Jakarta, Beritasatu.com – Wacana pemerintah untuk menyusun ulang sejarah Indonesia memicu perdebatan publik. Di tengah dinamika tersebut, Komisi X DPR memainkan peran penting dalam proses penulisan sejarah ini.
Keterlibatan Komisi X DPR menjadi penyeimbang agar sejarah yang ditulis tidak berat sebelah dan benar-benar mencerminkan keragaman pengalaman bangsa.
Fungsi Pengawasan Komisi X
Komisi X DPR tidak hanya diberi informasi, tetapi aktif menjalankan fungsi pengawasan atas proyek penulisan sejarah nasional.
Ketua Komisi X Hetifah Sjaifudian, menegaskan bahwa pihaknya telah meminta penjelasan dari Kementerian Kebudayaan mengenai strategi, tahapan, serta para pemangku kepentingan yang dilibatkan.
“Penulisan ini bukan hanya untuk mengenang masa lalu, tetapi menjadi panduan masa depan. Kami juga ingin memastikan tidak ada bias, termasuk mendorong sejarah yang lebih adil dan inklusif, terutama dalam hal representasi perempuan,” ujar Hetifah, dikutip dari laman Media DPR RI.
Hetifah juga menyoroti pentingnya transparansi dan pendekatan ilmiah dalam setiap proses penulisan sejarah.
“Penulisan sejarah bukan pekerjaan sembarangan. Proses ini harus melibatkan para ahli yang kredibel, serta mempertimbangkan perspektif kelompok yang selama ini terpinggirkan-perempuan, masyarakat adat, korban peristiwa masa lampau, serta tokoh-tokoh lokal di berbagai daerah,” jelas Hetifah.
Menurutnya sejarah yang ditulis ulang atau dimutakhirkan tidak boleh menjadi alat ideologis semata. Komisi X mendorong agar narasi sejarah yang baru tetap terbuka terhadap berbagai pandangan dan tidak menutup ruang dialog akademik.
Penolakan Istilah “Penulisan Ulang”
Wakil Ketua Komisi X DPR Lalu Hadrian Irfani, mengkritisi penggunaan istilah “penulisan ulang sejarah”. Menurutnya, diksi tersebut menimbulkan kekhawatiran publik bahwa narasi lama akan dihapuskan.
“Kami di Komisi X sudah menggarisbawahi, jangan menggunakan diksi penulisan ulang sejarah. Karena kalau penulisan ulang berarti ada potongan-potongan sejarah yang akan dihilangkan,” ujar Lalu Hadrian.
Ia lebih memilih istilah “pemutakhiran sejarah” yang menekankan penambahan perspektif baru tanpa menghilangkan narasi sebelumnya.
“Kami berpandangan, penulisan sejarah ini beradaptasi dengan perkembangan zaman. Istilah yang kami usulkan ke Kementerian Kebudayaan adalah pemutakhiran sejarah Indonesia,” kata Lalu Hadrian.
Sikap ini menunjukkan kehati-hatian Komisi X dalam menjaga integritas dan kontinuitas sejarah nasional.
Selain itu, anggota Komisi X lainnya Abdul Fikri Faqih, menyatakan bahwa sejarah bersifat dinamis dan harus terus diperbarui agar relevan dengan konteks sosial-politik masa kini. Karena itu, pemutakhiran menjadi langkah yang tepat, bukan penghapusan sejarah lama.
Desakan atas Partisipasi Publik dan Inklusi
Komisi X DPR juga menyoroti belum adanya draf sejarah resmi yang disampaikan oleh Kementerian Kebudayaan.
Mereka mendesak agar proses penulisan dilakukan secara terbuka, melibatkan akademisi, sejarawan independen, organisasi masyarakat sipil, dan tentunya masyarakat luas.
Mekanisme uji publik juga perlu dirancang agar tidak menimbulkan tafsir ambigu yang membingungkan masyarakat.
Kekhawatiran lain yang disampaikan Komisi X DPR adalah dominasi narasi sejarah oleh penguasa.
Mereka mengingatkan agar penulisan sejarah tidak melupakan suara-suara kelompok minoritas, korban peristiwa kelam, serta masyarakat di wilayah terpencil. Sejarah harus inklusif dan mencerminkan keberagaman pengalaman bangsa.
Penegasan atas Fakta dan Keadilan Sejarah
Komisi X menolak penghilangan fakta-fakta penting dalam sejarah Indonesia, seperti kerusuhan Mei 1998 dan kekerasan terhadap perempuan.
Lalu Hadrian Irfani menegaskan bahwa penghapusan peristiwa penting tersebut berpotensi menjadi bentuk historical denialism, yang melemahkan keadilan dan mengaburkan pembelajaran sejarah bagi generasi mendatang.
Selain itu, DPR melalui Komisi X juga menolak pelabelan “sejarah resmi” karena dapat mengesankan eksklusivitas. Menurut mereka, sejarah adalah ilmu terbuka yang selalu berkembang dan harus bisa dikritisi serta diteliti kembali oleh siapa saja.
Keterlibatan Komisi X DPR dalam penulisan atau pemutakhiran sejarah Indonesia menjadi penanda penting bahwa proses ini diawasi secara ketat demi menjaga objektivitas, inklusivitas, dan akurasi.
