Aturan Baru Kapolri Picu Polemik Putusan MK Larangan Polisi Isi Jabatan Sipil

Aturan Baru Kapolri Picu Polemik Putusan MK Larangan Polisi Isi Jabatan Sipil

Bisnis.com, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi menutup celah hukum penempatan anggota Polri aktif di jabatan sipil melalui Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025, tetapi dalam penerapannya menuai perdebatan karena bersinggungan dengan aturan sektoral dan kebijakan internal Polri.

Hasil dari ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta kembali menjadi panggung bagi satu perdebatan lama yang tak pernah benar-benar selesai sejak Reformasi 1998 sejauh mana batas antara polisi dan jabatan sipil dalam negara demokratis.

Ketukan palu Ketua MK Suhartoyo menandai dibacakannya Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025, yang secara tegas menyatakan bahwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) tidak dapat menduduki jabatan di luar institusi kepolisian selama masih berstatus aktif.

Frasa kunci yang dipersoalkan mengenai “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Putusan ini langsung mengguncang satu praktik yang selama bertahun-tahun berlangsung nyaris tanpa perdebatan serius penempatan perwira aktif Polri di kementerian dan lembaga sipil.

Namun, sebagaimana banyak putusan MK lainnya, palu hakim tidak otomatis mengakhiri polemik. Dia justru membuka babak baru perdebatan tafsir, benturan regulasi, dan tarik-menarik kepentingan antara supremasi sipil dan kebutuhan koordinasi negara.

Dalam pertimbangan hukumnya, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menyebut keberadaan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” sebagai sumber ketidakpastian hukum.

Norma tersebut, menurut MK, justru memperluas makna Pasal 28 ayat (3) yang sejatinya sudah tegas bahwa anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun.

“Penambahan frasa tersebut memperluas makna norma dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum, baik bagi anggota Polri maupun bagi aparatur sipil negara di luar kepolisian,” ujar Ridwan dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta, Kamis (13/11/2025).

MK juga menilai frasa itu berpotensi melanggar prinsip persamaan di hadapan hukum sebagaimana dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan satu kalimat penjelasan, seorang polisi aktif dapat menduduki jabatan yang tertutup bagi warga sipil lain.

Putusan ini tidak bulat. Dua hakim Daniel Yusmic P. Foekh dan M. Guntur Hamzah menyampaikan dissenting opinion. Hakim Arsul Sani mengajukan concurring opinion. Namun, mayoritas hakim bersepakat bahwa norma penugasan Kapolri telah melampaui batas konstitusional.

Gugatan Warga dan Bayang-bayang Dwifungsi

Perkara ini diajukan oleh Syamsul Jahidin dan Christian Adrianus Sihite, dua warga negara yang memandang praktik penugasan polisi aktif di jabatan sipil sebagai ancaman serius bagi netralitas aparatur negara.

Dalam permohonannya, mereka menyinggung sederet contoh: anggota Polri aktif yang menduduki posisi strategis di KPK, BNN, BNPT, BSSN, hingga Kementerian Kelautan dan Perikanan tanpa mengundurkan diri atau pensiun.

Menurut para pemohon, praktik ini tidak hanya menciptakan ketimpangan kesempatan bagi warga sipil, tetapi juga membuka kembali bayang-bayang dwifungsi Polri sebuah konsep yang secara ideologis ingin dikubur pasca-Reformasi.

Polisi, dalam kerangka negara demokratis, memang ditempatkan sebagai alat negara yang bersifat sipil. Namun, ketika seragam kepolisian tetap melekat di ruang-ruang birokrasi sipil, garis pembatas itu kembali kabur.

Legislator: Hormati MK, Tapi Jangan Tergesa

Di Senayan, putusan MK disambut dengan sikap hati-hati. Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Nasdem Rudianto Lallo menyatakan menghormati putusan MK, tetapi menilai implementasinya tidak bisa serta-merta dilakukan tanpa penyelarasan regulasi.

“Putusan MK itu ya kita menghormati. Tapi tidak serta-merta diberlakukan begitu saja. Kita harus lihat dulu norma-norma yang ada di undang-undang lain,” ujarnya, Jumat (13/11/2025).

Rudianto menyoroti bahwa UU Polri masih memberikan ruang penugasan perwira aktif, selama berkaitan dengan fungsi kepolisian dan dilakukan atas perintah Kapolri. Dengan pendekatan acontrario, dia menilai jabatan yang relevan dengan tugas kepolisian masih dimungkinkan diisi perwira aktif.

Bagi Rudianto, penugasan lintas lembaga justru bagian dari penguatan sinergi antarinstitusi, sejalan dengan Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 tentang fungsi keamanan negara.

Namun, sikap ini juga menegaskan satu hal: putusan MK belum sepenuhnya menjadi titik temu, melainkan awal dari perdebatan legislasi baru.

Polri dan Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2025

Di tengah dinamika itu, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah lebih dulu menandatangani Peraturan Kepolisian Nomor 10 Tahun 2025 tentang anggota Polri yang melaksanakan tugas di luar struktur organisasi.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko, menegaskan bahwa peraturan tersebut masih sejalan dengan regulasi yang berlaku, bahkan setelah putusan MK.

Menurut Trunoyudo, sejumlah aturan masih membuka ruang penugasan, antara lain mulai dari UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, khususnya Pasal 28 ayat (3); UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN, yang memungkinkan jabatan tertentu diisi anggota Polri; dan PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS.

Berdasarkan regulasi tersebut, Polri mencatat 17 kementerian/lembaga yang dapat diisi anggota Polri, mulai dari Kemenko Polkam hingga lembaga strategis seperti BNN, BIN, BSSN, OJK, PPATK, dan KPK.

Untuk mencegah rangkap jabatan, Polri melakukan mutasi struktural, menjadikan perwira tersebut sebagai pati atau pamen dalam penugasan khusus.

Namun, di titik inilah polemik kembali mengeras apakah pengalihan jabatan administratif dapat menghapus status “polisi aktif”?

Mantan Kapolri Badrodin Haiti melihat persoalan ini secara lebih lugas. Menurutnya, implementasi putusan MK sepenuhnya berada di tangan Kapolri.

“Kalau secara hukum, sudah banyak pakar yang bicara. Bunyinya jelas dan harus dilaksanakan. Tapi dilaksanakan atau tidak, itu tergantung Kapolri,” ujarnya.

Badrodin mengingatkan bahwa sejak pemisahan TNI dan Polri pada 2000, polisi secara formal sudah menjadi bagian dari sipil. Namun, dalam praktik, kultur kepolisian masih belum sepenuhnya mencerminkan civilian police.

“Budaya militernya masih kental. Ini sering menjadi problem dalam pelayanan dan pengayoman kepada masyarakat,” katanya.

Pandangan senada sebelumnya pernah disampaikan Mahfud MD, mantan Ketua MK dan mantan Menko Polhukam. Dalam berbagai kesempatan, Mahfud menegaskan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat, serta harus menjadi rujukan utama dalam penataan relasi sipil-militer-polisi.

Menurut Mahfud, penempatan aparat bersenjata aktif di jabatan sipil berpotensi melahirkan konflik kepentingan dan distorsi tata kelola demokrasi.

“Kalau mau jabatan sipil, ya lepaskan dulu status kepolisian. Itu prinsip negara hukum,” kata Mahfud.

Data Mabes Polri menyebutkan sekitar 300 anggota Polri aktif saat ini menduduki jabatan manajerial di kementerian dan lembaga. Angka itu berasal dari total 4.132 personel yang ditugaskan di luar struktur Polri.

Di ruang publik, sentimen masyarakat relatif jelas. Survei big data Continuum INDEF menunjukkan 83,96 persen publik mendukung putusan MK, sementara 16,04 persen bersikap kritis.

Menariknya, publik juga menuntut prinsip yang sama diberlakukan pada institusi lain, terutama TNI.

Polemik polisi aktif mengisi jabatan sipil sesungguhnya bukan sekadar soal tafsir hukum. Dia adalah cermin dari ketegangan lama dalam demokrasi Indonesia: antara kebutuhan koordinasi negara dan tuntutan supremasi sipil.

Putusan MK telah memberi garis tegas di atas kertas. Namun, bagaimana garis itu ditegakkan dalam praktik, akan menentukan arah reformasi kepolisian ke depan.

Apakah Indonesia akan melangkah menuju polisi sipil sepenuhnya, atau tetap membiarkan ruang abu-abu tempat seragam dan jabatan sipil saling bertukar? Jawaban itu, kini, bukan lagi di tangan hakim konstitusi melainkan di ruang kebijakan, kepemimpinan, dan keberanian menegakkan prinsip negara hukum.