Jakarta, CNN Indonesia —
Calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka mendorong anak muda untuk masuk ke sektor pertanian melalui smart farming.
Dengan smart farming, produktivitas pertanian diharapkan meningkat.
“Generasi muda akan kita dorong melalui smart farming,” katanya dalam debat cawapres yang digelar KPU di JCC, Jakarta, Minggu (21/1) malam.
Gibran menjelaskan smart farming menggunakan Internet of Things (IoT) untuk memantau PH tanah. Serta menggunakan drone untuk penyemprotan pestisida.
Lalu apa sebenarnya yang dimaksud smart farming?
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebut smart farming merupakan sistem pertanian yang memanfaatkan teknologi guna meningkatkan produktivitas.
Dengan konsep ini, diharapkan efisiensi, produktivitas dan keberlanjutan dalam produksi tanaman serta peternakan dapat meningkat.
Peneliti Ahli Madya PRHP BRIN Joko Pitono mengatakan smart farming bisa menarik minat anak muda menjadi petani.
Namun, ia menekankan desain aplikasi smart farming cukup kompleks, sehingga memerlukan keterlibatan dan sinergi dari berbagai bidang kepakaran seperti elektro, fotonik, agronomi fisiologi, hama penyakit, agroklimat, tanah, dan mekatronika.
“Smart farming yang berbasis Internet of Thing (IoT) memerlukan dukungan cloud server yang ditunjang oleh beberapa unit untuk proses monitoring parameter penting, big data & analitik, kontrol manajemen dan aktivasi aktuator,” kata Joko dalam acara HortiEs Talk Seri ke-12, dengan topik ‘Penerapan Smart Farming dan Teknologi Pengendalian Residu Pestisida’ beberapa waktu lalu.
Ia menambahkan bahwa aplikasi smart farming akan berfungsi untuk pengaturan input produksi tanaman. Contohnya untuk irigasi, aplikasi hara, penyiapan lahan, pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT), pencahayaan, iklim mikro, panen, dan evaluasi hasil.
Di lain sisi, Peneliti Ahli Pertama Pusat Riset Ekonomi Makro dan Keuangan (PREMK) BRIN Agung Budi Santoso menuturkan manfaat penggunaan smart farming dari sisi marketing yaitu petani bisa memangkas distribusi langsung ke konsumen.
Namun, konsekuensinya aktivitas ekonomi pedagang pengepul dan pedagang eceran akan berkurang.
Karenanya, dibutuhkan regulasi penerapan smart farming dalam transformasi tenaga kerja dan kompensasi perubahan marginal physical product (MPP) pada sektor pemasaran.
Selain itu, smart farming juga perlu dikembangkan dalam bentuk komunitas, bukan individual. Komponen penerapan smart farming yang perlu diperhatikan adalah penyedia teknologi, teknologi dan kesiapan petani.
“Karena tingkat adopsi yang rendah, kita sudah memiliki varietas-varietas unggul tetapi produktivitas masih rendah. Secara ekonomi, pelaku ekonomi melakukan proses produksi berdasarkan optimal quantity yang bisa memaksimalkan keuntungan,” kata Agung.
(fby/agt)