Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Apa Sih Budaya Doomerisme yang Lagi Marak di Internet?

Apa Sih Budaya Doomerisme yang Lagi Marak di Internet?

Jakarta: Dalam beberapa tahun terakhir, budaya “doomerisme” semakin marak terlihat di dunia maya. Istilah ini berasal dari kata “doomer,” yang merujuk kepada individu yang sangat pesimis atau fatalis mengenai masalah global seperti perubahan iklim, overpopulasi, senjata nuklir, hingga kecerdasan buatan yang lepas kendali.

Istilah ini pertama kali muncul di media sosial dan telah menjadi simbol dari generasi yang merasa bahwa masa depan umat manusia tidak memiliki harapan lagi.
 
Apa Itu Doomerisme?

Gambar: Contoh meme doomer. (Memedroid)

Doomerisme adalah cara pandang yang fatalistik terhadap masa depan, dengan keyakinan bahwa masalah-masalah besar seperti perubahan iklim, kerusakan ekologis, dan ketidakstabilan sosial akan berujung pada kehancuran total umat manusia.

Banyak yang merasa bahwa segala upaya untuk mengatasi masalah-masalah ini sudah terlambat dan tidak ada lagi jalan keluar yang bisa diambil.

Munculnya budaya doomerisme juga banyak dipengaruhi oleh tokoh-tokoh seperti Paul R. Ehrlich dan Guy McPherson yang dikenal dengan pemikiran Malthusian mereka, yaitu pandangan bahwa penggunaan sumber daya manusia akan terus melebihi ketersediaan, mengakibatkan kehancuran sosial dan penurunan populasi.

Dalam komunitas doomer, munculnya berbagai meme, seperti karakter Wojak yang disebut “Doomer,” memperlihatkan ekspresi generasi muda yang putus asa dan nihilistis, seringkali diiringi dengan playlist bernuansa muram di YouTube yang menjadi populer selama pandemi COVID-19.
 
Kenapa Budaya Ini Bisa Berkembang?
Ada beberapa faktor yang membuat budaya doomerisme berkembang di internet. Salah satunya adalah keterbukaan informasi mengenai masalah global.

Berita-berita tentang bencana alam, peringatan ilmuwan tentang perubahan iklim, dan perkembangan kecerdasan buatan yang semakin canggih membuat banyak orang merasa tidak ada lagi yang bisa dilakukan untuk menghindari kehancuran.

Tokoh seperti Geoffrey Hinton, salah satu pionir AI, misalnya, mengungkapkan kekhawatirannya bahwa teknologi AI saat ini berkembang lebih cepat dari yang diperkirakan, dan hal ini dapat menimbulkan risiko yang serius jika tidak diatur dengan benar.

Selain itu, menurut laporan Vox, banyak orang yang merasa bahwa kehidupan sekarang lebih buruk dibandingkan masa lalu, meskipun data menunjukkan bahwa secara umum kualitas hidup manusia telah meningkat.

Rasa pesimis ini memperkuat narasi doomerisme, yang pada akhirnya membentuk mindset bahwa masa depan hanya akan menjadi lebih suram.
 
Benarkah Manusia Akan Punah?

Gambar: You’re just lonely and depressed, seeks help. (How To Do Things With Memes?)

Pertanyaan yang sering muncul dari kalangan doomer adalah, “Apakah umat manusia akan musnah?”.

Banyak yang merasa bahwa ancaman seperti perubahan iklim, ketegangan geopolitik, dan risiko dari kecerdasan buatan akan membawa kita ke arah kepunahan. Namun, tidak semua ilmuwan setuju dengan pandangan ini.

Bryan Walsh dari Vox menulis bahwa meskipun tantangan besar memang ada, sejarah menunjukkan bahwa umat manusia selalu mampu menemukan solusi terhadap masalah-masalah besar yang dihadapinya.

Misalnya, teknologi baru terus dikembangkan untuk mengurangi dampak perubahan iklim dan menyediakan energi bersih yang lebih murah.

Liz Georges, seorang ahli komunikasi dalam isu perubahan iklim, juga mengungkapkan bahwa menyerah pada keputusasaan adalah salah satu bahaya terbesar saat ini.

Meskipun tantangan untuk menahan pemanasan global di bawah 1,5 derajat Celsius semakin sulit, masih ada jalan menuju masa depan yang lebih baik.

Menurutnya, doomerisme adalah sebuah narasi yang merampas kekuatan kita untuk bertindak, padahal setiap tindakan, sekecil apa pun, memiliki dampak dalam mengatasi krisis iklim.

Doomerisme adalah refleksi dari ketakutan dan keputusasaan akan masa depan yang tidak pasti. Budaya ini berkembang di internet karena banyaknya informasi tentang ancaman global yang membuat banyak orang merasa tidak berdaya.

Namun, penting untuk diingat bahwa sejarah manusia penuh dengan contoh di mana kita berhasil mengatasi tantangan besar. Daripada menyerah pada keputusasaan, kita bisa memilih untuk tetap bertindak dan mencari solusi.

Masa depan mungkin penuh tantangan, tetapi harapan dan usaha kita untuk memperbaikinya adalah kunci untuk menghindari skenario-skenario terburuk yang dikhawatirkan oleh para doomer.

Baca Juga:
Asal Usul Meme Chill Guy yang Viral di Medsos

Jakarta: Dalam beberapa tahun terakhir, budaya “doomerisme” semakin marak terlihat di dunia maya. Istilah ini berasal dari kata “doomer,” yang merujuk kepada individu yang sangat pesimis atau fatalis mengenai masalah global seperti perubahan iklim, overpopulasi, senjata nuklir, hingga kecerdasan buatan yang lepas kendali.
 
Istilah ini pertama kali muncul di media sosial dan telah menjadi simbol dari generasi yang merasa bahwa masa depan umat manusia tidak memiliki harapan lagi.
 
Apa Itu Doomerisme?

Gambar: Contoh meme doomer. (Memedroid)
 
Doomerisme adalah cara pandang yang fatalistik terhadap masa depan, dengan keyakinan bahwa masalah-masalah besar seperti perubahan iklim, kerusakan ekologis, dan ketidakstabilan sosial akan berujung pada kehancuran total umat manusia.
Banyak yang merasa bahwa segala upaya untuk mengatasi masalah-masalah ini sudah terlambat dan tidak ada lagi jalan keluar yang bisa diambil.
 
Munculnya budaya doomerisme juga banyak dipengaruhi oleh tokoh-tokoh seperti Paul R. Ehrlich dan Guy McPherson yang dikenal dengan pemikiran Malthusian mereka, yaitu pandangan bahwa penggunaan sumber daya manusia akan terus melebihi ketersediaan, mengakibatkan kehancuran sosial dan penurunan populasi.
 
Dalam komunitas doomer, munculnya berbagai meme, seperti karakter Wojak yang disebut “Doomer,” memperlihatkan ekspresi generasi muda yang putus asa dan nihilistis, seringkali diiringi dengan playlist bernuansa muram di YouTube yang menjadi populer selama pandemi COVID-19.
 
Kenapa Budaya Ini Bisa Berkembang?
Ada beberapa faktor yang membuat budaya doomerisme berkembang di internet. Salah satunya adalah keterbukaan informasi mengenai masalah global.
 
Berita-berita tentang bencana alam, peringatan ilmuwan tentang perubahan iklim, dan perkembangan kecerdasan buatan yang semakin canggih membuat banyak orang merasa tidak ada lagi yang bisa dilakukan untuk menghindari kehancuran.
 
Tokoh seperti Geoffrey Hinton, salah satu pionir AI, misalnya, mengungkapkan kekhawatirannya bahwa teknologi AI saat ini berkembang lebih cepat dari yang diperkirakan, dan hal ini dapat menimbulkan risiko yang serius jika tidak diatur dengan benar.
 
Selain itu, menurut laporan Vox, banyak orang yang merasa bahwa kehidupan sekarang lebih buruk dibandingkan masa lalu, meskipun data menunjukkan bahwa secara umum kualitas hidup manusia telah meningkat.
 
Rasa pesimis ini memperkuat narasi doomerisme, yang pada akhirnya membentuk mindset bahwa masa depan hanya akan menjadi lebih suram.
 
Benarkah Manusia Akan Punah?

Gambar: You’re just lonely and depressed, seeks help. (How To Do Things With Memes?)
 
Pertanyaan yang sering muncul dari kalangan doomer adalah, “Apakah umat manusia akan musnah?”.
 
Banyak yang merasa bahwa ancaman seperti perubahan iklim, ketegangan geopolitik, dan risiko dari kecerdasan buatan akan membawa kita ke arah kepunahan. Namun, tidak semua ilmuwan setuju dengan pandangan ini.
 
Bryan Walsh dari Vox menulis bahwa meskipun tantangan besar memang ada, sejarah menunjukkan bahwa umat manusia selalu mampu menemukan solusi terhadap masalah-masalah besar yang dihadapinya.
 
Misalnya, teknologi baru terus dikembangkan untuk mengurangi dampak perubahan iklim dan menyediakan energi bersih yang lebih murah.
 
Liz Georges, seorang ahli komunikasi dalam isu perubahan iklim, juga mengungkapkan bahwa menyerah pada keputusasaan adalah salah satu bahaya terbesar saat ini.
 
Meskipun tantangan untuk menahan pemanasan global di bawah 1,5 derajat Celsius semakin sulit, masih ada jalan menuju masa depan yang lebih baik.
 
Menurutnya, doomerisme adalah sebuah narasi yang merampas kekuatan kita untuk bertindak, padahal setiap tindakan, sekecil apa pun, memiliki dampak dalam mengatasi krisis iklim.
 
Doomerisme adalah refleksi dari ketakutan dan keputusasaan akan masa depan yang tidak pasti. Budaya ini berkembang di internet karena banyaknya informasi tentang ancaman global yang membuat banyak orang merasa tidak berdaya.
 
Namun, penting untuk diingat bahwa sejarah manusia penuh dengan contoh di mana kita berhasil mengatasi tantangan besar. Daripada menyerah pada keputusasaan, kita bisa memilih untuk tetap bertindak dan mencari solusi.
 
Masa depan mungkin penuh tantangan, tetapi harapan dan usaha kita untuk memperbaikinya adalah kunci untuk menghindari skenario-skenario terburuk yang dikhawatirkan oleh para doomer.
 
Baca Juga:
Asal Usul Meme Chill Guy yang Viral di Medsos
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

(SUR)