Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pada era digital, anak mudah sekali mendapatkan beragam konten di berbagai kanal media sosial.
Kondisi ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi orang tua.
Sehingga penting bagi orang tua untuk memiliki strategi yang tepat mengarahkan anak agar tidak terjebak dalam konten dewasa atau pornografi yang tidak sesuai usianya.
Lalu, apa yang perlu dilakukan jika mengetahui anak menonton konten dewasa?
Terkait hal ini, dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Subspesialis Kedokteran Jiwa Anak dan Remaja, dr. Anggia Hapsari, Sp.K.J, Subsp. A.R. (K),ungkap apa yang perlu dilakukan orang tua jika hal ini terjadi.
Pertama, orang tua diimbau untuk jangan langsung marah.
“Sebaiknya reaksi anda jangan langsung marah. Hal pertama yang dilakukan adalah rendam kekecewaan terhadap anak-anak,” ungkapnya pada kanal YouTube RS Pondok Indah, Selasa (31/12/2024).
Kedua, cari waktu yang tepat untuk berbicara dengan anak.
Usahakan ketika suasana hati orang tua sudah cukup tenang.
Ketiga, orang tua perlu menerima kenyataan terhadap apa yang sudah terjadi. Kemudian mencari solusi bersama.
Di mana antara orang tua dan anak membuat komitmen bersama-sama untuk mematuhi aturan yang dibuat.
Keempat, menerapkan kembali aturan yang ada di dalam rumah.
“Batasi penggunaan dan awasi penggunaannya,” imbaunya.
Kelima, menerapkan hukuman. Orang tua berhak untuk memberikan konsekuensi agar ada efek jera. Sehingga anak tidak berani melakukannya kembali.
Terakhir, memberikan penghargaan atas perubahan positif perilaku anak-anak ketika sudah mencapai hal tertentu yang disepakati bersama.
Ia juga mengimbau orang tua untuk menjadi teman terbaik bagi anak-anak.
Sehingga anak bisa menceritakan isi hati mereka kepada orang tua.
Orang tua juga perlu memperbaiki hubungan dengan anak agar anak merasa aman dan nyaman saat berada di rumah.
“Orang tua (juga) harus waspada, karena ketika anak mengalami kecanduan pornografi, sudah ada kerusakan di otak. Sehingga anak anda segera harus mencari pertolongan dan mendapatkan terapi psikolog ataupun psikiater,” tutupnya.