JAKARTA – Asosiasi Pemasok Energi, Mineral, dan Batubara Indonesia (Aspebindo) mengusulkan 20 persen dari hasil penerimaan negara bukan pajak (PNBP) royalti mineral dan batu bara (minerba) digunakan untuk hilirisasi.
Asal tahu saja, pemerintah diproyeksikan segera menetapkan kenaikan tarif royalti mineral dan batu bara sebagai upaya meningkatkan pendapatan negara sekaligus mendorong industrialisasi hilir.
“Aspebindo mendorong pemerintah agar 20 persen dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) royalti minerba dialokasikan khusus untuk pengembangan industri hilir yang nilainya sekitar Rp28 triliun atau 20 persen dari PNBP minerba tahun 2024,” ujar Wakil Ketua Umum Aspebindo, Fathul Nugroho, Selasa, 25 Maret.
Alokasi ini, kata dia, diharapkan dapat mendanai pembangunan infrastruktur pendukung seperti pembangunan smelter, kawasan industri hijau, dan jaringan energi terbarukan. Kemudian, riset dan inovasi teknologi pemurnian mineral serta reduksi emisi di sektor pertambangan. Serta, pendidikan dan pelatihan SDM berkompetensi tinggi di bidang pengolahan mineral dan manajemen rantai pasok.
“Kenaikan royalti harus berbanding lurus dengan komitmen hilirisasi. Jangan sampai Indonesia hanya menjadi pengekspor bahan mentah, sementara nilai tambah dinikmati negara lain. Kami siap bersinergi dengan pemerintah untuk memastikan kenaikan royalti tidak membebani industri, melainkan menjadi investasi jangka panjang bagi kemandirian bangsa,” terang Fathul.
Fathul mengatakan, tarif royalti minerba Indonesia masih tetap kompetitif walaupun nanti mengalami kenaikan, asalkan tidak lebih dari 2 kali lipat dibandingkan negara produsen utama lainnya, seperti Australia, China, India, Filipina, Chile, dan Amerika Serikat.
“Sebagai perbandingan, untuk tarif royalti batubara di Indonesia ditetapkan berjenjang sesuai dengan range HBA dimana 5 hingga 13,5 persen untuk IUP dan 13,5 hingga 28 persen untuk IUPK,” sambung dia.
Rencananya pemerintah akan menaikkan tarif sekitar 10 persen dari angka saat ini. Sementara, untuk kenaikan tarif royalti mineral bervariasi sesuai jenis komoditas. Sebagai contoh, kenaikan royalti untuk komoditas bijih tembaga akan naik dari 5 persen menjadi 17 persen , nickel matte dari 2 persen menjadi 6,5 persen dan feronikel dari 2 persen menjadi 7 persen
“Tarif royalti batubara Indonesia memang lebih tinggi dari negara lain seperti Australia 7 – 15 persen tergantung jenis penambangan dan negara bagian, serta China sekitar 2 – 10 persen. Namun, metode penambangan batubara di Australia dan China banyak tipe underground mining yang berbiaya tinggi sekitar 20 persen dan 60 persen untuk masing-masing negara,” terang dia.
Sedangkan untuk komoditas seperti nikel, tarif royalti Indonesia tidak jauh berbeda dengan negara lain, seperti Australia 5 hingga 7,5 persen untuk nikel olahan.
Filipina memberlakukan tarif 5 persen untuk nikel ditambah pajak ekspor. Sementara, Chile menerapkan sistem hybrid 1 persen ad valorem ditambah pajak laba progresif 8 hingga 26 persen untuk semua mineral non-tembaga termasuk nikel. Sedangkan, Amerika Serikat, memiliki 3 – 5 persen untuk nikel, tergantung kebijakan negara bagian.
“Indonesia berada pada posisi strategis dalam penentuan suplai dan harga komoditas dunia, baik batubara sebagai eksportir terbesar di dunia untuk steam coal, dan nikel sebagai negara dengan cadangan tebesar di dunia. Hal ini sejalan dengan ambisi hilirisasi, dimana batubara dan mineral diolah mendapatkan nilai tambah sebelum diekspor,” tandas Fathul Nugroho.