Bambang menjelaskan bahwa asuransi syariah telah memiliki dasar hukum yang jelas, di antaranya Fatwa DSN MUI Nomor 21 Tahun 2021 dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Asuransi syariah menjadi penyempurnaan dari sistem konvensional karena menghindari unsur maysir (perjudian), gharar (ketidakjelasan), dan riba.
“Prinsip-prinsip syariah memastikan proses bisnis berjalan lebih adil, transparan, dan sesuai nilai kebersamaan,” kata Bambang.
Bukan Transfer Risiko, tapi Berbagi Risiko
Dalam asuransi konvensional, risiko dipandang sebagai objek jual beli. Namun pada asuransi syariah, peserta bersama-sama saling membantu ketika terjadi musibah. “Risiko tidak dijual, tetapi dibagi bersama antar peserta. Inilah konsep risk sharing,” tutur Bambang.
Ia menambahkan bahwa prinsip ini sejalan dengan nilai yang diajarkan dalam Al-Qur’an, Surat Al-Ma’idah ayat 2 tentang tolong-menolong dalam kebaikan.
Peran Dana Tabarru’ dalam Asuransi Syariah
Kontribusi peserta dalam asuransi syariah sebagian dialokasikan ke Dana Tabarru’, yaitu dana bersama yang digunakan untuk membantu peserta lain yang tertimpa musibah. Bambang menegaskan bahwa dana tersebut bukan milik perusahaan asuransi.
“Perusahaan hanya mengelola, bukan memiliki. Ketika peserta mengalami musibah, pencairan dilakukan dari Dana Tabarru’ sebagai wujud nyata prinsip tolong-menolong,” jelasnya.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5421754/original/048274500_1763958477-Foto_Ilustrasi_Sompo_Insurance__2_.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)