PDI-P: Bencana di Aceh adalah Luka Seluruh Bangsa, Jangan Tarik ke Politik
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
PDI-P menegaskan bahwa bencana alam yang melanda Aceh dan sejumlah wilayah di Sumatera harus dipandang sebagai persoalan kemanusiaan, bukan ditarik ke dalam kepentingan politik.
Penegasan ini disampaikan merespons insiden bentrokan antara warga dan aparat di Aceh Utara yang dipicu pengibaran bendera
Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) sebagai bentuk protes atas penanganan bencana.
“Luka di Aceh, di Sumatera Utara, dan Sumatera Barat akibat bencana adalah luka seluruh anak bangsa. Maka jangan masukkan hal-hal yang sifatnya politis,” ujar Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto saat ditemui di Sekolah Partai PDI-P, Jakarta Selatan, Senin (29/12/2025).
Oleh karena itu, lanjut Hasto, negara dituntut hadir secara cepat dan konkret untuk memulihkan kehidupan masyarakat terdampak.
“Kita harus berbicara soal kemanusiaan dan gotong royong untuk membantu mereka,” kata dia.
Hasto menekankan bahwa di Negara Kesatuan Republik Indonesia hanya terdapat satu bendera yang diakui, yakni Merah Putih.
Namun, dia mengingatkan agar situasi darurat akibat bencana tidak dibebani dengan kepentingan politik kekuasaan.
“Dalam situasi yang terjadi saat ini di Aceh, kita harus melihat adanya harapan-harapan kepada kita semua, seluruh bangsa Indonesia, termasuk pemerintah, terkait dengan penanganan bencana yang cepat,” kata Hasto.
Menurut Hasto, bencana seharusnya menjadi momentum yang menyatukan seluruh elemen bangsa dalam semangat kemanusiaan dan gotong royong.
Untuk itu, dia meminta pemerintah dan pihak-pihak terkait agar menahan diri dan tidak memasukkan aspek politik.
Khususnya yang berkaitan dengan kekuasaan, dalam situasi penanganan bencana.
“Jangan masukkan aspek-aspek politik berkaitan dengan bencana ini. Politik kekuasaan. Intinya, bencana ini menyatukan kita secara kemanusiaan, menggelorakan gotong royong kita untuk membantu mereka,” tegas Hasto.
Hasto menambahkan, kesigapan pemerintah dalam melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana sangat penting dilakukan.
Dia menyebutkan, pemulihan fasilitas sosial dan pembangunan kembali perumahan rakyat harus segera dilakukan guna membangun harapan baru bagi masyarakat korban bencana.
“Diperlukan kesigapan dari pemerintah untuk secepatnya turun tangan, melakukan rehabilitasi terhadap fasilitas-fasilitas sosial dan juga perumahan-perumahan rakyat, membangun suatu harapan baru, serta menyatukan diri dalam upaya pemulihan bencana dengan seluruh dampak-dampaknya,” kata Hasto.
Diberitakan sebelumnya, aksi demonstrasi Gerakan Rakyat Aceh Bersatu (GRAB) di Desa Landing, Kecamatan Lhoksukon, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh, yang digelar pada Kamis (25/12/2025), berakhir dengan kericuhan.
Kericuhan diduga dipicu oleh tindakan represif aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang merampas atribut bendera bulan bintang hingga berujung pada dugaan penganiayaan terhadap peserta aksi.
Koordinator aksi, Muhammad Chalis, mengungkapkan bahwa sebanyak enam peserta demonstrasi menjadi korban pemukulan oleh oknum TNI.
Salah satu korban, Pon Satria, mengalami luka di bagian bibirnya.
“Dipukuli dengan popor senjata, sasarannya bukan hanya yang membawa bendera, tapi yang tidak membawa bendera bintang bulan pun dipukuli juga,” kata Chalis saat dihubungi Kompas.com, Jumat (26/12/2025).
Selain perampasan atribut, oknum TNI berinisial Praka Junaidi diduga melakukan perampasan dan intimidasi terhadap Fazil, yang juga menjabat sebagai Ketua Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Lhokseumawe.
Perampasan ponsel Fazil itu pun dibenarkan Komandan Kodim 0103 Aceh Utara, Letkol Arh Jamal Dani Arifin, yang menyebut adanya tindakan perampasan ponsel wartawan oleh salah satu personelnya.
“Sejujurnya saya akui tindakan itu tidak bisa dibenarkan. Untuk anggota kami, tentu akan ada tindakan aturan yang berlaku di militer,” ujar Jamal Dani Arifin, Jumat (26/12/2025).
Menanggapi kericuhan yang terjadi, TNI menyebut bahwa mereka menemukan ada bendera bulan bintang yang identik dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
“Sebagian mengibarkan bendera bulan bintang yang identik dengan simbol GAM,, disertai teriakan yang dinilai berpotensi memancing reaksi publik dan mengganggu ketertiban umum, khususnya di tengah upaya pemulihan Aceh pascabencana,” tulis Puspen TNI.
TNI menegaskan, pelarangan pengibaran bendera bulan bintang didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku.
“Karena simbol tersebut diidentikkan dengan gerakan separatis yang bertentangan dengan kedaulatan NKRI, sebagaimana diatur dalam Pasal 106 dan 107 KUHP, Pasal 24 huruf a, UU Nomor 24 Tahun 2009, serta PP Nomor 77 Tahun 2007,” tulis Puspen TNI.
Saat proses pembubaran, sempat terjadi adu mulut antara aparat dan massa.
TNI mengeklaim, terdapat oknum masyarakat yang melakukan pemukulan terhadap aparat, termasuk Komandan Kodim dan Kapolres yang turut berada di lokasi.
TNI juga mengamankan seorang pedemo yang kedapatan membawa senjata api saat aksi unjuk rasa itu berlangsung pada Kamis (25/12/2025) hingga Jumat (26/12/2025) dini hari.
Saat dilaksanakan pemeriksaan, aparat menemukan satu orang yang membawa satu pucuk senjata api jenis Colt M1911, yakni jenis pistol.
Aparat juga menemukan amunisi, magasin, dan senjata tajam.
Satu orang yang membawa pistol Colt tersebut kemudian diserahkan TNI ke polisi agar diproses sesuai hukum yang berlaku.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
PDI-P: Bencana di Aceh adalah Luka Seluruh Bangsa, Jangan Tarik ke Politik
/data/photo/2025/12/07/693525375e576.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)