Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Alami Gangguan Gerak Distonia dan Sindrom Tourette, Bisakah Disembuhkan? – Halaman all

Alami Gangguan Gerak Distonia dan Sindrom Tourette, Bisakah Disembuhkan? – Halaman all

Laporan wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu

TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA – Bagi sebagian besar orang, istilah distonia dan sindrom Tourette terasa asing didengar.

Keduanya merupakan penyakit yang berhubungan dengan gangguan gerak.

Distonia misalnya gangguan yang sulit dijelaskan.

Namun ketika dihubungkan dengan kedutan atau leher yang tengleng, orang biasanya langsung memahaminya.

Begitu juga dengan istilah sindrom Tourette, yang merujuk pada serangkaian gejala berupa gerakan tak terkendali pada otot (tics), terutama di area wajah dan otot vokal.

Penderita distonia dan sindrom Tourette dengan tingkat keparahan berat dapat ditangani dengan terapi Deep Brain Stimulation (DBS).

Dokter spesialis saraf Dr. dr. Rocksy Fransisca V. Situmeang, Sp.N mengatakan, meski sering terdengar asing, gangguan ini sebenarnya cukup umum, hanya saja sering kali tidak terdiagnosis dengan baik.

“Distonia merupakan gangguan neurologi yang ditandai dengan kekakuan otot yang berkepanjangan dan di luar kendali, sehingga sering menyebabkan gerakan berulang dan postur tubuh menjadi tidak normal serta rasa nyeri yang mengganggu aktivitas sehari-hari,” kata dia ditulis pada Senin (17/3/2025).
 
Distonia jarang  terjadi, dialami oleh sekitar 16 per 100.000 orang.

Gejala yang muncul dapat mengenai berbagai kelompok otot, seperti di daerah leher yang orang awam sebut dengan tengleng atau tengeng, otot-otot wajah yang dikenal sebagai kedutan, otot vokal yang menimbukan suara aneh yang tidak terkontrol, dan otot-otot tangan serta kaki yang dapat menimbulkan gerakan aneh seperti menari. 
 
Menurut dr. Rocky, mendiagnosis distonia memerlukan evaluasi klinis mendalam.

“Dokter akan melakukan wawancara medis untuk mengetahui kapan gejala pertama kali muncul, apakah ada riwayat keluarga dengan kondisi serupa, serta faktor pemicu seperti stres atau trauma,” jelasnya.

Beberapa kasus mungkin memerlukan pemeriksaan tambahan seperti MRI atau tes genetik untuk memastikan penyebabnya.
 
Sementara Sindrom Tourette merupakan gangguan neurologis kompleks yang ditandai dengan munculnya tics, yaitu gerakan otot yang tidak disadari.

Tics ini dapat berupa kedutan pada wajah, otot sekitar mata dan pipi (motor tics), hingga suara-suara tidak disengaja seperti berdehem atau bahkan teriakan mendadak yang tidak dapat dikontrol (vocal tics).

Gejala ini sering kali membuat penderitanya kesulitan dalam berinteraksi sosial dan dapat menimbulkan kecemasan atau depresi.
 
Sindrom Tourette lebih sering terjadi pada laki-laki dan diduga dipengaruhi oleh faktor genetik serta stres pada ibu hamil.

Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa sindrom ini bisa diperburuk oleh kondisi lingkungan yang penuh tekanan dan gangguan kecemasan yang mendasarinya.
 
Diagnosis sindrom Tourette melibatkan wawancara klinis dan pengamatan jangka panjang terhadap gejala pasien.

“Kami menilai frekuensi dan tingkat keparahan tics menggunakan skala khusus seperti Yale Global Tic Severity Scale (YGTSS). Jika skornya di atas 35/50, prosedur DBS bisa menjadi opsi yang dipertimbangkan,” kata Dr. Rocksy.
 
Terapi Pengobatan

Untuk menangani distonia dan sindrom Tourette, terapi awal biasanya berupa kombinasi obat-obatan dan terapi fisik.

Penggunaan obat ditujukan untuk meredakan nyeri serta mengurangi kontraksi otot yang tidak terkendali, sementara fisioterapi dapat membantu pasien dalam memperbaiki postur tubuh serta meningkatkan kontrol terhadap gerakan mereka.
 
Dalam kasus sindrom Tourette, terapi psikologis juga sering kali diperlukan karena gangguan ini berkaitan erat dengan faktor kecemasan dan gangguan psikologis lainnya seperti OCD (Obsessive Compulsive Disorder) atau ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder).

Konseling dan terapi perilaku kognitif dapat membantu pasien dalam mengatasi dampak psikologis dari kondisi mereka.
 
Namun, bagi penderita dengan kondisi berat yang tidak membaik dengan terapi konvensional, DBS menjadi pilihan.

Prosedur ini bekerja dengan cara menanamkan elektroda di dalam otak yang memberikan stimulasi listrik ke area yang mengontrol gerakan, sehingga gejala dapat berkurang secara signifikan.

Dokter spesialis bedah saraf di RS Siloam Lippo
Village Dr. dr. Made Agus Mahendra Inggas, SpBS, prosedur DBS hanya bisa dilakukan pada pasien yang memenuhi beberapa syarat tertentu.
 
DBS direkomendasikan bagi pasien dengan tingkat keparahan yang tinggi, terutama yang mengalami distonia umum (general) atau sindrom Tourette berat.

Evaluasi sebelum prosedur melibatkan diskusi antara dokter spesialis saraf dan bedah saraf, serta keluarga pasien untuk memastikan apakah prosedur ini merupakan pilihan terbaik.

Proses diawali dengan pemeriksaan MRI untuk memastikan tidak ada kelainan otak lain, seperti tumor atau riwayat stroke.

Pasien juga menjalani serangkaian tes psikologis dan neurologis guna mengevaluasi kondisi secara menyeluruh.

Sebelum tindakan, pasien diminta mencukur rambut untuk meminimalkan risiko infeksi.

 Head frame dipasang di kepala untuk menentukan titik stimulasi di otak. Selanjutnya, dilakukan CT scan yang digabungkan dengan hasil MRI untuk penentuan lokasi pemasangan elektroda secara akurat.

Setelah itu, elektroda DBS dipasang di area target otak, yaitu globus pallidus internus (GPI) untuk penderita distonia atau thalamus medial untuk sindrom tourette. Selama operasi, pasien tetap sadar agar dokter dapat mengevaluasi efek stimulasi secara langsung.
·    
Menurut dr. Made, tingkat keberhasilan DBS di saat ini mencapai 78 persen-82 persen, sejalan dengan data internasional.
 
“Distonia memiliki peluang sembuh lebih tinggi dibandingkan dengan sindrom Tourette yang terkait dengan faktor psikologis. Namun, DBS tetap membantu meningkatkan kualitas hidup pasien secara signifikan,” tambahnya.
 
DBS juga dapat dilakukan secara berkala jika efeknya mulai berkurang.

Selain itu, pasien tetap perlu menjalani terapi dan kontrol rutin untuk memastikan bahwa stimulasi yang diberikan tetap optimal. Jika ada gejala yang belum terkontrol, dokter dapat menyesuaikan voltase stimulasi.
 

Merangkum Semua Peristiwa