Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Analis Israel: 5 Indikator Netanyahu Mau Lanjut Perang Gaza dan Ogah Negosiasi Tahap 2 dengan Hamas – Halaman all

Analis Israel: 5 Indikator Netanyahu Mau Lanjut Perang Gaza dan Ogah Negosiasi Tahap 2 dengan Hamas – Halaman all

Media Israel: 5 Indikator Netanyahu Lanjut Perang Gaza dan Ogah Negosiasi Tahap Dua dengan Hamas
 
 
TRIBUNNEWS.COM – Surat kabar Israel, Yedioth Ahronoth mengungkapkan dalam sebuah laporan pada Minggu (16/2/2025) kalau pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu tengah berupaya menggagalkan tahap kedua negosiasi kesepakatan pertukaran sandera-tahanan demi gencatan senjata di Gaza.

Laporan tersebut menyebut kalau ada lima indikator pihak Netanyahu terindikasi tak ingin tahap dua negosiasi dengan gerakan pembebasan Palestina, Hamas, terjadi.

“Netanyahu menggunakan taktik politik, manuver media, memanipulasi informasi, melanggar perjanjian, dan mengecualikan (tidak menyertakan) para profesional di tim negosiasi,” tulis laporan tersebut dikutip dari Khaberni, Senin (17/2/2025).

Laporan tersebut, yang ditulis oleh analis militer, Ronen Bergman, menyimpulkan kalau “negosiasi tidak dapat dilanjutkan jika salah satu pihak tidak berminat,”.

Simpulan ini mengacu pada penolakan pemerintah Israel untuk memulai secara serius tahap kedua negosiasi tersebut.

GAZA UTARA – Tangkapan Layar YouTube Al Jazeera English pada Jumat (14/2/2025) yang menunjukkan warga Palestina dan truk bantuan untuk bergerak bebas melalui penyeberangan dari Gaza Utara pada 9 Februari 2025. Menteri Luar Negeri Italia pada hari Jumat (14/2/2025) mengatakan akan menerima 14 pasien anak Palestina dari Gaza untuk mendapatkan perawatan medis. (Tangkapan Layar YouTube Al Jazeera English)

Israel Sengaja dan Enggan Bernegosiasi Lagi

Analisis Bergman merujuk pada pengakuan Omer Dostri, juru bicara perdana menteri Israel, kalau Israel saat ini tidak sedang merundingkan fase kedua kesepakatan tersebut, meskipun sebelumnya telah melontarkan komitmen.

Bergman juga mengatakan kalau pernyataan ini mengonfirmasi kecurigaan kalau pemerintah Israel memang dengan sengaja menghalangi kemajuan nyata dalam negosiasi.

Seorang sumber keamanan senior yang mengetahui rincian negosiasi tersebut dikutip, mengatakan kalau pemerintah Israel tidak mematuhi perjanjian yang ditandatangani.

“Perjanjian menetapkan perlunya memulai negosiasi mengenai fase kedua dengan Hamas paling lambat pada hari ke-16 gencatan senjata, yaitu dua minggu yang lalu. Dan bahwa negosiasi tahap dua tersebut seharusnya berakhir dalam waktu 35 hari sejak dimulainya perjanjian gencatan senjata,” .

Sumber itu juga mengatakan, “Bahkan jika semua pihak bersemangat untuk mencapai kesepakatan, tidak ada peluang untuk menyelesaikan semua rincian dalam waktu satu minggu, apalagi jika salah satu pihak tidak tertarik sama sekali,”

Argumen ini secara jelas merujuk pada keengganan pemerintah Israel untuk memulai kembali negosiasi tahap kedua.

Bergman mengutip pernyataan pejabat keamanan senior lain Israel, “Melanggar dan menghindar dari penerapan perjanjian tersebut dapat menyebabkan kegagalan tahap pertama, dan dengan demikian kegagalan untuk menyelesaikan pembebasan semua tahanan,”.

“Hal ini berujung pada risiko keamanan yang dapat mendorong Israel ke dalam siklus kekerasan baru, tanpa keuntungan strategis yang signifikan,” kata laporan tersebut.

SIAP MASUK GAZA – Foto file yang diambil dari Khaberni, Rabu (12/2/2025) menunjukkan tank-tank pasukan Israel bersiap memasuki Gaza pada Oktober 2023 setelah Operasi Banjir Al-Aqsa terjadi. Israel bersiap memasuki Gaza lagi pada pertengahan Februari 2025 seiring mandeknya negosiasi gencatan senjata dengan Hamas. (khaberni/tangkap layar)

Menolak Negosiasi

Laporan juga menyatakan kalau para analis militer Israel percaya kalau tahap kedua negosiasi sangat penting.

Begitu pentingnya sampai-sampai itu tak cuma menyangkut nasib para tahanan Israel, namun mencakup masa depan hubungan antara Israel dan seluruh kawasan.

“Menyelesaikan tahap ini dapat menjadi awal dari kesepakatan yang lebih luas tentang masa depan Jalur Gaza, sementara kegagalannya dapat menyebabkan kembalinya eskalasi militer, yang tampaknya menjadi salah satu tujuan Netanyahu untuk tetap berkuasa,” menurut uraiannya.

Laporan juga menyebut kalau sumber-sumber diplomatik yang memiliki informasi juga melaporkan kalau Netanyahu menghadapi tekanan internal yang besar dari kelompok ekstrem kanan.

Tokoh-tokoh ultranasionalis Israel macam Bezalel Smotrich dan Itamar Ben-Gvir memang secara lantang menolak kesepakatan apa pun yang tidak mencakup pembongkaran kemampuan militer Hamas.

Di sisi lain, laporan menunjukkan kalau ada penentangan atas suara Smotrich Cs ini dari dalam badan keamanan Israel.

“Banyak pemimpin militer yakin bahwa kegagalan negosiasi akan menyebabkan dampak keamanan yang serius bagi Israel,” kata laporan itu.

Menurut sumber keamanan yang sama, “Netanyahu dan orang-orangnya terjebak dalam perangkap, dan mereka tidak peduli dengan apa yang terjadi di luar perhitungan politik internal. Oleh karena itu, mereka menyangkal adanya negosiasi, tetapi mereka tidak secara langsung menuduh Hamas menghalanginya negosiasi), karena itu secara implisit berarti bahwa Israel tertarik pada negosiasi.”

MOBILISASI – Pasukan dan tank Israel (IDF) dimobilisasi untuk menginvasi Rafah, Gaza Selatan. Kabinet Perang Israel, Jumat (10/5/2024) memutuskan untuk memperluas operasi serangan ke Rafah dari yang tadinya mengklaim cuma operasi terbatas. (tangkap layar/shfq)

5 Indikator Israel Mau Lanjut Perang

Menurut sumber-sumber yang terpercaya, wartawan Israel itu menyebutkan lima indikator utama yang menunjukkan bahwa Netanyahu secara sistematis berupaya mengganggu berlangsungnya tahap kedua negosiasi tersebut.

“Upaya tersebut di antaranya secara sengaja menunda dimulainya kembali perundingan, tidak menyertakan para profesional ke dalam tim perunding, membocorkan informasi palsu ke media, meyakinkan bahwa Amerika Serikat pada akhirnya akan mengatur segalanya, dan menetapkan syarat-syarat yang mustahil untuk perundingan,” kata laporan itu.

Analis militer tersebut mengemukakan, keluarga para tahanan menyadari kalau  pemerintah tidak serius menangani persoalan tahanan, sehingga meningkatkan tekanan di forum internasional.

Di tingkat internasional, Bergman yakin bahwa tekanan terhadap Israel meningkat dari Amerika Serikat, Qatar, dan Mesir.

Namun, ia yakin bahwa “tekanan-tekanan tersebut tidak berhasil memecahkan kebuntuan, karena Netanyahu bertaruh bahwa ia dapat menunda hingga kondisi politik yang lebih baik tercapai.”

Analis politik Israel itu menegaskan kalau tahap kedua kesepakatan itu sejatinya telah ditunda, menurut pernyataannya, bukan karena komplikasi teknis atau keamanannya, tetapi karena keputusan politik pemerintah Netanyahu, yang mengutamakan prioritas elektoralnya di atas pertimbangan kemanusiaan atau strategis apa pun.

 

(oln/khbrn/*)

 
 
 
 

Merangkum Semua Peristiwa