Pembuktian Kinerja Perekonomian Era Prabowo

Pembuktian Kinerja Perekonomian Era Prabowo

Bisnis.com, JAKARTA – Tinggal menghitung hari, 2025 akan segera berakhir dan gerbang baru tahun 2026 bakal segera terbuka lebar.

Perjalanan waktu satu tahun terakhir, tentunya banyak yang sudah dilakukan oleh pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, sehingga perekonomian nasional masih terlihat kokoh, walaupun banyak catatan yang mengiringi.

Tidak bisa dipungkiri, bencana alam yang terjadi di Sumatra, khususnya di Provinsi Aceh, Sumatra Utara dan Sumatra Barat, membuat fokus pemerintah terbagi dalam menuntaskan akhir tahun 2025. Pemerintah sendiri telah menyatakan siap untuk mengalokasikan anggaran sebesar Rp60 triliun, dalam rangka mendukung penanganan bencana yang melanda tiga provinsi tersebut. Oleh sebab itu, pemanfaatan dana tersebut perlu segera dioptimalkan agar ada kepastian bagi masyarakat untuk keberlanjutan penanganan bencana hingga pembangunan kembali.

KINERJA 2025

Kondisi perekonomian nasional sepanjang tahun 2025 masih berada di bawah target pertumbuhan ekonomi yang direncanakan sebesar 5,2%. Sampai dengan triwulan III/2025 pertumbuhan ekonomi nasional mencapai angka 5,04%, setelah sebelumnya, triwulan I/2025 tumbuh sekitar 4,87% dan triwulan II/2025 tumbuh sekitar 5,12%. Pemerintah hingga akhir tahun 2025 perlu bekerja keras, untuk mencapai target pertumbuhan 5,20% tahun 2025 secara keseluruhan.

Artinya, pertumbuhan ekonomi triwulan IV/2025 harus mencapai 5,77%. Walaupun ada stimulus fiskal dan moneter ditambah libur Natal dan Tahun Baru, target pencapaian pertumbuhan ekonomi 2025 akan sangat sulit untuk dicapai.

Pemerintah perlu memastikan konsumsi rumah tangga tumbuh lebih tinggi, khususnya pada kelompok menengah ke bawah, sejalan tambahan bantuan sosial serta kenaikan mobilitas dan aktivitas masyarakat menjelang liburan sekolah, Natal dan Tahun Baru. Adapun, Purchasing Managers’ Index (PMI) diharapkan tetap pada level ekspansif pada angka 5,12, menunjukkan optimisme dan pemulihan aktivitas ekonomi. Di samping itu, kinerja perdagangan menunjukkan hasil yang positif. Hal ini terlihat dari realisasi perdagangan Indonesia yang mengalami surplus US$35,88 miliar sepanjang periode Januari hingga Oktober 2025, naik US$10,98 miliar dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Surplus ditopang oleh komoditas nonmigas sebesar US$51,51 miliar, sementara komoditas migas mengalami defisit US$15,63 miliar.

Kondisi ini menjadi sinyal kuat bahwa sektor migas sudah memasuki masa sunset dan perlu segera mencari alternatif baru.

Catatan penting yang perlu diangkat adalah, terkait kinerja sektor pajak. Penerimaan pajak hingga Oktober 2025 menunjukkan kinerja yang belum menggembirakan. Realisasi penerimaan pajak hingga akhir November baru mencapai Rp1.634,4 triliun atau sekitar 78,7% dari outlook Rp2.076,9 triliun, terkontraksi dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara itu, belanja negara pada saat yang sama mencapai Rp2.911,8 triliun, atau setara 82,5% dari proyeksi atau outlook belanja sampai akhir tahun senilai Rp3.527,5 triliun. Total belanja negara terdiri atas belanja pemerintah pusat Rp2.116,2 triliun atau 79,5% dari outlook, dan transfer ke daerah sebesar Rp795,6 triliun atau 92,1% dari outlook sebesar Rp864,1 triliun.

PERIODE PEMBUKTIAN

Tahun 2026 merupakan ujian yang sesungguhnya bagi pemerintah untuk menunjukkan kinerja ekonominya. Delapan agenda prioritas akan menjadi penentu laju pertumbuhan ekonomi, di tengah tantangan global, yang memerlukan pelaksanaan program yang optimal untuk memperkuat fundamental ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Desain kebijakan fiskal yang akan digunakan pada 2026, diharapkan memiliki pendekatan yang lebih implementatif terhadap belanja langsung ke masyarakat. kebijakan belanja langsung mendapat prioritas lebih besar dibandingkan belanja tidak langsung. Dari Rp3.842,7 triliun anggaran belanja negara, pemerintah mengalokasikan anggaran langsung sebesar Rp2.070 triliun atau setara dengan 53,87% dan belanja tidak langsung sebesar Rp1.772,7 triliun atau setara dengan 46,13%.

Anggaran belanja langsung bersumber dari belanja pemerintah pusat sebesar Rp1.377 triliun dan dari transfer ke daerah sebesar Rp693 triliun. Belanja lang-sung melalui program seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Koperasi Daerah Merah Putih (KDMP), Program Keluarga Harapan (PKH), ketahanan pangan, kartu sembako, dll, diharapkan akan menjadi faktor utama pendorong pertumbuhan ekonomi tahun depan. Selain itu, program prioritas pemerintah tersebut diharapkan akan memberikan dampak signifikan dan multiplier effect bagi perekonomian nasional dengan menggerakkan UMKM, mendorong pertumbuhan sektor pertanian, membuka lapangan kerja, meningkatkan konsumsi domestik. Pemerintah perlu mengantisipasi dampak pendekatan fiskal APBN tahun 2026. Kebijakan belanja langsung memberikan dampak terhadap penyusutan alokasi anggaran transfer ke daerah.

Dalam APBN 2026, alokasi TKD sebesar Rp693 triliun atau mengalami penyusutan sebesar 22,36% dari alokasi TKD 2025 yang mencapai Rp848 triliun. Penurunan ini disebabkan oleh pergeseran anggaran TKD ke belanja program prioritas nasional. Oleh sebab itu, perlu penyelarasan kebijakan pusat dan daerah dalam menjaga proses pembangunan daerah tetap berjalan dengan baik.

Tantangan ekonomi 2026 masih cukup tinggi. Ketidakpastian kondisi global seperti ketegangan perdagangan, gejolak geopolitik, dan perlambatan ekonomi China serta stabilitas ekonomi Amerika Serikat. Selain itu, fluktuasi sejumlah harga komoditas utama Indonesia juga bisa menjadi risiko eksternal yang perlu terus kita waspadai.

Oleh sebab itu, menjaga stabilitas politik domestik dan bauran kebijakan fiskal-moneter yang pruden, inovatif dan berkelanjutan menjadi kunci untuk mencapai target pertumbuhan yang lebih baik.

Kebijakan menempatkan dana Rp200 triliun di Bank Himbara sebagai stimulus likuiditas untuk mendorong penyaluran kredit ke sektor riil dan menggerakkan ekonomi diharapkan dapat menjadi landasan berkelanjutan untuk tahun 2026.

Pemerintah harus mengoptimalkan kebijakan tersebut untuk mendorong roda perekonomian. Namun, langkah ini jangan sampai menjadi masalah baru bagi perbankan. Sejauh ini, belum terlihat secara signifikan, terbukti pertumbuhan kredit sampai dengan Oktober tumbuh sekitar 7,36%. Tahun 2026 diharapkan bisa mencapai di atas 10%.

Di tengah perlambatan ekonomi global yang diprediksi oleh sejumlah lembaga Internasional, baik IMF, World Bank, OECD dan ADB dalam bentang 4,8% hingga 5,0%. Dengan melihat sejumlah langkah dan kebijakan yang sudah dilakukan oleh pemerintah untuk mempersiapkan ekonomi 2026, target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4%, akan sangat tergantung dari bagaimana cara Presiden Prabowo dan tim ekonominya mengoptimalkan program prioritas agar memiliki multiplier effect yang besar bagi perekonomian, mampu mengantisipasi kondisi global yang masih tidak menentu serta menjadikan bauran kebijakan fiskal dan moneter sebagai penopang tercapainya target pertumbuhan ekonomi tahun 2026.