Sukabumi: Seniman asal Padang, Sumatra Barat, Anisa Nabilla Khairo mempersembahkan
sebuah instalasi yang unik berjudul “Alam Takambang Jadi Guru” di gelaran Jakarta Biennale 2024 yang berlangsung dari 1 Oktober hingga 15 November 2024.
Karya ini merupakan hasil kolaborasi yang tergabung dalam program residensi Baku Konek dengan Rumah Cikaramat Sukabumi dan mengangkat tema hubungan antara alam, tubuh, dan pengetahuan yang diwariskan melalui tradisi masyarakat setempat.
Instalasi ini menggunakan piring-piring yang dikumpulkan dari warga sebagai simbol dari tradisi
yang terjaga melalui memori tubuh, tutur, dan laku hidup masyarakat Kampung Cikaramat. Piring-piring tersebut tidak hanya berfungsi sebagai objek seni, tetapi juga sebagai media untuk
mendiskusikan nilai-nilai gotong royong yang menjadi esensial dalam menciptakan dan
mengembangkan pengetahuan lokal.
“Melalui karya ini, saya ingin mengajak pengunjung untuk merasakan dan merefleksikan betapa
pentingnya memori tubuh dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Keterampilan seperti menganyam dan pengolahan sumber daya alam tidak hanya melibatkan fisik, tetapi juga
pengetahuan yang mendalam tentang lingkungan sekitar,” ungkap Anisa.
Proyek ini dihidupkan melalui kerja sama yang intens dan performatif antara Anisa dan Rumah
Cikaramat. Proses kolaborasi ini menciptakan ruang bagi pengetahuan lokal untuk diteruskan
kepada generasi berikutnya. Karya ini juga menekankan peran sakola dalam mendistribusikan
pengetahuan tersebut.
Sebelumnya, karya Anisa dipresentasikan dalam acara di Sakoladasar Hidayah pada Senin, 16
September 2024. Di Sakoladasar Hidayah, tersaji aktivasi ruang belajar dan bermain berangkat
dari keseharian warga Cikaramat yang kaya akan pengetahuan mengenai hutan, danau, sungai,
kebun, serta kerajinan dari bambu dan kayu.
“Alam Takambang Jadi Guru” berfungsi sebagai ruang kelas yang berpusat di Rumah Cikaramat
dan hamparan kampung Cikaramat, sampai ke hutan hujan tropis di Gunung Gede Pangrango,
yang dulunya adalah tempat bermain mereka.
Aktivasi ruang ini mencakup presentasi hasil riset pengolahan sumber daya alam di Cikaramat, termasuk kelas pengolahan hasil panen, open studio untuk hasil riset mengenai tanah, kelas ilmu buhun, dan pengenalan bambu.
Dengan menghadirkan instalasi ini di Jakarta Biennale 2024, Anisa berharap dapat memperkenalkan tradisi dan pengetahuan lokal kepada audiens yang lebih luas, serta mengajak
semua orang untuk menghargai dan menjaga alam sebagai sumber pengetahuan yang hidup.
“Residensi di Kampung Cikaramat merefleksikan saya tentang kebudayaan. Kebudayaan adalah
cara hidup tiap masyarakat, termasuk kepercayaan, pengetahuan, kecakapan, cara penghargaan
atas sesama sampai ke kehidupan keluarga, pendidikan anak, adat istiadat, pergaulan,
perkawinan, pendidikan, pekerjaan dan pemerintahan,” tambahnya.
Tergabung dalam residensi Baku Konek, menurut Anisa, adalah hal yang menyegarkan lantaran
membawa lingkungan kerja kolektif.
“Aku membayangkan, dengan lahirnya Baku Konek seniman individu dan seniman berkolektif
bisa terbuka untuk hidup bersama di lingkungan yang sehat, aman, ramah anak, sportif, dan
saling suport berjalan tanpa ada satu sosok yang manunggal,” katanya.
Karya Anisa di Jakarta Biennale 2024 menjadi salah satu dari 18 karya seniman lain yang
tergabung dalam program Baku Konek 2024. Diketahui, Jakarta Biennale 2024 adalah perhelatan
ke-50 yang digagas sejak 1974 oleh Dewan Kesenian Jakarta.
Baku Konek menjadi salah satu kolaborator dalam Jakarta Biennale 2024. Ada sekian karya Baku Konek dari sekian seniman yang memamerkan karya hasil kolaboratif 23 seniman dari 10 provinsi di Indonesia.
Program residensi ini diinisiasi oleh ruangrupa dan Direktorat Pembinaan Tenaga dan Lembaga
Kebudayaan (PTLK) melalui Manajemen Talenta Nasional (MTN) Bidang Seni Budaya, dan
berkolaborasi dengan komunitas serta kolektif seni di berbagai daerah di Indonesia.
Program Baku Konek memungkinkan para seniman untuk melakukan residensi di berbagai
wilayah di Indonesia, membuka ruang bagi dialog antar budaya dan lingkungan. Dalam perayaan
50 tahun Jakarta Biennale, karya-karya ini menjadi cerminan dari kompleksitas Indonesia yang
kaya akan keberagaman budaya, sekaligus tantangan ekologis yang dihadapi masyarakat di
seluruh nusantara.
Sukabumi: Seniman asal Padang, Sumatra Barat, Anisa Nabilla Khairo mempersembahkan
sebuah instalasi yang unik berjudul “Alam Takambang Jadi Guru” di gelaran Jakarta Biennale 2024 yang berlangsung dari 1 Oktober hingga 15 November 2024.
Karya ini merupakan hasil kolaborasi yang tergabung dalam program residensi Baku Konek dengan Rumah Cikaramat Sukabumi dan mengangkat tema hubungan antara alam, tubuh, dan pengetahuan yang diwariskan melalui tradisi masyarakat setempat.
Instalasi ini menggunakan piring-piring yang dikumpulkan dari warga sebagai simbol dari tradisi
yang terjaga melalui memori tubuh, tutur, dan laku hidup masyarakat Kampung Cikaramat. Piring-piring tersebut tidak hanya berfungsi sebagai objek seni, tetapi juga sebagai media untuk
mendiskusikan nilai-nilai gotong royong yang menjadi esensial dalam menciptakan dan
mengembangkan pengetahuan lokal.
“Melalui karya ini, saya ingin mengajak pengunjung untuk merasakan dan merefleksikan betapa
pentingnya memori tubuh dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Keterampilan seperti menganyam dan pengolahan sumber daya alam tidak hanya melibatkan fisik, tetapi juga
pengetahuan yang mendalam tentang lingkungan sekitar,” ungkap Anisa.
Proyek ini dihidupkan melalui kerja sama yang intens dan performatif antara Anisa dan Rumah
Cikaramat. Proses kolaborasi ini menciptakan ruang bagi pengetahuan lokal untuk diteruskan
kepada generasi berikutnya. Karya ini juga menekankan peran sakola dalam mendistribusikan
pengetahuan tersebut.
Sebelumnya, karya Anisa dipresentasikan dalam acara di Sakoladasar Hidayah pada Senin, 16
September 2024. Di Sakoladasar Hidayah, tersaji aktivasi ruang belajar dan bermain berangkat
dari keseharian warga Cikaramat yang kaya akan pengetahuan mengenai hutan, danau, sungai,
kebun, serta kerajinan dari bambu dan kayu.
“Alam Takambang Jadi Guru” berfungsi sebagai ruang kelas yang berpusat di Rumah Cikaramat
dan hamparan kampung Cikaramat, sampai ke hutan hujan tropis di Gunung Gede Pangrango,
yang dulunya adalah tempat bermain mereka.
Aktivasi ruang ini mencakup presentasi hasil riset pengolahan sumber daya alam di Cikaramat, termasuk kelas pengolahan hasil panen, open studio untuk hasil riset mengenai tanah, kelas ilmu buhun, dan pengenalan bambu.
Dengan menghadirkan instalasi ini di Jakarta Biennale 2024, Anisa berharap dapat memperkenalkan tradisi dan pengetahuan lokal kepada audiens yang lebih luas, serta mengajak
semua orang untuk menghargai dan menjaga alam sebagai sumber pengetahuan yang hidup.
“Residensi di Kampung Cikaramat merefleksikan saya tentang kebudayaan. Kebudayaan adalah
cara hidup tiap masyarakat, termasuk kepercayaan, pengetahuan, kecakapan, cara penghargaan
atas sesama sampai ke kehidupan keluarga, pendidikan anak, adat istiadat, pergaulan,
perkawinan, pendidikan, pekerjaan dan pemerintahan,” tambahnya.
Tergabung dalam residensi Baku Konek, menurut Anisa, adalah hal yang menyegarkan lantaran
membawa lingkungan kerja kolektif.
“Aku membayangkan, dengan lahirnya Baku Konek seniman individu dan seniman berkolektif
bisa terbuka untuk hidup bersama di lingkungan yang sehat, aman, ramah anak, sportif, dan
saling suport berjalan tanpa ada satu sosok yang manunggal,” katanya.
Karya Anisa di Jakarta Biennale 2024 menjadi salah satu dari 18 karya seniman lain yang
tergabung dalam program Baku Konek 2024. Diketahui, Jakarta Biennale 2024 adalah perhelatan
ke-50 yang digagas sejak 1974 oleh Dewan Kesenian Jakarta.
Baku Konek menjadi salah satu kolaborator dalam Jakarta Biennale 2024. Ada sekian karya Baku Konek dari sekian seniman yang memamerkan karya hasil kolaboratif 23 seniman dari 10 provinsi di Indonesia.
Program residensi ini diinisiasi oleh ruangrupa dan Direktorat Pembinaan Tenaga dan Lembaga
Kebudayaan (PTLK) melalui Manajemen Talenta Nasional (MTN) Bidang Seni Budaya, dan
berkolaborasi dengan komunitas serta kolektif seni di berbagai daerah di Indonesia.
Program Baku Konek memungkinkan para seniman untuk melakukan residensi di berbagai
wilayah di Indonesia, membuka ruang bagi dialog antar budaya dan lingkungan. Dalam perayaan
50 tahun Jakarta Biennale, karya-karya ini menjadi cerminan dari kompleksitas Indonesia yang
kaya akan keberagaman budaya, sekaligus tantangan ekologis yang dihadapi masyarakat di
seluruh nusantara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
dan follow Channel WhatsApp Medcom.id
(WHS)