’asyir punya teman sejawat yang paling berpengaruh, namanya Adbullah Sungkar, pengurus al-Irsyad Solo. Bersama Sungkar, mereka membuat radio dakwah di Surakarta. 

    Tahun 1970, Sungkar dan Ba’asyir direkrut M. Natsir yang merupakan Ketua Masyumi. Mereka direkrut menjadi pimpinan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Cabang Solo. DDII berperang besar menyebarkan ideologi salafi jihadi ke Indonesia.

    Satu lagi orang yang punya warisan dari Masyumi adalah Politisi Yusril Ihza Mahendra. Yusril adalah salah seorang yang mendirikan Partai Bulan Bintang (PBB). Partai yang digagas oleh 22 Ormas Islam itu disebut-sebut sebagai pewaris Partai Masyumi. 

    Seperti dijelaskan pada laman partaibulanbintang.or.id, PBB didukung oleh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Seperti diketahui DDII merupakan ormas yang didirikan oleh mantan Ketua Umum Partai Masyumi, M. Natsir. 

    Yusril adalah orang yang sangat mengidolakan M. Natsir. Tak ayal Yusril bahkan sering disebut sebagai murid terbaik M.Natsir selain tokoh Islam Noercholis Madjid. Bahkan Yusril kerap disebut sebagai Natsir muda.

  • Dewan Pengawas KPK Dianggap Berbahaya, Pemerintah Tetap Cari Nama

    Dewan Pengawas KPK Dianggap Berbahaya, Pemerintah Tetap Cari Nama

    JAKARTA – Gelombang penolakan terkait pembentukan Dewan Pengawas KPK terus bermunculan. Salah satunya Indonesia Corruption Watch (ICW) yang secara tegas menyatakan, kehadiran Dewan Pengawas KPK justru membahayakan kerja lembaga antirasuah dalam menjalankan tindak pemberantasan korupsi.

    “Dewan pengawas itu berbahaya jika dicangkokkan dalam tubuh KPK. Meskipun nantinya mereka akan selalu memberikan izin penyadapan tapi potensi bocornya sangat tinggi,” kata Koordinator ICW, Adnan Topan Husodo saat dihubungi Voi.id lewat pesan singkat, Kamis (7/11).

    Apalagi, Adnan menilai dewan pengawas ini lahir dari manuver politik penyusunan UU KPK baru. Selain itu, proses penerbitan undang-undang tersebut tidak berjalan secara akuntabel dan bukan kebijakan publik yang menggunakan prinsip penyelenggaraan pemerintah yang terbuka.

    “Jadi kami tentu menolak semua produk yang yang dihasilkan oleh UU KPK baru,” tegasnya.

    Meski banyak penolakan, nyatanya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tetap jalan terus untuk menentukkan Dewan Pengawas KPK. Tapi, ICW mengatakan pihaknya tetap konsisten dengan tidak menyetujui dewan yang diamanatkan oleh Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 dan mempersilakan masyarakat untuk melakukan penilaian sendiri.

    “Masyarakat yang akan menilai sendiri nanti konsekuensi semua UU KPK baru ini terhadap program dan agenda pemberantasan korupsi,” ujar dia.

    Di sisi lain, Presiden Jokowi telah bergerak cepat dalam mencari nama-nama yang bakal duduk sebagai Dewan Pengawas KPK. Jokowi pun menunjukkan Menteri Sekretaris Negara, Pratikno untuk memimpin tugas menyeleksi orang-orang yang akan menduduki jabatan tersebut.

    “Sementara ini di bawah Pak Pratikno. Semua prosesnya di bawah Pak Pratikno,” kata Juru Bicara Istana Kepresidenan Fadjroel Rachman di Jakarta.

    Tahapan mencari calon dewan pengawas ini, bakal dilakukan dengan mengundang sejumlah tokoh masyarakat yang kompeten di bidangnya untuk dimintai pendapat. “Ada orang yang dimintai nasihat, ada orang yang menyampaikan melalui Setneg atau secara langsung ke Presiden,” jelasnya.

    Adapun kriteria yang dibutuhkan untuk posisi dewan pengawas adalah berusia 55 tahun dan berpendidikan minimal S1 sesuai dengan UU KPK baru. Tak hanya itu, hampir mirip dengan pemilihan pimpinan KPK, dewan pengawas juga diharuskan punya kualifikasi di bidang pendidikan, hukum, dan perbankan.

    Fadjroel juga menegaskan, masyarakat tak perlu khawatir karena nantinya dewan pengawas lembaga antirasuah itu akan dipilih secara selektif, kredibel, dan kompeten.

    Dalam kesempatan itu, Komisaris Utama PT Adhi Karya Persero tersebut menegaskan tak ada nama mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama (Ahok) dan mantan Ketua KPK Antasari Azhar sebagai calon Dewan Pengawas KPK. “Tidak ada secara khusus yang disebutkan,” ucap Fadjroel.

    Kemungkinan Ahok dan Antasari Azhar masuk menduduki jabatan itu juga secara halus dimentahkan oleh Fadjroel. Sebab keduanya pernah tersangkut kasus pidana, Ahok pernah divonis 2 tahun pidana akibat ujaran kebencian dan Antasari pernah divonis 12 tahun akibat kasus pembunuhan.

    “Yang ada bahwa kriteria itu saja, kalau mereka lulus S1, mereka berusia 55 tahun, mereka tidak pernah jalani tindak pidana. Tentu yang pernah menjalani pidana korupsi secara khusus diperhatikan,” tutupnya.