Asap Iduladha di Pesantren Tebuireng Jombang, Hangatnya Tradisi Bakar Sate di Tengah Kebersamaan

Asap Iduladha di Pesantren Tebuireng Jombang, Hangatnya Tradisi Bakar Sate di Tengah Kebersamaan

Jombang (beritajatim.com) – Suasana halaman asrama Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, tampak berbeda setiap kali Hari Raya Iduladha tiba. Bukan karena gegap gempita takbir yang menggema, tapi karena semaraknya asap putih yang membumbung dari kerumunan ratusan santri yang sedang sibuk menghidupkan bara api.

Di bawah naungan langit Jombang yang cerah, Jumat (6/6/2025), para santri itu bekerja dalam kelompok kecil berdasarkan kamar masing-masing. Ada yang menata arang dalam tungku sederhana, sebagian lain mempersiapkan potongan daging kurban—ditusuk satu per satu menjadi sate siap bakar.

“Sudah dua tahun saya ikut tradisi ini,” kata Niam (14), santri kelas VIII MTs dengan wajah berseri-seri. Tangannya cekatan membolak-balik tusukan sate di atas bara, sambil sesekali mengipasi api dengan sepotong kardus.

Tak jauh dari Niam, Finandito—santri baru asal Sidoarjo—ikut larut dalam kegiatan yang baru pertama kali ia rasakan. “Penuh kebersamaan,” ucapnya singkat, saat ditanya soal kesan pertamanya mengikuti tradisi bakar sate bersama itu. Ia tampak serius meracik bumbu dan menusuk daging sapi berbentuk dadu.

Tradisi ini bukanlah hal baru di Tebuireng. Lukman Hakim, salah satu pengurus pesantren, menjelaskan bahwa bakar sate bersama menjadi kegiatan rutin setiap Iduladha. “Setiap kamar mendapat jatah daging kurban sesuai jumlah penghuninya. Ini bagian dari tradisi turun-temurun yang sudah lama dilakukan di pesantren ini,” jelasnya.

Pesantren yang didirikan oleh Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari ini memaknai Iduladha bukan sekadar ibadah kurban, tapi juga momentum pendidikan sosial dan spiritual. “Kita ingin para santri merasakan kegembiraan bersama, sekaligus belajar tentang solidaritas dan keikhlasan,” lanjut Lukman.

Setelah sate matang, seluruh hasil bakaran dikumpulkan di tempat khusus, lalu disantap bersama dalam suasana penuh canda dan tawa. Tak ada sekat antar-kamar, tak ada hirarki. Yang tersisa hanya aroma daging panggang, kehangatan pertemanan, dan semangat kebersamaan dalam balutan semangat Iduladha.

Di tengah riuhnya kehidupan modern yang kian individualistis, tradisi sederhana ini adalah napas segar—sebuah pengingat bahwa kebersamaan dan semangat berbagi tak pernah usang. [suf]