Jakarta, Beritasatu.com – Pemahaman terhadap kesehatan mental dinilai menjadi faktor penting dalam mencegah kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Semua pihak diharapkan dapat menjadikan hal itu sebagai prioritas bersama.
Menurut pengamat sosial Universitas Indonesia Devie Rahmawat, banyak tindakan menyimpang berakar dari kondisi mental yang terganggu, tetapi tidak tertangani. Bahkan, cenderung diabaikan.
“Gangguan mental bukan kutukan, sangat bisa disembuhkan, sama halnya dengan penyakit fisik,” ujar Devie dalam program “Beritasatu Sore”, Sabtu (19/4/2025).
Devie mengungkapkan, masyarakat masih sering mengabaikan kesehatan mental, padahal ketidakseimbangan mental bisa berdampak fatal baik pada diri sendiri maupun orang lain. Bahkan, gangguan mental yang tak terdeteksi bisa menjadi pemicu kekerasan seksual.
Selain mengajak masyarakat untuk membuka wawasan tentang kesehatan mental, Devie juga menegaskan perlunya pemeriksaan rutin bagi semua profesi, tak hanya fisik tetapi juga mental. Hal itu perlu dilakukan sebagai langkah pencegahan.
Ia juga menyoroti peran keluarga dalam membentuk mental anak. Sayangnya, banyak orang tua merasa cukup memberi gawai pada anak tanpa pengawasan, yang justru bisa menjadi “racun sosial” dalam perkembangan jiwa anak.
“Banyak orang tua merasa paling tahu, padahal 90% anak mengaku orang tuanya tidak tahu apa yang mereka lakukan. Ini bukti kesombongan yang berbahaya,” jelasnya.
Devie menutup dengan ajakan membangun kesehatan mental adalah tugas kolektif seluruh masyarakat, bukan hanya pemerintah. Tanpa kesadaran kolektif, kekerasan seksual akan terus menjadi ancaman di lingkungan sosial.
