Jakarta –
Gabungan Pengusaha Rokok Putih Indonesia (GAPPRI) menyebut industri tembakau bisa mengalami tekanan berat karena turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 tentang produk tembakau dan rokok elektronik.
Menurut Ketua Umum GAPPRI Henry Najoan aturan kemasan polos tanpa merek atau plain packaging produk tembakau dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang merupakan turunan dari PP 28 Tahun 2024 memiliki potensi dampak signifikan yang perlu diperhatikan dengan serius.
“Kemasan polos ini tentu akan mempengaruhi seluruh pelaku industri tembakau, namun yang menjadi kekhawatiran utama kami adalah dampak dari persaingan tidak sehat dan maraknya rokok ilegal,” ujar Henry dalam keterangannya ditulis Selasa (10/9/2024).
Kemasan polos dirancang untuk menghilangkan elemen branding. Henry menjelaskan bahwa kemasan polos dapat memperburuk masalah rokok ilegal. Dengan kemasan yang seragam, ia menilai akan semakin sulit untuk membedakan produk legal dari ilegal.
“Sudah pasti kebijakan peralihan ke kemasan polos dapat memperburuk kontraksi industri tembakau yang sudah menghadapi tekanan ekonomi berat,” beber dia.
Sementara itu, dampak kemasan polos dan kebijakan pembatasan penjualan dipandang sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk mengurangi konsumsi rokok, namun ia berharap agar langkah-langkah tersebut mempertimbangkan dampak besar terhadap industri tembakau yang sah, dengan lebih dari 6 juta tenaga kerja dari petani hingga ritel, serta jutaan lainnya di industri pendukung seperti kreatif, periklanan, dan lainnya.
“Kami berharap kebijakan ini tidak membuat industri kami menjadi korban dan menyebabkan industri tembakau yang legal terancam,” ujar dia.
Sebagai langkah berikutnya, Henry mengimbau agar semua pihak, termasuk pemerintah, pengusaha, dan asosiasi, dapat bekerja sama untuk mencari solusi yang seimbang dan efektif. Sehingga, nantinya kebijakan yang hadir tidak hanya meminimalkan dampak negatif terhadap industri tetapi juga memastikan perlindungan terhadap konsumen dan masyarakat.
“Dengan berbagai tantangan yang dihadapi, perdebatan tentang kemasan polos menunjukkan betapa pentingnya pendekatan yang hati-hati dan terinformasi dalam perumusan kebijakan tembakau di Indonesia,” papar dia.
Di samping itu, Henry juga menyoroti kebijakan pembatasan penjualan rokok di area tertentu seperti 200 meter dari sekolah dan tempat bermain anak-anak. Menurutnya, kebijakan ini tidak akan efektif.
Dalam sesi diskusi yang sama, Pengamat Hukum Universitas Trisakti, Ali Rido, menyarankan bahwa aturan ini seharusnya tidak berlaku bagi penjual yang sudah memiliki toko atau warung saat ini. Di samping itu, bentuk satuan pendidikan juga tidak jelas.
“Kalau tidak ada solusi dan hanya digusur begitu saja, di situlah pelanggaran konstitusinya. Kalau sekarang, akan terjadi kerepotan yang luar biasa untuk merelokasi. Satuan pendidikan itu pun tidak dijelaskan seperti apa, itu bahkan bisa kursus mengendarai mobil dan sebagainya,” ujar Ali.
(kil/kil)