Pilkada oleh DPRD: Pemilihan Elitis dan Matinya Demokrasi Lokal
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
GAGASAN
untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPRD kerap diajukan dengan bertumpu pada satu dalil utama, yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak secara eksplisit mewajibkan pemilihan langsung oleh rakyat.
Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 hanya menyatakan bahwa gubernur, bupati, dan wali kota “dipilih secara demokratis”.
Rumusan ini memang membuka ruang penafsiran, dan dalam praktik ketatanegaraan Indonesia telah dipahami sebagai kebijakan hukum terbuka (
open legal policy
).
Mahkamah Konstitusi dalam berbagai putusannya juga menegaskan bahwa pembentuk undang-undang memiliki kewenangan untuk menentukan mekanisme pemilihan kepala daerah sepanjang tetap berada dalam koridor prinsip demokrasi.
Dengan demikian, secara normatif, pemilihan oleh DPRD tidak dapat serta-merta dinilai bertentangan dengan konstitusi.
Namun, hukum tata negara tidak berhenti pada persoalan kewenangan formal. Setiap kewenangan harus dibaca bersama tujuan, fungsi, dan nilai yang hendak dilindungi oleh konstitusi itu sendiri.
Dalam doktrin hukum tata negara modern, konstitusi tidak hanya dipahami sebagai teks normatif, melainkan sebagai bangunan nilai yang mengatur relasi kekuasaan antara negara dan warga negara.
Dalam konteks itu, pertanyaan mendasarnya bukan sekadar apakah pemilihan oleh DPRD diperbolehkan, melainkan apakah mekanisme tersebut sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana dikehendaki oleh konstitusi.
Legitimasi kekuasaan dalam negara demokratis tidak hanya bersumber dari prosedur yang sah, tetapi juga dari penerimaan dan kepercayaan publik terhadap proses tersebut.
Pemilihan kepala daerah merupakan instrumen pembentukan kekuasaan eksekutif di tingkat lokal. Oleh karena itu, cara pengisiannya memiliki implikasi langsung terhadap hubungan antara pemerintah daerah dan warga negara.
Ketika mekanisme pemilihan menjauh dari rakyat, maka legitimasi politik yang lahir pun cenderung melemah.
Inilah titik kritis yang harus dicermati secara jernih, bukan sekadar dibenarkan melalui pendekatan normatif-formal.
Dalam kerangka hukum pemerintahan daerah, struktur kekuasaan dirancang agar tidak terjadi pemusatan kewenangan yang berlebihan.
DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Fungsi-fungsi ini dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan kekuasaan antara lembaga legislatif dan eksekutif di daerah.
Apabila DPRD sekaligus diberi kewenangan untuk memilih kepala daerah, maka terjadi pergeseran struktur yang signifikan.
Lembaga yang seharusnya menjalankan fungsi pengawasan justru menjadi pihak yang menentukan lahirnya kekuasaan yang diawasinya.
Dalam teori ketatanegaraan, situasi ini berpotensi menimbulkan konflik kepentingan struktural yang sulit dihindari.
Kondisi tersebut bukan sekadar persoalan teknis kelembagaan, melainkan menyangkut prinsip dasar
checks and balances
.
Ketika satu lembaga menguasai terlalu banyak fungsi, mekanisme pengawasan kehilangan daya efektifnya. Kekuasaan cenderung berputar dalam lingkaran elite yang sama, tanpa kontrol publik yang memadai.
Dalam praktik ketatanegaraan Indonesia, struktur kepartaian di tingkat daerah belum sepenuhnya menopang demokrasi internal yang sehat.
Proses rekrutmen politik sering kali belum berbasis meritokrasi, melainkan pada loyalitas dan kedekatan politik. Dalam situasi seperti ini, penyerahan kewenangan memilih kepala daerah kepada DPRD berpotensi memperkuat oligarki lokal.
Dari sudut pandang hukum tata negara, kondisi demikian bertentangan dengan tujuan pembentukan pemerintahan daerah yang demokratis dan bertanggung jawab.
Kekuasaan yang terkonsentrasi pada segelintir elite tidak hanya mengurangi kualitas pemerintahan, tetapi juga berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi itu sendiri.
Akuntabilitas merupakan salah satu prinsip fundamental dalam negara hukum demokratis. Setiap pemegang kekuasaan wajib mempertanggungjawabkan pelaksanaan kewenangannya kepada pihak yang memberikan mandat.
Dalam konteks pemilihan langsung, hubungan pertanggungjawaban tersebut bersifat vertikal: kepala daerah bertanggung jawab kepada rakyat sebagai pemilihnya.
Pemilihan oleh DPRD menggeser arah pertanggungjawaban itu. Kepala daerah menjadi lebih bergantung pada konfigurasi politik di parlemen daerah daripada pada kehendak rakyat secara langsung.
Pergeseran ini bukan sekadar persoalan prosedural, melainkan perubahan mendasar dalam orientasi kekuasaan.
Dalam praktik, ketergantungan semacam itu sering kali melahirkan hubungan transaksional antara eksekutif dan legislatif.
Kebijakan publik berpotensi disusun bukan berdasarkan kebutuhan masyarakat, melainkan sebagai bagian dari kompromi politik. Dalam konteks ini, akuntabilitas publik melemah, sementara akuntabilitas politik yang bersifat elitis justru menguat.
Dari perspektif hukum tata negara, kondisi tersebut berbahaya karena mengaburkan prinsip pertanggungjawaban pemerintahan.
Negara hukum menuntut agar setiap penggunaan kekuasaan dapat diuji secara terbuka dan rasional. Ketika proses pengambilan keputusan berlangsung dalam ruang-ruang tertutup, maka fungsi kontrol publik kehilangan efektivitasnya.
Lebih jauh, lemahnya akuntabilitas berdampak langsung pada kualitas pemerintahan. Kebijakan publik berisiko tidak lagi berorientasi pada kepentingan umum, melainkan pada kepentingan kelompok yang memiliki daya tawar politik.
Dalam jangka panjang, kondisi ini menggerus kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara.
Demokrasi bukanlah sekadar prosedur elektoral, melainkan sistem nilai yang menempatkan rakyat sebagai sumber legitimasi kekuasaan. Dalam konteks negara hukum, demokrasi berfungsi sebagai penopang moral bagi pelaksanaan kekuasaan negara.
Pemilihan langsung kepala daerah, meskipun tidak sempurna, memberikan ruang partisipasi politik yang nyata bagi warga negara.
Ia memungkinkan rakyat terlibat secara langsung dalam menentukan arah kepemimpinan daerah. Partisipasi ini memiliki nilai pendidikan politik yang penting bagi konsolidasi demokrasi.
Mengalihkan pemilihan kepala daerah kepada DPRD berarti mempersempit ruang partisipasi tersebut. Rakyat tidak lagi menjadi subjek aktif dalam proses politik, melainkan sekadar objek dari keputusan elite.
Dalam jangka panjang, kondisi ini berpotensi melahirkan apatisme politik dan melemahkan kesadaran kewargaan.
Demokrasi yang sehat membutuhkan keterlibatan publik yang berkelanjutan. Ia tidak dapat dipelihara hanya melalui prosedur hukum yang sah, tetapi juga melalui partisipasi bermakna.
Ketika rakyat dijauhkan dari proses pengambilan keputusan, demokrasi kehilangan ruhnya, meskipun tetap berjalan secara formal.
Dalam konteks inilah, pemilihan kepala daerah oleh DPRD patut dipertanyakan secara serius. Ia mungkin sah secara hukum, tetapi secara substantif berpotensi mereduksi kualitas demokrasi lokal.
Negara hukum yang demokratis seharusnya tidak hanya menekankan legalitas, tetapi juga legitimasi yang bersumber dari rakyat.
Pemilihan kepala daerah oleh DPRD merupakan pilihan yang mungkin secara konstitusional, tetapi sarat persoalan secara ketatanegaraan.
Ia berpotensi menggeser keseimbangan kekuasaan, melemahkan akuntabilitas, dan mengurangi partisipasi publik dalam kehidupan politik lokal.
Konstitusi memang memberikan ruang kebijakan, tetapi ruang tersebut harus diisi dengan pertimbangan yang arif dan bertanggung jawab.
Demokrasi tidak cukup dijaga melalui kepatuhan prosedural, melainkan harus dipelihara melalui penghormatan terhadap kedaulatan rakyat.
Apabila demokrasi hendak dipertahankan sebagai nilai hidup dalam kehidupan bernegara, maka rakyat harus tetap ditempatkan sebagai subjek utama dalam menentukan kepemimpinan daerah.
Tanpa itu, pemilihan kepala daerah akan kehilangan makna substantifnya—sah secara hukum, tetapi rapuh secara demokratis.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Pilkada oleh DPRD: Pemilihan Elitis dan Matinya Demokrasi Lokal Nasional 30 Desember 2025
/data/photo/2024/12/03/674eb8d0d07d0.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)