Kampung Kebon Melati, Oase Hijau yang Bertahan di Tengah Pusat Bisnis Jakarta

Kampung Kebon Melati, Oase Hijau yang Bertahan di Tengah Pusat Bisnis Jakarta

Kampung Kebon Melati, Oase Hijau yang Bertahan di Tengah Pusat Bisnis Jakarta
Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com –
Di tengah kepungan gedung pencakar langit kawasan Thamrin, Jakarta Pusat,
Kampung Kebon Melati
, justru bertahan sebagai permukiman yang rapi, hijau, dan relatif nyaman.
Di saat kawasan sekitarnya tumbuh menjadi pusat bisnis modern, kampung ini berkembang lewat cara yang berbeda:
gotong royong warga
yang konsisten selama bertahun-tahun.
Bukan karena proyek besar pemerintah, melainkan berkat kesadaran kolektif warga yang menjaga lingkungannya dari hari ke hari.
Minimnya bantuan dan empati dari pemerintah justru menjadi pemicu warga untuk berdiri di atas kaki sendiri.
“Saya jujur merasa empati pemerintah itu kurang. Mereka kerja berdasarkan target,” ujar Ketua RW 06 Kebon Melati, Yudha Praja, saat ditemui
Kompas.com
, Rabu (24/12/2025).
Menurut Yudha, selama lebih dari satu dekade mengurus RW 06, hampir tidak ada dukungan nyata yang benar-benar menyentuh upaya warga menjaga lingkungan.
“Belum pernah ada sebenarnya, dan enggak perlu tahu juga. Kecamatan aja jarang turun, apalagi dari SDA atau kabupaten,” kata Yudha.
Ketertiban Kampung Kebon Melati tidak terbentuk secara instan. Yudha menyebutkan, perubahan dimulai dari hal sederhana, yakni membangun kebiasaan.
“Sosialisasi saja tidak cukup. Saya harus jadi contoh. Setiap pagi saya nyapu,” ujar Yudha.
Ia meminta warga minimal menyapu halaman rumah masing-masing setiap hari.
“Jam 09.00 WIB pagi biasanya sudah rapi semua,” tutur dia.
Kebiasaan tersebut tidak selalu berjalan mulus. Pada awal penerapannya, masih ada warga yang membuang sampah sembarangan atau enggan mengikuti aturan bersama.
Anak-anak yang membuang sampah sembarangan ditegur. Namun, Yudha justru melihat anak-anak sebagai kunci perubahan jangka panjang.
“Justru dari anak-anak ini kami harap kebiasaan baik itu tumbuh,” kata dia.
Dari rutinitas menyapu pagi hari itu, tumbuh rasa memiliki terhadap lingkungan. Gang-gang sempit menjadi bersih, tanaman terawat, dan ruang bersama hidup oleh aktivitas warga.
Menjaga lingkungan di tengah tekanan pembangunan bukan perkara mudah. Menurut Yudha, tantangan terberat bukan hanya persoalan fisik, melainkan menjaga konsistensi warga.
“Ini harus dijadikan
habit
. Kalau berhenti, ya kembali lagi ke kebiasaan lama,” ujar dia.
Untuk menjaga kedekatan, Yudha kerap turun langsung ke rumah-rumah warga, sekadar ngopi dan berbincang.
“Saya sering ngopi ke rumah warga. Satu rumah satu kopi, sampai tujuh gelas sehari. Tapi dari situ hubungan jadi cair,” kata Yudha.
Kedekatan tersebut membuat warga tidak sungkan menyampaikan persoalan. Saat pandemi Covid-19, solidaritas warga terasa kuat.
Warga yang sakit dibantu bersama, termasuk anak-anak kos yang tidak bisa pulang kampung.
“Padahal mereka bukan warga asli sini,” ujar Yudha.
Keamanan lingkungan pun relatif terjaga.
“Motor parkir di luar tiap malam, jarang kejadian (pencurian),” katanya.
Menurut Yudha, Tanah Abang bukan wilayah rawan kriminal, melainkan rawan keributan. Karena itu, peran pengurus lingkungan menjadi sangat penting.
Meski berbagai inovasi berjalan, Yudha menilai peran pemerintah masih jauh dari ideal. Ia mengkritik
pengelolaan sampah
Jakarta yang dinilainya belum serius.
“RW dipaksa ngelola sampah, padahal harusnya pengelolaan itu di tingkat kecamatan,” katanya.
Menurut Yudha, jika setiap kecamatan memiliki fasilitas pengolahan sendiri, beban Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang bisa berkurang.
Ia juga menyayangkan minimnya dukungan eksternal untuk memperluas dampak gerakan lingkungan RW 06.
“Tanpa uang aja kami masih bisa menggerakkan masyarakat. Tapi kalau mau berkembang, tetap butuh dukungan,” ujar dia.
Sebelumnya, Rabu (24/12/2025),
Kompas.com
menelusuri Kampung Kebon Melati, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Dari Jalan KH Mas Mansyur menuju Dukuh Pinggir V, suasana kota berubah drastis.
Jalan raya yang padat kendaraan berganti gang aspal sempit yang hanya cukup dilalui satu mobil. Rumah-rumah warga berdiri rapat, sebagian masih mempertahankan bentuk lama dengan teras kecil dan jemuran pakaian di lantai atas.
Dari dalam gang, menara-menara kaca kawasan Thamrin tampak menjulang jelas. Kontras antara kampung dan pusat bisnis modern Jakarta seolah menjadi latar permanen kehidupan warga Kebon Melati.
Meski berada di jantung kota, nuansa hijau masih terasa kuat. Pot-pot tanaman berjajar di sepanjang gang, dari tanaman hias hingga pohon pisang yang tumbuh subur di pekarangan warga.
Rimbunnya pepohonan membuat udara lebih teduh. Di beberapa titik, sinar matahari terhalang dedaunan, menciptakan lorong-lorong sejuk di tengah terik Jakarta.
Di salah satu sisi kampung, Waduk Melati mengalir tenang. Jalur setapak berpaving di sepanjang waduk dimanfaatkan sebagai ruang bersama.
Bangku sederhana, taman kecil bertuliskan “Taman Dugar RW 06”, serta pagar warna-warni menandai upaya warga merawat ruang publik mereka.
Salah satu pilar utama Kampung Kebon Melati adalah pengelolaan sampah. Di sejumlah sudut RW 06 terlihat tempat penampungan botol plastik yang dikunci.
Spanduk larangan membakar dan membuang sampah sembarangan terpasang, lengkap dengan rujukan Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2013.
Ketua RT 008 RW 06, Andi (48), mengatakan inovasi pengelolaan sampah lahir dari kesadaran warga.
“Sepanjang pengalaman saya keliling Jakarta, kebanyakan permukiman padat itu identik dengan kumuh. Tapi di sini tidak. Masuk ke wilayah ini rasanya seperti terapi,” ujar Andi.
RW 06 memiliki bank sampah, pengolahan sampah organik menggunakan maggot, serta komposter. Sampah plastik disalurkan ke bank sampah, sementara sampah organik rumah tangga diolah menjadi pakan maggot.
“Setiap hari bisa mengolah sekitar 40 kilogram sampah organik. Maggot ini sudah berjalan sekitar lima tahun,” kata Andi.
Ia mengaku mengikuti pelatihan pengolahan maggot, lalu menularkannya kepada warga. Hasil maggot dijual ke pemancing atau dimanfaatkan sebagai pakan ikan dan ayam.
“Lumayan buat nambah-nambah kebutuhan kecil,” ujarnya.
Selain maggot, sampah yang sulit diolah dimasukkan ke komposter dan diubah menjadi pupuk.
“Itu sebabnya tanah di sini bisa subur,” kata Andi.
Seluruh sistem tersebut berjalan tanpa bantuan besar dari pihak luar.
“Tidak ada CSR besar, tidak ada bantuan perusahaan. Semua murni dari warga dan pengurus RW,” ujarnya.
Kampung Kebon Melati berada di lokasi strategis, sekitar satu kilometer dari Bundaran HI, serta dekat Stasiun Karet dan jalur MRT. Pembangunan besar-besaran di sekitarnya mulai terasa sejak sekitar 2004.
“Gedung-gedung mulai naik, tapi masih ada warga yang bertahan,” kata Andi.
Sebagian warga memilih bertahan karena harga tanah tidak sesuai, sementara lainnya karena sudah merasa nyaman tinggal di kampung.
RW 06 memiliki delapan RT dengan sekitar 259 kepala keluarga. Mayoritas rumah di wilayah ini bersifat permanen, berbeda dengan sebagian wilayah RW 05 yang masih padat dan rawan genangan, terutama di dekat rel dan proyek pembangunan.
“Soal rumah kosong yang hanya tinggal dinding, itu biasanya karena tanahnya sudah dibeli spekulan atau PT, tapi belum dibangun,” kata Andi.
Meski diapit pembangunan, wilayah RW 06 relatif aman dari banjir.
“Waktu banjir besar yang sampai ke Thamrin dan kawasan UOB, air justru mengalir ke sana, bukan ke sini,” ujar dia.
Kondisi topografi yang lebih tinggi serta keberadaan waduk menjadi faktor penentu.
Bagi Ria (32), ibu rumah tangga yang telah puluhan tahun tinggal di Kebon Melati, kampung ini menawarkan kualitas hidup yang jarang ditemukan di pusat kota.
“Walaupun ini pusat kota, rasanya beda. Nggak kayak Jakarta yang panas banget. Di sini masih adem karena banyak pohon,” kata Ria saat ditemui di depan rumahnya.
Ia menikmati suasana pagi yang sejuk, ketika warga menyapu sambil berbincang. Anak-anak bisa bermain di luar tanpa kepanasan.
“Kalau pulang dari luar yang panas dan macet, masuk ke kampung ini rasanya langsung beda. Lebih tenang,” ujar Ria.
Menurut dia, warga saling mengingatkan untuk menjaga lingkungan.
“Kalau ada yang menebang pohon sembarangan, pasti ditegur. Karena kami tahu, pohon itu buat kesehatan kami sendiri,” kata dia.
Pengamat perkotaan Universitas Indonesia, Muh Aziz Muslim, menilai keberadaan Kampung Kebon Melati tidak lepas dari sejarah pembangunan Jakarta.
Menurut dia, masifnya pembangunan pusat bisnis sejak era 1990-an meninggalkan kampung-kampung yang “terjebak” di tengah kota.
“Ini kondisi yang sudah
existing
. Kampung Kebon Melati seolah terjebak di tengah pembangunan yang sangat masif di pusat kota Jakarta,” ujar Aziz saat dihubungi.
Aziz menekankan pentingnya peran pemerintah daerah dalam menjaga kualitas hidup warga yang masih bertahan.
Menurut dia, warga kampung berhak menikmati fasilitas publik dan layanan dasar sebagai warga kota yang sah. Ia menilai perencanaan kota ke depan harus lebih disiplin dan inklusif.
“Pembangunan harus melibatkan partisipasi masyarakat tanpa mengorbankan kampung kota,” kata dia.
Aziz juga menyoroti pentingnya kepastian hak atas tanah warga kampung. Tanpa perlindungan tersebut, kampung-kampung kota berisiko terus terpinggirkan oleh pembangunan vertikal.
“Kota yang baik itu bukan hanya modern, tapi layak huni dan berkelanjutan,” ujar dia.
Di balik gemerlap gedung pencakar langit Jakarta, Kampung Kebon Melati menjadi contoh bahwa kota bisa dirawat dari bawah.
Minim bantuan pemerintah, warga justru menemukan kekuatannya dalam gotong royong—menyapu pukul sembilan pagi, mengolah sampah sendiri, dan menjaga hijau yang tersisa agar tetap hidup.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.