TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI) mengungkap cara agar ekspor tekstil dari Indonesia bisa tetap lancar meski ada hambatan berupa kebijakan tarif impor baru dari Amerika Serikat (AS).
Presiden AS Donald Trump baru saja memberlakukan kebijakan tarif impor timbal balik atau ‘Reciprocal Tariffs’ terhadap Indonesia sebesar 32 persen. Kebijakan ini akan berlaku mulai 9 April 2025.
Namun, Ketua Umum APSyFI Redma Gita Wirawasta menyatakan bahwa ekspor tekstil ke AS tetap bisa berjalan dengan tarif yang lebih rendah, asalkan pengusaha Indonesia memanfaatkan ketentuan tertentu.
“Mereka punya peraturan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri). Jadi kalau kita menggunakan minimal 20 persen local content-nya dari bahan baku yang kita ekspor, itu akan mendapatkan pemotongan tarif,” katanya dalam konferensi pers daring, Jumat (4/4/2025).
Ia lalu mengungkap Indonesia pernah mengimpor kapas dari AS hingga mencapai 300 juta dolar AS, tetapi kini telah berkurang menjadi 140 juta dolar AS
Penurunan ini disebabkan oleh menurunnya produksi pakaian jadi dalam negeri, akibat pasar yang dibanjiri produk pakaian jadi impor.
“Kita sudah terlalu banyak impor kain dan pasar kita dibanjirin oleh kain dan benang dari negara lain, termasuk impor pakaian jadi,” ujar Redma.
Ia memandang kebijakan tarif impor AS ini bisa menjadi peluang untuk membangkitkan kembali industri tekstil dalam negeri.
Caranya, Indonesia perlu terlebih dahulu meningkatkan kembali impor kapas dari AS atau dengan kata lain mengembalikan angkanya seperti dulu.
Lalu, kapas yang diimpor itu perlu diolah di Indonesia, bisa dipintal, ditenun, atau dirajut di dalam negeri, kemudian dijadikan produk pakaian jadi.
“Kita pasti akan dapat memenuhi peraturan 20 persen itu karena kan bahan baku itu kan sekitar 60 persen. Jadi itu kita sudah pasti dapat pengurangan biaya masuk dari Amerika Serikat,” ujarnya.
Langkah ini, menurut Redma, akan memberikan keuntungan ganda bagi Indoensia.
Selain mendapatkan pengurangan tarif dari AS karena mengimpor lebih banyak bahan baku, utilisasi industri pembuatan pakaian jadi dalam negeri juga akan meningkat.
“Jadi ini kita bisa sekali kayuh, langsung dapat banyak sebetulnya, kalau kita mau serius untuk menyikapi hal ini,” ucap Redma.