YOGYAKARTA – Pernah merasa ingin makan makanan tertentu saat sedang lelah, stres, atau suasana hati menurun, padahal perut tidak benar-benar lapar? Fenomena ini berkaitan erat dengan ketertarikan pada comfort foods, yaitu makanan yang memberi rasa nyaman secara emosional. Menurut psikologi, mengutip Psychology Today, Selasa, 30 Desember, menyukai comfort foods bukan hanya soal kebutuhan fisik, tetapi juga respons alami otak terhadap emosi, memori, dan pengalaman sosial yang melekat pada makanan tersebut.
1. Makanan tertentu memberi rasa nyaman secara emosional
Comfort foods umumnya tinggi lemak, gula, atau karbohidrat, yang dapat memicu pelepasan zat kimia di otak terkait rasa senang dan relaksasi. Efek ini membuat seseorang merasa lebih tenang dan nyaman setelah mengonsumsinya, meskipun hanya sementara. Inilah alasan mengapa makanan tertentu terasa “menenangkan” di saat kondisi mental sedang tidak stabil.
2. Ketertarikan pada comfort foods muncul saat emosi negatif
Saat stres, sedih, atau tertekan, otak cenderung mencari cara cepat untuk memperbaiki suasana hati. Makanan lalu menjadi salah satu bentuk coping mechanism yang mudah diakses. Dalam psikologi, kondisi ini dikenal sebagai makan karena dorongan emosional, bukan karena sinyal lapar yang nyata dari tubuh.
Ilustrasi alasan menyukai comfort foods menurut psikologi (Freepik/wayhomestudio)
3. Comfort foods berkaitan dengan rasa aman dan kebersamaan
Banyak comfort foods terhubung dengan momen hangat, seperti makan bersama keluarga atau perayaan tertentu. Ketika seseorang merasa kesepian atau kurang dukungan emosional, makanan yang mengingatkan pada kebersamaan tersebut bisa memunculkan rasa aman dan diterima. Karena itu, ketertarikan pada comfort foods juga berkaitan dengan kebutuhan emosional untuk merasa terhubung dengan orang lain.
4. Aroma dan rasa memicu memori emosional
Indra penciuman dan pengecap memiliki hubungan kuat dengan memori. Aroma atau rasa makanan tertentu bisa membawa seseorang kembali pada pengalaman masa lalu yang menyenangkan, bahkan tanpa disadari. Ketika memori positif itu muncul, keinginan untuk kembali mengonsumsi makanan tersebut ikut menguat.
5. Kebiasaan dan momen spesial memperkuat ketertarikan
Comfort foods sering hadir dalam acara istimewa, seperti hari raya, ulang tahun, atau liburan. Karena dikonsumsi berulang dalam suasana menyenangkan, otak membentuk asosiasi antara makanan tersebut dan perasaan bahagia. Akibatnya, saat suasana hati menurun, otak “mengingat” makanan itu sebagai sumber kenyamanan.
Alasan menyukai comfort foods menurut psikologi bukan sekadar soal lapar, melainkan hasil interaksi antara emosi, memori, dan kebiasaan yang terbentuk sejak lama. Dengan memahami alasan psikologis di balik keinginan ini, Anda dapat lebih sadar membedakan antara lapar fisik dan kebutuhan emosional. Comfort foods tetap boleh dinikmati, asalkan dikonsumsi dengan kesadaran dan tidak menjadi satu-satunya cara untuk mengelola emosi.
