5 Kepala Daerah Ditangkap KPK Sepanjang 2025, Siapa Saja?
Tim Redaksi
JAKARTA KOMPAS.com-
”
Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban sebagai gubernur, sebagai wakil gubernur dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, nusa, dan bangsa
.”
Beginilah ucapan sumpah yang dibacakan dalam pelantikan serentak kepala daerah pada 20 Februari 2025, khususnya untuk gubernur dan wakil gubernur.
Sumpah jabatan ini juga dilakukan untuk bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang dilantik pada waktu yang bersamaan di Istana Negara, Jakarta Pusat.
Sumpah jabatan dengan menyebut nama Tuhan di hadapan Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto itu seumur jagung,
Tak sampai setahun, sudah ada lima kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi, diduga melanggar undang-undang, dan tidak berlaku adil kepada masyarakat, nusa, dan bangsa.
Kepala daerah yang pertama mengawali kasus korupsi di tahun pertama menjabat ialah Bupati Kolaka Timur, Abdul Azis.
Belum genap lima bulan menjabat, Abdul Azis sudah menggunakan rompi oranye karena kasus suap proyek pembangunan rumah sakit umum daerah (RSUD) di Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara.
Abdul Azis ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama sejumlah orang, yakni Andi Lukman Hakim selaku PIC Kemenkes untuk Pembangunan RSUD; Ageng Dermanto selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) proyek Pembangunan RSUD di Kolaka Timur; Deddy Karnady selaku pihak swasta PT PCP; dan Arif Rahman selaku pihak swasta PT PCP.
Proyek Peningkatan RSUD Kolaka Timur dari Tipe C ke B senilai Rp 126,3 miliar.
Anggaran tersebut berasal dari dana alokasi khusus (DAK) bidang kesehatan.
Kasus ini bermula pada Desember 2024, ketika Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengundang lima konsultan perencana untuk membahas Basic Design RSUD.
Sebulan kemudian, yakni pada Januari 2025, berlangsung pertemuan antara Pemkab Kolaka Timur dan Kemenkes untuk membahas pengaturan lelang.
Dalam pertemuan ini, Ageng Dermanto selaku PPK diduga memberikan uang kepada Andi Lukman Hakim, pejabat Kemenkes.
Tak lama setelah itu, Bupati Kolaka Timur Abdul Azis bersama sejumlah pejabat daerah berangkat ke Jakarta.
Mereka diduga mengatur agar PT PCP memenangkan lelang proyek RSUD Kolaka Timur yang sudah diumumkan di laman LPSE.
Seperti tak belajar lewat rekan sejawatnya, Gubernur Riau Abdul Wahid ikut mengenakan rompi oranye KPK.
Abdul Wahid terjaring operasi tangkap tangan KPK pada Senin 3 November 2025 terkait kasus dugaan pemerasan atau hadiah, atau janji di Pemprov Riau untuk tahun anggaran 2025.
Abdul Wahid juga membawa rombongan, yaitu Kepala Dinas PUPR-PKPP Muhammad Arief Setiawan dan Dani M. Nursalam selaku Tenaga Ahli Gubernur Riau.
Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menyebut, kasus Abdul Wahid dimulai dari pertemuan Sekretaris Dinas PUPR PKPP Provinsi Riau Ferry Yunanda dengan enam Kepala UPT Wilayah I-VI, Dinas PUPR PKPP, untuk membahas kesanggupan memberikan
fee
kepada Gubernur Riau Abdul Wahid.
“(Fee) yakni sebesar 2,5 persen. Fee tersebut atas penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP yang semula Rp71,6 miliar menjadi Rp177,4 miliar (terjadi kenaikan Rp106 miliar),” ujar Tanak.
Jeda empat hari setelah operasi tangkap tangan gubernur Riau, KPK mendapat tangkapan di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.
Sugiri Sancoko, Bupati Ponorogo, menjadi tersangka karena kasus suap pengurusan jabatan dan proyek RSUD Ponorogo.
Selain Sugiti, ada tiga orang lain yang juga ditetapkan sebagai tersangka, yakni Agus Pramono selaku Sekretaris Daerah Kabupaten Ponorogo, Yunus Mahatma selaku Direktur RSUD Dr. Harjono Kabupaten Ponorogo, dan Sucipto selaku rekanan RSUD Ponorogo.
Kasus ini bermula pada awal 2025, ketika Yunus Mahatma selaku Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Harjono Ponorogo mendapatkan informasi bahwa dirinya akan diganti.
Pergantian tersebut akan dilakukan oleh Sugiri selaku Bupati Ponorogo.
Oleh karena itu, Yunus langsung berkoordinasi dengan Agus Pramono selaku Sekretaris Daerah Kabupaten Ponorogo untuk menyiapkan sejumlah uang yang akan diberikan kepada Sugiri Sancoko dengan tujuan agar posisinya tidak diganti.
Pada Februari 2025, dilakukan penyerahan uang pertama dari Yunus kepada Sugiri melalui ajudannya, sejumlah Rp 400 juta.
Kemudian, pada periode April-Agustus 2025, Yunus juga melakukan penyerahan uang kepada Agus Pramono senilai Rp 325 juta.
Selanjutnya, pada November 2025, Yunus kembali menyerahkan uang senilai Rp 500 juta melalui kerabat Sugiri Sancoko.
Dengan demikian, total uang yang telah diberikan Yunus dalam tiga klaster penyerahan uang tersebut mencapai Rp 1,25 miliar, dengan rincian yaitu, untuk Sugiri Sancoko sebesar Rp900 juta dan Agus Pramono senilai Rp 325 juta.
Bulan terakhir di tahun 2025, KPK kembali menangkap kepala daerah, kali ini adalah Bupati Lampung Tengah, Ardito Wijaya.
Dia diciduk dan ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penerimaan hadiah pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemkab Lampung Tengah.
Ardito tidak hanya membawa rekanan kerjanya dalam kasus ini, tetapi juga keluarganya, yakni Ranu Hari Prasetyo selaku adik kandungnya.
Selain itu, ada Plt Kepala Badan Pendapatan Daerah Lampung Tengah yang juga kerabat Ardito, Anton Wibowo; dan Direktur PT Elkaka Mandiri Mohamad Lukman Sjamsuri yang turut jadi tersangka.
Aksi korupsi Ardito disebut telah dilakukan pada pertengahan 2025.
Selaku bupati Lampung Tengah, ia mematok
fee
sebesar 15-20 persen dari sejumlah proyek tempat ia berkuasa.
Ardito sebelumnya meminta anggota DPRD Lampung Tengah Riki Hendra Saputra untuk mengatur pemenang pengadaan barang dan jasa di sejumlah SKPD Lampung Tengah melalui mekanisme penunjukan langsung di E-Katalog.
Rekanan atau penyedia barang dan jasa yang harus dimenangkan adalah perusahaan milik keluarga atau milik tim pemenangan Ardito saat mencalonkan diri sebagai Bupati Lampung Tengah periode 2025-2030.
Dalam pelaksanaan pengkondisian tersebut, Ardito Wijaya meminta Riki Hendra untuk berkoordinasi dengan Anton Wibowo dan Iswantoro selaku Sekretaris Bapenda yang selanjutnya akan berhubungan dengan para SKPD guna pengaturan pemenang tender.
Atas pengkondisian tersebut, pada periode Februari-November 2025, Ardito Wijaya diduga menerima
fee
senilai Rp 5,25 miliar dari sejumlah rekanan atau penyedia barang dan jasa.
Selain itu, KPK menemukan bahwa Ardito menerima
fee
Rp500 juta dari Mohamad Lukman Sjamsuri selaku Direktur PT EM untuk memenangkan paket pengadaan alat kesehatan Dinkes Lampung Tengah.
Menutup akhir tahun, KPK membawa anak dan ayah yang menjadi tersangka kasus korupsi, ia adalah Bupati Bekasi Ade Kuswara Kunang, dan ayahnya HM Kunang.
Dalam dugaan suap
ijon
proyek di Kabupaten Bekasi ini, KPK juga menangkap pihak swasta selaku penyuap, yakni Sarjan.
Praktik
ijon
proyek keluarga Kunang ini dilakukan Ade Kuswara untuk tahun anggaran proyek 2025.
Kasus suap ini bermula setelah Ade Kuswara terpilih sebagai Bupati Bekasi, menjalin komunikasi dengan Sarjan selaku pihak swasta penyedia paket proyek di lingkungan Pemkab Bekasi.
Dari komunikasi tersebut, dalam rentang satu tahun terakhir, Bupati Ade rutin meminta ‘
ijon
’ paket proyek kepada Sarjan melalui perantara HM Kunang.
“Total ‘
ijon
’ yang diberikan oleh Sarjan kepada Bupati Ade bersama-sama HM Kunang mencapai Rp 9,5 miliar.
Pemberian uang dilakukan dalam empat kali penyerahan melalui para perantara,” ujarnya.
Selain aliran dana tersebut, sepanjang tahun 2025, Bupati Ade juga diduga mendapatkan penerimaan lainnya yang berasal dari sejumlah pihak dengan total mencapai Rp 4,7 miliar.
Dalam operasi senyap ini, KPK mengamankan barang bukti di rumah Bupati Ade berupa uang tunai senilai Rp 200 juta.
Totalnya, Ade Kuswara mengantongi uang haram sebanyak Rp 14,2 miliar.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
5 Kepala Daerah Ditangkap KPK Sepanjang 2025, Siapa Saja?
/data/photo/2025/12/20/6945d644038b0.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)