Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) mengungkap sejumlah tantangan keekonomian dalam pembangunan kilang minyak di Indonesia. Untuk itu, iklim investasi kilang harus diiringi inovasi pengembangan dan dukungan pemerintah.
Ketua Komite Investasi Aspermigas Moshe Rizal mengatakan, prospek bisnis kilang minyak di Indonesia bisa sangat menarik jika dikembangkan dengan tepat.
“Ini butuh peran pemerintah juga dan tadi saya bilang, keekonomian kilang di Indonesia kan enggak terlalu bagus. Jadi harus ada yang bisa ditawarkan sebagai tambahan, seperti petrokimia atau enggak jaminan dari pemerintah, misalkan untuk investor di kilang minyak,” kata Moshe kepada Bisnis, Jumat (12/9/2025).
Dia pun menyoroti rencana investasi Danantara Indonesia untuk membangun 17 kilang minyak modular senilai US$8 miliar bersama perusahaan asal Amerika Serikat (AS).
Menurut Moshe, kilang modular tidak berisiko dari segi kapasitas yang terbilang kecil yakni di kisaran 100.000 barel ke bawah. Meskipun risikonya rendah, dari segi nilai keekonomian tetap dinilai rentan.
“Jadi, risiko harus berbagi jangan semua risiko itu diserap oleh Danantara itu sendiri. Jadi kita harus cari partner sama-sama untuk mengurangi risiko, dari sisi keekonomian itu juga sangat rentan,” ujarnya.
Dalam hal ini, dia menegaskan bahwa investasi di kilang berisiko dari segi keekonomian karena cost over run atau biaya tidak terduga yang bisa membengkak.
“Misalkan US$100 juta, tiba-tiba membengkak jadi US$200 juta, pembengkakan biaya itu yang menjadi risiko. Pengembangan kilang itu sendiri apalagi kalau keekonomiannya tipis,” jelasnya.
Apalagi daya beli masyarakat di Indonesia terbilang rendah sehingga kilang di dalam negeri harus menyesuaikan harga agar tidak terlalu tinggi. Untuk itu, dia mendorong untuk menambah manfaat kilang untuk produksi petrokimia.
“Jadi saya pikir bukan karena itu yang jadi masalah di Indonesia, kilang ini kan memang dari awal memang sudah dibilang proyek yang risiko tinggi dengan keekonomian yang tidak begitu besar,” tuturnya.
Di sisi lain, dia juga menerangkan bahwa tren kilang global yang diperkirakan akan tutup tidak akan berpengaruh ke sentimen di Indonesia. Pasalnya, kebutuhan dalam negeri masih terus tumbuh tinggi.
Kabar penutupan kilang minyak global seperti di Eropa dan Amerika Serikat (AS) disebabkan isu lingkungan dan transisi energi. Dia melihat dua kawasan tersebut tak lagi mau mengelola kilang minyak karena isu lingkungan.
“Tapi bukan berarti mereka enggak beli BBM lagi karena permintaan BBM tetap naik, mau itu di Eropa, di Amerika maupun di Asia,” imbuhnya.
Tak hanya AS dan Eropa, China juga mengurangi konsumsi BBM karena beralih ke energi baru terbarukan lewat masifnya penggunaan kendaraan listrik. Namun, dia melihat investasi kilang kini masif di negara-negara berkembang.
“Jadi kalau dibilang 26 tutup, banyak juga yang buka, misalkan kita lihat, kalau enggak salah Nigeria kemarin baru meresmikan petroleum, kilang terbesar di benua Afrika. Kalau enggak hampir setengah juta barel per hari,” tuturnya.
Sebelumnya, Wakil Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Oki Muraza mengungkapkan 26 kilang minyak dan gas bumi (migas) di dunia bakal tutup menjelang 2030. Hal ini tak lepas dari kondisi kelebihan pasok (oversupply) dan rendahnya profitabilitas atau spread produk yang menekan bisnis kilang.
Oki menuturkan, beberapa perusahaan migas dunia tengah menghadapi tantangan dalam mendapatkan keuntungan dari bisnis kilang. Menurutnya, perusahaan kelas dunia seperti BP, TotalEnergies, hingga Chevron mengalami tantangan serupa.
“Ada banyak kilang dunia yang ditutup di Eropa, di Amerika, di Australia dan diperkirakan ada 17 kilang yang akan tutup menjelang tahun 2030,” ucap Oki dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VI DPR RI, Kamis (11/9/2025).
Berdasarkan bahan paparan Pertamina, pada 2027, diperkirakan akan ada sembilan kilang yang tutup di AS, Eropa, Asia, Australia, dan Selandia Baru.
Lalu, sebanyak 17 kilang di Afrika, Uni Eropa, dan Asia diperkirakan tutup pada 2030.
