TRIBUNNEWS.COM – Sejak berkuasa di Suriah, Ahmad Al Sharaa disebut makin memperlihatkan keinginannya untuk mempreteli perjuangan rakyat Palestina.
Koresponden Palestina untuk The Cradle mengatakan keinginann Al Sharaa itu diwujudkan dengan sejumlah cara.
Rezim Al Sharaa menargetkan beberapa entitas. Pertama, entitas Otoritas Palestina (PA), faksi perlawanan seperti Hamas dan Jihad Islam Palestina (PIJ), dan faksi lain yang merupakan pecahan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).
Kedua, badan bantuan dari PBB (UNRWA) yang ditugasi menyalurkan bantuan kepada warga Palestina di Timur Tengah. Ketiga, perkemahan yang berisi pengungsi Palestina dan Suriah.
Di samping itu, ada dua hal penting yang terjadi. Pertama, Turki dan Lebanon menghalangi warga Palestina pemegang paspor Suriah untuk kembali ke Suriah.
Kedua, media Amerika Serikat (AS) mengungkapkan pembicaraan antara AS dan Suriah mengenai kemungkinan Suriah menerima puluhan ribu pengungsi Gaza. Sebagai gantinya, Suriah akan mendapat pengurangan sanksi.
Front Pertama: PA dan faksi Palestina lainnya
Al Sharaa yang kini menjadi Presiden Suriah berusaha menjauhkan Hamas dari Suriah.
Kepala Politburo Hamas Khaled Meshaal sempat meminta izin berkunjung ke Damaskus, tetapi Suriha menolaknhya demi menghindari konfrontasi dengan Israel dan AS.
Komunikasi antara Hamas dan Suriah kebanyakan dilakukan lewat Turki sebagai penengah. Turki disebut memfasilitasi pemindahan beberapa pejabat militer Hamas ke Idlib, yang menjadi markas militan Hayat Tahrir Al Shams (HTS).
Di sisi lain, Sharaa membuka kanal resmi untuk PA di Damaskus dan mengakuinya sebagai satu-satunya perwakilan rakyat Palestina.
Sehari setelah pasukan HTS memasuki Damaskus, mereka mulai menutup kantor-kantor faksi Palestina.
Kantor milik Fatah Al Intifada, Al Saiwa, PFLP-GC ditutup. Senjata dan kendaraan mereka disita.
Pada awal Februari lalu Sekjen Fatah Al Intifada Abu Hazem Ziad Al Saghir ditangkap di rumahnya.
Dia dibebaskan setelah diinterogasi berjam-jam. Namun, seminggu kemudian dia ditangkap lagi.
Front Kedua: Kamp pengungsi Palestina di Suriah
Penindakan keras terhadap kelompok politik membuat kosongnya kepemimpinan di kamp Palestina di Suriah. Adapun kondisi di kamp tersebut sudah sangat memprihatinkan.
Pada awal Februari muncul unjuk rasa karena Israel melancarkan serangan brutal di kamp Jenin, Tepi Barat. Unjuk rasa itu digelar setelah pemerintah Suriah mengakui PA secara formal.
Banyak yang khawatir pengakuan formal itu akan mempercepat rencana memukimkan pengungsi secara permanen.
Pada bulan yang sama Komite Pengembangan Masyarakat di Deraa mulai mengumpulkan data pribadi para pengungsi dengan dalih untuk memperbaiki layanan.
Adapun Hamas menyalurkan bantuan makanan dan keuangan, kerap kali melalui personel yang tergabung dalam HTS.
Pihak lain seperti Yayasan Jafra dan Bulan Sabit Merah Palestina terus beroperasi meski ada rintangan besar.
Hal yang menjadi keprihatinan besar adalah adanya usul memukimkan kembali para pengungsi Palestina.
Usul itu menawarkan tiga pilihan kepada warga Palestina di Suriah. Pertama, naturalisasi menjadi warga Suriah. Kedua, integrasi dengan “masyarakat” terafiliasi PA di bawah pengawasan kedutaan, atau klasifikasi konsuler dengan perpanjangan tempat tinggal tahunan.
Front Ketiga: UNRWA dikesampingkan
Rezim baru Suriah tidak secara terbuka menargetkan UNRWA.
Pemerintah Suriah kurang bekerja sama dengan UNRWA. Badan PBB itu tak lagi dianggap sebagai lembaga utama yang bertanggung jawab atas urusan warga Palestina di Suriah.
Di Kamp Kahan Eshieh, komite setempat meminta Damaskus untuk menyiapkan rencana guna merehabilitasi infrastruktur kamp itu.
Gara-gara hal itu, otoritas Suriah disebut ingin mengambil alih kamp tersebut dari UNRWA.
(*)