Jakarta –
Selama beberapa tahun terakhir, membawa tumbler bukan lagi sekadar cara mengurangi sampah plastik. Di kalangan pekerja urban dan Gen Z, tumbler sudah menjelma jadi bagian dari gaya hidup, bahkan jadi koleksi yang jumlahnya bisa belasan.
Archie (30) misalnya, punya lebih dari 10 tumbler dan masih terus menambah koleksi baru. Ia bukan tipe yang terlalu peduli dengan fitur super-teknis seperti kemampuan menahan panas atau dingin.
“Kalau it looks cool, I’ll buy,” katanya.
Harga bukan penghalang, sebagian besar tumbler yang ia beli berada di kisaran Rp400-500 ribu, mayoritas berbahan stainless.
Meski awalnya karena estetika, kebiasaan membawa tumbler ternyata berdampak pada gaya hidupnya. Archie lebih rajin minum air putih karena tumbler selalu ada di tas. “Hampir setiap keluar sih bawa tumbler,” ujarnya.
Selain itu, motif membeli tumbler kadang bersifat impulsif atau “ter-influence” dari tren atau desain menarik. Archie bahkan mengoleksi tumbler dari seri tertentu ketika bepergian ke berbagai kota atau negara, semacam souvenir yang fungsional.
Dari Lucu Jadi Butuh
Tumbler merupakan nama lain dari insulated water bottle. Berbeda dari botol biasa, tumbler hadir dengan teknologi vacuum insulated double-wall atau triple-wall insulation yang mampu menjaga suhu minuman selama 12-48 jam.
Ica (29), punya 13 tumbler yang disimpan di rumah dan di kantor. Favoritnya adalah tumbler air dingin, karena membuatnya lebih semangat minum. Kapasitasnya pun bervariasi, 300 ml sampai 1,5 liter, dengan harga rata-rata serupa: Rp 300-500 ribu.
“Membantu banget. Gue bisa minum 2-2,5 liter sehari. Minimal 1,5 lah kalau pake tumbler dingin,” ujarnya. Ia memilih tumbler yang ringan, tahan dingin, dan nggak bau besi.
Psikologi di balik koleksi tumbler
Tren koleksi tumbler juga lagi hangat-hangatnya di banyak warga dunia. Beberapa bahkan jadi kolektor brand tumbler tertentu, misalnya Corkcicle, Stanley sampai Chako Lab.
Psikolog konsumen yang berspesialisasi dalam bidang persuasi, pengaruh sosial, dan pengendalian diri Josh Clarkson mengatakan beli tumbler, terutama yang berlabel ‘limited edition’, bisa langsung menyentuh minat konsumen.
“Anda melabeli sesuatu sebagai terbatas dan entah bagaimana hal itu dapat meningkatkan stok atau nilainya di benak orang-orang, tidak harus dalam nilai finansial,” katanya kepada USA Today.
Dia juga mengatakan bahwa pengoleksi tumbler cenderung menyamakan sesuatu yang “langka” dengan sesuatu yang “berharga”, padahal seringkali tidak.
“Sesuatu itu mungkin saja berharga bagi orang tersebut saat itu – mungkin untuk gengsi sosial atau untuk mengenang masa kecil yang indah,” beber Clarkson.
Fenomena “kolektor tumbler” menunjukkan bahwa adopsi tumbler bisa bermotif ganda: dari kebutuhan hidrasi, kesadaran lingkungan, hingga estetika dan identitas sosial.
Bila digunakan dengan konsisten, tumbler bisa mendukung gaya hidup sehat dan berkelanjutan.
Halaman 2 dari 2
(kna/kna)
Tumbler Estetik Penangkal Dehidrasi
4 Konten
Tren ke mana-mana bawa tumbler bukan hanya soal gaya hidup. Kebutuhan cairan tubuh jadi lebih tercukupi berkat botol minum insulated yang menjaga air minum senantiasa segar.
Konten Selanjutnya
Lihat Koleksi Pilihan Selengkapnya