Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Akademisi: Politik identitas turun jadi bukti pendewasaan politik

Akademisi: Politik identitas turun jadi bukti pendewasaan politik

Saat ini, demokrasi kita juga sudah lebih inklusif

Jakarta (ANTARA) – Akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Deden Mauli Darajat mengatakan bahwa pada Pilkada Serentak 2024 penggunaan politik identitas mengalami penurunan dan ini merupakan bukti pendewasaan politik di Indonesia sudah terjadi.

“Saat ini, demokrasi kita juga sudah lebih inklusif,” kata Deden di Jakarta, Selasa.

Menurut dia, pada Pilkada Derentak 2024 telah berjalan dengan lancar, tertib, aman, dan damai. Meski dinamika sebelum pencoblosan tetap riuh dengan kampanye masing-masing pasangan calon (paslon), namun penggunaan politik identitas relatif menurun.

Kondisi itu kata dia, berbanding terbalik dengan perhelatan pilkada sebelumnya, seperti Pilkada DKI Jakarta 2017, yang penuh dengan politik identitas.

Pakar Ilmu Komunikasi ini menilai pelaksanaan Pilkada 2024 seperti halnya pilpres awal tahun 2024 ini, belum bisa sepenuhnya lepas dengan propaganda dan mobilisasi massa yang didasarkan pada politik identitas yang cenderung negatif, seperti penggunaan atribut dan istilah agama tertentu.

“Walaupun demikian penggunaan sentimen agama tidak terlalu kuat pada pilkada kali ini, berbeda dengan beberapa perhelatan pilkada sebelumnya,” ujarnya.

Ia juga menyoroti adanya pergeseran substansi narasi yang digunakan pihak yang berseberangan dengan Pemerintah. Jika pada beberapa pemilu sebelumnya begitu kencang embusan politik identitas, sekarang isunya bergeser menjadi oligarki dan dinasti politik.

Ia menilai, menurunnya penggunaan narasi identitas politik dalam penyelenggaraan pilkada adalah sebuah pencapaian tersendiri bagi Indonesia, mengingat cara yang sama masih laku keras di belahan dunia lainnya, bahkan di negara maju sekalipun.

“Dalam konteks demokrasi di Indonesia yang sudah dilewati kurang lebih 26 tahun jika dihitung dari masa reformasi, yang berarti proses demokrasi kita bisa dikatakan sudah cukup matang,” ucapnya.

Ia menambahkan bahwa demokrasi di Indonesia sudah lebih inklusif, namun dengan adanya media sosial dan digitalisasi informasi, setiap orang bisa bersuara melalui akunnya masing-masing. Ini yang perlu ditata ulang.

Penataan yang dimaksud, jelasnya, bukanlah dimaksudkan untuk menghilangkan hak dan kebebasan berpendapat, melainkan untuk mengatur adanya kewajiban yang harus dipatuhi dalam berpendapat di ruang publik.

Selain itu, menurut Deden, kejelasan regulasi diperlukan untuk mengurangi potensi tersebarnya hate speech, hoaks, dan black campaign. Semua itu harus diturunkan karena berpotensi memecah persatuan bangsa demi kepentingan segelintir orang.

“Di sinilah letak urgensi peraturan yang mengatur kebebasan berpendapat. Dalam upaya ini, Pemerintah perlu didukung berbagai pihak, khususnya public figure atau bahkan influencer yang mampu menjangkau berbagai lapisan masyarakat,” katanya.

Pewarta: Khaerul Izan
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2024