“Yang saya lihat, hampir setiap hari ia berkeliling melihat kondisi rakyatnya, mendengar keluhan, dan memastikan bantuan berjalan, bukan hanya sekali datang untuk pencitraan, konsistensi hadir di tengah rakyat inilah yang membuat saya menilai dia pantas jadi pemimpin nasional,” lanjutnya.
Dari perspektif komunikasi politik, Hensa menilai kedekatan langsung antara pemimpin dan warga membangun kepercayaan yang sulit dibangun hanya dengan kampanye di media.
Selain itu, ia menyoroti pengalaman panjang Mualem dalam mengelola Aceh yang memiliki sejarah konflik, proses perdamaian, hingga penanganan bencana.
Kemampuan menjaga keseimbangan antara stabilitas politik dan kebutuhan pembangunan daerah dinilai menjadi nilai tambah yang relevan untuk konteks kepemimpinan nasional.
“Mualem sudah ditempa oleh situasi-situasi sulit yang tidak dialami semua tokoh. Ia belajar memimpin di tengah tekanan, berdialog dengan berbagai kelompok, dan tetap menjaga kedekatan dengan masyarakat,” kata Hensa.
“Dan itu semua merupakan bekal penting bila suatu saat ia didorong naik ke tingkat kepemimpinan nasional,” tuturnya.
Meski demikian, Hensa menilai pentingnya menjaga konsistensi gaya kepemimpinan yang dekat dengan rakyat ketika memasuki arena politik nasional yang lebih kompleks.
Menurutnya, tantangan banyak tokoh daerah adalah tetap memegang karakter asli kepemimpinan mereka tanpa terseret arus politik elitis di tingkat pusat.
“Jika Mualem mampu menjaga prinsip tidak meninggalkan rakyat, tetap rutin turun ke lapangan, dan pada saat yang sama memperluas komunikasi politiknya secara cerdas, saya yakin ia akan menjadi salah satu figur yang diperhitungkan dalam peta kepemimpinan Indonesia,” pungkasnya. (zak/fajar)
