Alasan Hipmi Sebut Insentif bagi Pengusaha Kelas Menengah Belum Proporsional

Alasan Hipmi Sebut Insentif bagi Pengusaha Kelas Menengah Belum Proporsional

Bisnis.com, JAKARTA — Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) menilai insentif yang digelontorkan pemerintah untuk dunia usaha belum proporsional terutama bagi pengusaha kelas menengah. 

Sebagaimana diketahui, pemerintah masih akan menggelontorkan triliunan rupiah untuk insentif perpajakan berupa tax holiday maupun tax allowance pada 2026 untuk dunia usaha dan iklim investasi. 

Sekjen Hipmi Anggawira menyampaikan bahwa pihaknya mengapresiasi keberlanjutan insentif perpajakan itu. Menurutnya, itu memberikan sinyal bahwa negara tetap proinvestasi termasuk untuk 2026. 

Namun, dia menyebut pengusaha tetap masih memiliki catatan untuk alokasi insentif dimaksud. 

“Untuk investasi skala besar dan sektor prioritas tertentu, skema tax holiday relatif memadai. Namun untuk pelaku usaha menengah, industri padat karya, dan hilirisasi sektor riil, banyak yang menilai insentif masih bersifat top-heavy dan belum sepenuhnya menjangkau kebutuhan lapangan,” terang Anggawira kepada Bisnis, Minggu (7/12/2025). 

Selain itu, Anggawira mengingatkan perlunya melihat seberapa efektif dan mudah insentif itu dimanfaatkan oleh dunia usaha khususnya di tengah ketidakpastian global dan fluktuasi permintaan domestik.

Saat ini, lanjutnya, sebagian pengusaha diakui olehnya masih dalam mode wait and see. Akan tetapi, dia menyebut alasannya bukan karena insentif yang tidak menarik, melainkan berbagai faktor lain. 

Faktor-faktor itu meliputi kepastian regulasi dan konsistensi kebijakan fiskal–industri, kecepatan dan kepastian perizinan, stabilitas biaya produksi (energi, logistik, dan tenaga kerja), serta akses pembiayaan yang kompetitif. 

Anggawira menyebut pihaknya mendorong sejumlah alternatif maupun penyempurnaan insentif pajak untuk dunia usaha. Misalnya, dia mendorong agar pemberian insentif berbasis kinerja nyata dan bukan hanya untuk investasi awal.

Menurutnya, insentif bagi dunia usaha perlu dikaitkan juga dengan serapan tenaga kerja, peningkatan tingkat komponen dalam negeri atau TKDN, integrasi UMKM dalam rantai pasok, serta ekspor atau substitusi impor. 

Selanjutnya, dia mendorong agar insentif fiskal tidak hanya dialamatkan untuk pembebasan atau keringanan pajak penghasilan (PPh), namun juga untuk cost structure. 

“Misalnya insentif energi/listrik untuk industri strategis, super deduction tax untuk R&D, vokasi, dan digitalisasi; dan insentif PPN untuk mesin dan bahan baku tertentu,” lanjut pria yang juga menjabat Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi Mineral dan Batu Bara (Aspebindo) itu. 

Lalu, dia meminta agar ke depan pemerintah bisa menerapkan skema insentif cepat dan sederhana untuk usaha menengah. Menurutnya, perlu ada insentif jalur cepat yang tidak terlalu administratif, berbasis online dan terukur, memberi kepastian waktu persetujuan, serta insentif sektoral yang lebih adaptif. 

Catatan lain yang disampaikannya yakni bahwa insentif jangan sampai dialokasikan hanya untuk manufaktur besar, melainkan juga bagi industri pendukung hilirisasi, energi baru dan terbarukan, serta industri pangan dan ekonomi kesehatan.

Insentif Pajak Gerus Tax Ratio

Di sisi lain, otoritas fiskal mengakui bahwa pemberian insentif pajak beberapa tahun belakangan turut menggerus rasio penerimaan pajak alias tax ratio. Namun, efek itu diyakini hanya jangka pendek. 

Pada rapat dengan Komisi XI DPR, Rabu (26/11/2025), Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Bimo Wijayanto memaparkan bahwa selisih antara potensi dan realisasi penerimaan pajak Indonesia (tax ratio) mencapai total 6,4% terhadap produk domestik bruto (PDB) selama 2016–2021. 

Terdapat gap sebesar ratusan triliun masing-masing akibat kebijakan fiskal maupun ketidakpatuhan pajak, merujuk pada laporan Bank Dunia yang dipaparkan Bimo di Komisi XI DPR, Rabu (26/11/2205). Dia menjelaskan bahwa total rata-rata tax gap per tahun itu merupakan gabungan dari gap yang diakibatkan oleh kebijakan fiskal (policy gap) sebesar 2,7%, serta akibat ketidakpatuhan (compliance gap) sebesar 3,7%, terhadap PDB. 

Otoritas pajak memandang bahwa kendati adanya dampak jangka pendek terhadap tergerusnya rasio pajak, pemberian tax holiday maupun tax allowance khususnya untuk dunia usaha berguna untuk memberikan nilai tambah. 

Pemberian triliunan rupiah untuk insentif pajak dipandang perlu sebagai trade off dari sektor-sektor tertentu agar mampu meningkatkan nilai tambah. 

“Perlu kami sampaikan bahwa dalam jangka panjang pemberian kebijakan ini merupakan trade-off dari sektor-sektor yang mendapatkan insentif agar mampu meningkatkan nilai tambah, menguatkan daya saing di pasar global, menciptakan lapangan pekerjaan baru, hingga meningkatkan konsumsi dalam negeri sehingga berimplikasi luas terhadap peningkatan penerimaan pajak,” terang Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kemenkeu, Rosmauli kepada Bisnis, dikutip Minggu (7/12/2025). 

Untuk itu, lanjut Rosmauli, pemerintah akan terus melakukan penyempurnaan kebijakan pemberian insentif secara terukur dan terarah. Tujuannya, agar multiplier effect dari sektor yang mendapat insentif dapat mendorong akselerasi perekonomian, yang pada akhirnya juga meningkatkan penerimaan pajak dalam membiayai pembangunan negara.

Dikutip dari Buku II Nota Keuangan RAPBN 2026, nilai belanja perpajakan selama 2021 sampai dengan proyeksi 2025 dan yang dianggarkan 2026 terus meningkat. Bermula dari Rp293 triliun pada 2021, nilainya terus meningkat ke Rp400,1 triliun pada 2024.

Nilainya melonjak 32,5% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada 2025 yang diproyeksikan mencapai Rp530,3 triliun. Kemudian, pada 2026, belanja perpajakan dicanangkan sebesar Rp563,6 triliun. 

Pada 2025 dan 2026, belanja perpajakan terbesar masih untuk jenis pajak konsumsi yakni pajak pertambahan nilai (PPN) maupun pajak penjualan barang mewah (PPnBM), serta pajak penghasilan (PPh) masing-masing Rp343,3 triliun (2025) dan Rp371,9 triliun (2026). Nilainya juga meningkat pada APBN 2026 yakni masing-masing Rp150,3 triliun dan Rp160,1 triliun. 

Berdasarkan tujuannya, belanja perpajakan untuk meningkatkan investasi dan mendukung dunia bisnis sama-sama meningkat. Untuk meningkatkan investasi, pemerintah menggelontorkan insentif pajak Rp84,3 triliun pada 2025 dan meningkat ke Rp84,7 triliun. 

Sementara itu, untuk mendukung dunia bisnis, belanja perpajakan yang dianggarkan sebesar Rp56,9 triliun pada 2025 dan meningkat ke Rp58,1 triliun.