Antisipasi Food Waste Program MBG, Berantas Masalah Sampah

Antisipasi Food Waste Program MBG, Berantas Masalah Sampah

Bisnis.com, JAKARTA – Pukul enam pagi di Ciracas, Jakarta Timur, udara masih lembap saat wajan-wajan besar sudah lama memanas. Di dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Ciracas Rambutan 03, belasan petugas menyiapkan kebutuhan porsi nasi, sayur, dan lauk bergizi bagi penerima manfaat, yakni anak sekolah.

Dari panci raksasa, aroma tumisan wortel dan tempe hingga katsu dori menyeruak ke seluruh ruangan. Kepala SPPG Ciracas Rambutan 03 Muhammad Abdu giat memeriksa timbangan dan daftar pengiriman. Memastikan anak-anak harus makan dengan menu yang dihidangkan dalam keadaan hangat.

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kini menjadi denyut baru kehidupan sekolah. Setiap pagi, lebih dari 35 juta anak di seluruh Indonesia hingga akhir September 2025 menikmati makan bergizi tanpa biaya.

Di dapur seluas kurang dari seratus meter persegi di kawasan Ciracas, Jakarta Timur itu Muhammad Abdu pun mengamini bahwa dirinya menyimpan perhatian besar terhadap satu hal yang kerap luput dari sorotan sampah makanan atau food waste.

Apalagi, sebelum memimpin dapur Ciracas Rambutan 03, Abdu sempat bertugas di SPPG Pulo Gadung 02, wilayah yang menurutnya sudah cukup maju dalam mengelola limbah organik. Di sana, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) setempat menggandeng SPPG untuk mengalirkan sisa makanan ke proyek budidaya maggot, larva lalat tentara hitam (black soldier fly) yang mampu mengurai sampah organik menjadi pakan ternak bernilai tinggi.

“Di Pulo Gadung, semua sisa makanan langsung kami serahkan ke DLH. Saya sudah lihat sendiri prosesnya, dan Alhamdulillah, maggot bisa mencakup seluruh sampah harian dapur kami,” kenangnya saat ditemui Bisnis di dapur produksinya, Selasa (7/10/2025).

Namun di tempat barunya di Ciracas, sistem serupa belum terbentuk. Tak ada kerja sama dengan DLH maupun Kelompok Lingkungan Hidup (KLH) setempat untuk pengelolaan maggot.

Kendati demikian, Abdu tidak kehabisan cara. Di sekitar dapurnya terdapat waduk kecil yang menjadi tempat warga memelihara angsa, bebek, dan entok. Dari situ, muncul simbiosis sederhana antara dapur MBG dan warga sekitar.

“Sekitar 50 persen food waste di dapur kami dimanfaatkan warga untuk pakan ternak di waduk belakang. Jadi tidak semuanya terbuang,” kata Abdu.

Setiap hari, dapur ini menghasilkan sekitar lima kantong plastik sampah makanan. Sekitar tiga di antaranya langsung dibawa warga untuk pakan ternak, sementara sampah non edible dipilah dan sebagian dimanfaatkan untuk kerajinan berbahan bekas seperti kardus.

Upaya menekan sisa makanan juga dilakukan dari hulu, lewat perencanaan menu yang adaptif. Bagi Abdu, membuat makanan bergizi saja tidak cukup—makanan itu juga harus disukai anak-anak. Karena itu, evaluasi rutin dilakukan setiap hari melalui observasi sederhana dari tim pembersihan wadah makan (ompreng).

“Tim ompreng melihat lauk mana yang banyak sisa, sayur apa yang kurang diminati. Dari situ kami evaluasi. Kalau ternyata sisa makanan meningkat, artinya menunya tidak diterima,” jelasnya.

Sisa makanan yang terbuang yang dikumpulkan dari tray Program Makan Bergizi Gratis/Akbar Evandio

Salah satu contohnya adalah saat mereka mencoba menyajikan sayur oyong. Meskipun kaya serat dan gizi, sayur ini ternyata kurang populer di kalangan siswa.

Sebaliknya, menu seperti sayur sop atau ayam bakar bumbu tanpa bakar—varian yang menghindari zat karsinogen dari arang—justru mendapat sambutan hangat. Menu-menu yang dinilai acceptable akan masuk ke database menu baku mingguan, sementara yang kurang diterima akan direvisi atau di-trial ulang.

Dalam rantai penyediaan bahan baku, Abdu mengaku belum bisa mengandalkan petani lokal mengingat Jakarta bukan kawasan produksi pangan. Namun dia tetap mengupayakan agar perekonomian sekitar ikut bergerak lewat kemitraan dengan UMKM dan pedagang di Pasar Induk Kramat Jati.

“Kami ambil sebagian dari UMKM sekitar, sisanya dari pasar induk. Misalnya dari 200 kilogram beras, ada sebagian dari UMKM, sisanya dari pasar,” tuturnya.

Untuk menjaga kualitas, bahan makanan segar dikirim malam hari dan langsung diolah keesokan paginya. Tidak ada stok bahan yang disimpan berhari-hari.

“Sayur, buah, semua langsung diproses habis. Datang jam delapan malam, lalu besok langsung dimasak. Tidak pernah dipakai lagi untuk hari lain,” kata Abdu.