Baginya, langkah profesional justru mengharuskan kepolisian menuntaskan perkara lama tersebut sebelum melanjutkan perkara yang kini menjerat para pelapor.
“Tidak boleh bersikap tidak adil. Di kasus Jokowi dilanjutkan, sementara laporan masyarakat terkait aduan ijazah palsu dihentikan,” tegasnya.
Bukan hanya itu, Ahmad juga membantah klaim bahwa Faisal Assegaf memiliki peran dalam proses komunikasi terkait wacana damai.
Ia menyatakan bahwa nama Faisal tidak pernah menjadi bagian dari tim advokasi.
“Siapapun tidak punya kewenangan, hak, atau kredibilitas untuk bertindak atas nama kasus ini. Sejak awal tidak ada nama Faizal Assegaf itu dalam tim kami,” tukasnya.
Lebih jauh, ia mengkritik pernyataan Jimly yang dianggapnya justru merusak harapan masyarakat terhadap proses reformasi institusi Kepolisian.
“Sikap Jimly itu memupus harapan publik yang ingin polisi direformasi dan kembali bekerja profesional,” ungkapnya.
Menurut Ahmad, tidak ada dasar hukum untuk menawarkan perdamaian pada kasus yang ia sebut sebagai murni tindak pidana, bukan perkara perdata yang bisa diselesaikan melalui mediasi.
Ia juga menyindir rekam jejak Jokowi dalam berbagai momen sebelumnya.
“Jokowi itu kan memang tidak pernah bisa dipegang kata-katanya. Ketika diundang dalam mediasi damai di berbagai gugatan di pengadilan, tidak mau datang memenuhi panggilan hakim,” tandasnya.
Ahmad kemudian mempertanyakan apa yang sebenarnya bisa diharapkan publik dari seseorang yang ia nilai tidak konsisten.
“Jadi apa yang mau diharapkan dari seorang Jokowi dengan kredibilitas seperti itu?,” kuncinya. (Muhsin/fajar)
