JAKARTA – Sebuah riset terbaru dari Kantar untuk Zoom, mengungkap kemunculan generasi baru di Asia Pasifik yang disebut AI natives, yaitu anak muda berusia 18-24 tahun yang tumbuh di era kecerdasan buatan (AI) dan kini aktif menggunakannya.
Dalam riset yang melibatkan 2.551 responden berusia 18–45 tahun di delapan negara di wilayah Asia Pasifik, 78% AI natives di Indonesia menginginkan layanan AI—khususnya untuk customer experience yang lebih cepat dan efisien, termasuk memperoleh respon secara instan.
Namun, 70% dari mereka tetap ingin bisa meneruskan keluhannya ke agen manusia, di mana 68% AI natives berharap para agen tersebut sudah lebih dulu memahami konteks masalah tanpa mereka perlu mengulang cerita dari awal.
“Generasi muda di Indonesia, misalnya, menegaskan bahwa koneksi manusia tetap tak tergantikan,” ujar Head of Asia, Zoom Lucas Lu dalam laporan tersebut dikutip Kamis, 13 November.
Selanjutnya riset ini juga melihat di mana AI natives di Indonesia cenderung tidak langsung berhenti menggunakan suatu brand setelah memperoleh pengalaman buruk (42%), tetapi mereka lebih sering mengekspresikan kekecewaan tersebut ke publik (62%).
Beberapa contoh pengalaman buruk terhadap layanan suatu brand adalah ketika para pengguna ini menemukan perbedaan rekomendasi konten pada perangkat berbeda, meski akun yang mereka gunakan sama, atau mendapat respon berbeda dari kanal chat, email, dan telepon untuk masalah yang sama.
Meskipun hanya 52% yang merasa pengalaman buruk ini memengaruhi loyalitas mereka terhadap suatu brand, kebiasaan mereka dalam membagikan pengalaman negatif ke orang lain bisa berdampak besar terhadap reputasi brand.
Untuk menghindari hal tersebut, brand perlu memahami apa yang benar-benar diinginkan pelanggan. Bagi golongan AI natives Indonesia, komunikasi yang jelas dan transparan (68%), praktis (57%), dan respon yang cepat (55%) adalah kunci utama.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh golongan non-AI natives, yang menyatakan bahwa kecepatan memperoleh respon (65%) menjadi faktor utama loyalitas mereka terhadap suatu brand.
Ketidakmampuan brand dalam memberikan solusi dengan cepat menjadi alasan terbesar yang memengaruhi loyalitas mereka (60%), jauh di atas rata-rata AI natives di Asia Pasifik (44%).
“Perusahaan juga perlu merancang penggunaan AI agar dapat memberikan pengalaman yang cepat, mudah, dan transparan, sembari tetap menjaga adanya sentuhan manusia untuk membangun kepercayaan,” tegas Lucas.
