Angka Stunting di Manggarai NTT Masih Tinggi, Pola Asuh Jadi Penyebab Regional 12 November 2025

Angka Stunting di Manggarai NTT Masih Tinggi, Pola Asuh Jadi Penyebab
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        12 November 2025

Angka Stunting di Manggarai NTT Masih Tinggi, Pola Asuh Jadi Penyebab
Tim Redaksi
RUTENG KOMPAS.com
– Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai, NTT, Safrianus Haryanto Djehaut, mengatakan prevalensi stunting di daerah itu masih tinggi.
“Pada pengukuran Februari 2025, angka
stunting
tercatat sebesar 9 persen. Namun, pada Agustus meningkat menjadi 13 persen,” jelas Safrianus saat dikonfirmasi, Rabu (12/11/2025) sore.
Ia menjelaskan, data tersebut bersifat dinamis karena pengukuran stunting dilakukan dua kali dalam setahun, yakni pada Februari dan Agustus.
Menurut dia, perubahan angka itu mencerminkan realitas di lapangan yang terus bergerak serta dipengaruhi oleh banyak faktor sosial, budaya, dan perilaku pengasuhan anak.
Ia menyebut, sekitar 40 persen anak yang mengalami stunting sebenarnya lahir dengan berat badan normal, tetapi mengalami gangguan pertumbuhan setelah masa pemberian Makanan Pendamping ASI (Mpasi).
“Banyak anak lahir dengan berat badan normal, tetapi setelah masa Mpasi justru mulai terganggu pertumbuhannya. Dugaan kuat saya, hal ini disebabkan oleh pola pengasuhan yang belum tepat,” ujarnya.
Ia menilai masih banyak orangtua di
Manggarai
yang kurang memahami pentingnya pemberian asupan gizi tambahan setelah bayi berusia 6 bulan.
“Sebagian masih beranggapan bahwa ASI saja sudah cukup, padahal pada usia tersebut anak mulai membutuhkan zat gizi tambahan untuk menunjang pertumbuhan otak dan tubuhnya,” ungkap dia.
“Kadang bayi hanya diberi ASI padahal sudah butuh Mpasi, atau ketika anak tidak mau makan, orangtua tidak mencari alternatif makanan yang bergizi. Ini yang perlu kita ubah,” tambahnya.
Untuk menekan angka tengkes di daerah itu, pihaknya tengah memfokuskan intervensi pada perubahan perilaku dan pola pengasuhan anak di tingkat keluarga.
“Anak yang lahir normal harus dikawal pertumbuhannya hingga usia 2 tahun. Jangan dilepas begitu saja, karena dalam perjalanan bisa saja mengalami gangguan pertumbuhan,” jelas dia.
Ia juga menyoroti pentingnya pemantauan rutin bagi bayi dengan berat badan lahir mendekati batas bawah 2,5–2,7 kilogram.
“Sedikit saja berat badan turun, anak bisa masuk kategori stunting,” lanjutnya.
Selain itu, peran kader posyandu dan tenaga kesehatan di lapangan akan diperkuat. Mereka diminta melakukan pemantauan bulanan agar tanda-tanda stunting bisa terdeteksi sejak dini.
“Setiap bulan akan dilakukan penimbangan dan hasilnya langsung dianalisis. Dengan begitu, anak yang menunjukkan tanda-tanda stunting bisa segera mendapatkan penanganan,” jelasnya.
Ia mengatakan, penanganan stunting tidak bisa dimulai setelah anak lahir, tetapi harus dilakukan jauh sebelum kehamilan, bahkan sejak usia ibu masih remaja.
Ia mengungkapkan, berdasarkan data bahwa sekitar 67 persen remaja putri di Manggarai memiliki kadar hemoglobin di bawah 10. Kondisi itu sangat berisiko melahirkan anak stunting di masa depan.
“Untuk itu, kami rutin membagikan tablet tambah darah bagi remaja putri dan ibu hamil. Ke depan, konsumsi tablet ini akan diawasi langsung oleh petugas agar benar-benar diminum,” ujarnya.
Selain itu, Dinas Kesehatan juga menaruh perhatian pada ibu hamil dengan Kekurangan Energi Kronis (KEK). Para kader diharapkan lebih aktif memastikan ibu hamil mendapat asupan gizi yang cukup, termasuk susu tambahan dan makanan bergizi seimbang.
Ia juga menegaskan pentingnya usia kehamilan ideal. Menurut dia, hamil terlalu muda atau terlalu tua sama-sama berisiko.
“Karena itu, calon pengantin wajib menjalani skrining kesehatan agar siap secara fisik sebelum menikah,” tuturnya.
Ia menegaskan bahwa stunting adalah persoalan multidimensi. Faktor ekonomi, budaya, dan bahkan kekerasan dalam rumah tangga terhadap ibu hamil juga dapat berkontribusi terhadap munculnya kasus stunting.
“Jadi ini bukan cuma soal gizi. Kadang ibu hamil stres, sering mendapat tekanan atau kekerasan, asupan makanannya tidak seimbang, semua itu bisa memengaruhi perkembangan janin,” bener dia.
Ia membantah anggapan bahwa stunting disebabkan faktor gegenetik. Sebab, belum ada teori yang menyebut stunting murni karena keturunan.
Anak tetap bisa tumbuh optimal dalam kemampuan bicara, motorik, dan kecerdasan jika mendapat asupan dan pengasuhan yang tepat.
Sebagai langkah konkret, Dinkes akan memperkuat sistem pemantauan melalui penimbangan rutin setiap bulan di seluruh posyandu.
Selain itu, edukasi bagi orangtua muda akan digencarkan, terutama terkait pemberian Mpasi bergizi, perawatan bayi, dan kebersihan lingkungan.
“Setiap anak di Manggarai punya hak untuk tumbuh sehat dan cerdas. Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, harus ada kesadaran kolektif dari keluarga dan masyarakat,” imbuh dia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.