TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso menyatakan pihaknya sedang mempersiapkan perjanjian dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS).
Langkah ini diambil untuk mengantisipasi kemungkinan kebijakan tarif yang lebih agresif dari Presiden AS Terpilih Donald Trump pada periode jabatan keduanya.
Menurut Budi, jika mengacu pada kebijakan perdagangan Trump pada periode pertamanya di tahun 2017-2021, ekspor Indonesia ke Negeri Paman Sam tidak terlalu terpengaruh.
Namun, ia memilih bermain aman dan mempersiapkan perjanjian dagang demi menjaga hubungan perdagangan dengan AS.
“Ya, nanti kita coba lakukan pendekatan seperti apa formulasi hubungan yang bagus, sehingga kita bisa menembus pasar [AS]. Ini kita siapkan dulu,” katanya ketika ditemui di Gedung Pusat Pelatihan Sumber Daya Manusia Ekspor dan Jasa Perdagangan (PPEJP), Grogol, Jakarta Barat, Rabu (15/1/2025).
Selain itu, Budi juga menekankan pentingnya meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar internasional.
Ia menilai, meskipun menghadapi tantangan tarif, jika produk Indonesia memiliki daya saing yang kuat, maka produk tersebut akan tetap dapat bersaing dengan negara lain dan tidak kalah di pasar global.
“Yang penting itu kita punya daya saing. Jadi kalau misalnya kita punya daya saing terus kita bersaing dengan negara lain, daya saing kita bagus, enggak akan kalah,” ujarnya.
Saat ini, agar mempermudah barang lokal RI masuk ke AS, Indonesia memiliki Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif dengan Kanada atau ICA-CEPA.
ICA-CEPA dimanfaatkan untuk menembus pasar AS lebih mudah karena Indonesia belum memiliki perjanjian Free Trade Agreement (FTA) alias perdagangan bebas dengan AS.
Sebelumnya, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto tak masalah jika Presiden Terpilih AS Donald Trump mengenakan kebijakan tarif yang lebih agresif ke banyak negara di periode jabatan keduanya.
Menurut Airlangga, selama ini AS sudah mengenakan tarif untuk beberapa produk Indonesia seperti sepatu, baju, dan beberapa komoditas lain.
“Amerika itu mengenakan tarif untuk sepatu, baju, dan berbagai komoditas kita, sedangkan yang tidak dikenakan tarif adalah Vietnam,” katanua ketika ditemui di sela-sela acara Business Competitiveness Outlook 2025 di Jakarta, Senin (13/1/2025).
“Jadi kita sudah agak imun dengan tarif yang dikenakan Amerika terhadap Indonesia,” lanjutnya.
Ia mengatakan, pemerintah akan mencoba untuk mengatasi ancaman tarif tersebut dengan cara mendorong terciptanya berbagai kerja sama ekonomi dengan AS.
Dari berbagai kerja sama ekonomi yang tercipta, ia berharap tarif yang dikenakan AS terhadap produk Indonesia bisa diturunkan.
Kerja sama ekonomi ini bisa dalam berbagai bentuk, salah satunya adalah Perjanjian Perdagangan Bebas atau Free Trade Agreement (FTA).
Sebagaimana diketahui, Trump mengisyaratkan bahwa ia akan menjalankan kebijakan yang lebih agresif dari proteksionisme “America First” guna mendorong kenaikannya ke tampuk kekuasaan selama masa jabatan keduanya di Gedung Putih.
Menurut cuitan Trump yang diunggah di platform Truth Social, pada 20 Januari mendatang pemerintah AS akan mengerek pajak sebesar 20 persen pada semua produk dari Meksiko dan Kanada serta tambahan tarif 60 persen untuk barang-barang asal China.
Terbaru, Trump awal bulan ini mengancam akan mengenakan tarif 100 persen pada negara-negara BRICS termasuk Tiongkok, Rusia, Brasil, India, Afrika Selatan, Mesir, Ethiopia, Iran, dan Uni Emirat Arab.
Ancaman ini diberlakukan jika mereka tidak berkomitmen untuk tidak meluncurkan mata uang baru yang dapat menyaingi dolar AS.
Trump mengklaim pengetatan diperlukan untuk mengatasi aliran narkoba dan migran ke AS.
Namun para ekonom mengatakan usulan Trump untuk mengenakan tarif besar-besaran akan meningkatkan biaya barang sehari-hari di AS dan mengganggu rantai pasokan di seluruh dunia.
Bahkan kenaikan tarif pajak impor yang diberlakukan Presiden terpilih AS Donald Trump diprediksi bakal memicu PHK massal, menyebabkan 400.000 pekerjaan di AS kehilangan pekerjaan.
Meningkatkan harga kendaraan di AS hingga 3.000 dolar AS per unit, menghancurkan keuntungan produsen mobil seperti Ford, GM, dan Stellantis, hingga berpotensi memicu terjadinya PHK besar-besaran di AS.