Arah Moneter 2026: BI Lebih Hati-hati, Ruang Pemangkasan Suku Bunga Kian Sempit?

Arah Moneter 2026: BI Lebih Hati-hati, Ruang Pemangkasan Suku Bunga Kian Sempit?

Bisnis.com, JAKARTA — Para ekonom memproyeksi kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) akan berjalan lebih konservatif dengan ruang penurunan suku bunga yang makin terbatas pada 2026.

Tekanan global yang persisten seperti ketidakpastian arah Fed Funds Rate (FFR) hingga kebijakan perdagangan negara maju diyakini memaksa otoritas moneter untuk kembali menempatkan stabilitas nilai tukar sebagai prioritas utama di atas dorongan pertumbuhan.

Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) David E. Sumual menilai bahwa meskipun masih terdapat ruang pelonggaran moneter pada 2026 seiring dengan inflasi yang terkendali, eksekusinya tidak akan seagresif tahun 2025.

“Penurunan suku bunga di 2026, bila masih ada ruang dari inflasi yang terkendali, diproyeksikan tidak akan seagresif tahun 2025, karena spread dengan suku bunga dolar AS yang menipis,” ujarnya kepada Bisnis, dikutip Rabu (31/12/2025).

Dalam laporan 2026 Indonesia Economic Outlook yang dirilis Tim Ekonom BCA, skenario dasar (base case) BCA memperkirakan BI Rate akan berada di level 4,00% pada akhir 2026, turun dari proyeksi akhir 2025 sebesar 4,75%.

Hanya saja, dalam skenario terburuk (worst-case) dengan imbal hasil global tetap tinggi, BI Rate berpotensi tertahan di level 4,75% sepanjang tahun depan.

Senada, Strategic Research Manager Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet memandang ruang penurunan suku bunga pada 2026 menjadi sempit akibat risiko tekanan lanjutan terhadap nilai tukar dan potensi capital outflow.

Menurutnya, depresiasi rupiah tahun ini (-3,89% terhadap dolar AS) mencerminkan tekanan global yang belum sepenuhnya mereda. Kondisi ini, sambungnya, membuat BI harus lebih pragmatis dalam memilih kebijakan.

“Dari sisi kebijakan moneter, perkembangan rupiah ini membuat BI harus lebih mengutamakan stabilitas dibandingkan dorongan pertumbuhan. Bahkan ketika likuiditas dilonggarkan, transmisi kebijakan ke sektor riil cenderung tidak optimal,” jelas Yusuf kepada Bisnis, dikutip Rabu (31/12/2025).

Yusuf menyoroti fenomena di mana penurunan biaya dana (cost of funds) perbankan berjalan lambat dan penyaluran kredit belum sepenuhnya agresif, meski ada pelonggaran likuiditas.

Analisis itu sejalan dengan laporan 2026 Indonesia Economic Outlook dari Tim Ekonom BCA, yang menyebut transmisi pelonggaran moneter saat ini terasa lemah atau seperti ‘pushing on a string’, di mana penurunan suku bunga tidak serta-merta mendongkrak permintaan kredit karena kepercayaan diri pelaku usaha belum pulih sepenuhnya.