Terang Natal di Hulu Sungai yang Gelap

Terang Natal di Hulu Sungai yang Gelap

Terang Natal di Hulu Sungai yang Gelap
Advokat dan Konsultan Hukum Pasar Modal

Email: office@azlawid.com
Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
NATAL
kerap dimaknai sebagai perayaan terang. Simbol harapan, keadilan, dan keberpihakan pada kehidupan.
Dalam ruang refleksi publik, momentum ini sering digunakan untuk meninjau kembali sejauh mana nilai-nilai tersebut benar-benar hadir dalam praktik sosial dan kebijakan.
Natal
tahun ini bertepatan dengan duka banjir bandang di Indonesia, khususnya Sumatera. Narasi yang kerap muncul adalah banjir datang sebagai akibat cuaca ekstrem dan perubahan iklim.
Namun, dalam konteks tata kelola lingkungan, penjelasan ini belum mencakup seluruh rangkaian sebab yang bekerja sebelum air meluap.
Ada proses panjang yang berlangsung jauh sebelumnya. Pembukaan hutan, penggalian tanah, dan sedimentasi sungai.
Proses ini tidak terjadi di hilir, melainkan di hulu—wilayah yang secara ekologis seharusnya berfungsi sebagai penyangga kehidupan.
Di wilayah hulu inilah praktik pertambangan ilegal kerap ditemukan, dengan tingkat penindakan yang sering kali dipersepsikan belum optimal.
Secara normatif, pertambangan tanpa izin dikualifikasikan sebagai tindak pidana. Konsepsi ini, antara lain, tercermin dalam UU No. 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara, serta beririsan dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Kerangka hukum ini menunjukkan bahwa dari sisi substansi hukum, negara telah menyediakan dasar yang cukup.
Jika dibaca melalui teori sistem hukum Lawrence M. Friedman, unsur substansi hukum dan struktur kelembagaan dapat dikatakan relatif tersedia.
Tantangan utama justru muncul pada unsur ketiga, yakni budaya hukum. Bagaimana hukum dijalankan secara konsisten dan sejauh mana ia diarahkan untuk menyentuh akar persoalan?
Dalam praktik, penindakan terhadap pertambangan ilegal sering berfokus pada pelaku lapangan, seperti pekerja, operator alat berat, atau pengangkut hasil tambang. Proses hukum berjalan dan menghasilkan putusan.
Namun, aktor pengendali, pemodal, serta jaringan distribusi hasil tambang relatif jarang tersentuh. Dalam situasi demikian, hukum tampak hadir, tetapi daya jangkaunya terbatas.
Hulu sungai tidak semata menunjuk pada lokasi geografis, tetapi juga dapat dibaca sebagai metafora titik awal persoalan, baik secara ekologis maupun yuridis.
Ketika penegakan hukum tidak menjangkau wilayah dan aktor di hulu, maka dampak di hilir pada akhirnya menjadi persoalan yang hanya menunggu waktu.
Pendangkalan sungai, kerusakan daerah aliran sungai, dan menurunnya daya serap tanah bukan peristiwa alamiah semata. Fenomena tersebut memiliki sumbangsih besar dari akumulasi aktivitas ekonomi yang tidak terkelola secara sah dan berkelanjutan.
Dalam konteks ini, banjir tidak lagi dapat dipahami sepenuhnya sebagai musibah alam, melainkan sebagai konsekuensi dari tata kelola dan penegakan hukum yang belum efektif.
Persoalan pertambangan ilegal juga menyentuh dimensi keadilan yang lebih luas. Teori keadilan lingkungan (
environmental justice
) mengingatkan bahwa dampak kerusakan lingkungan hampir selalu terdistribusi secara tidak seimbang.
Keuntungan ekonomi dari aktivitas ilegal dinikmati oleh segelintir pihak, sementara beban ekologis dan sosial ditanggung oleh masyarakat di hilir sungai.
Padahal, secara normatif, prinsip pembangunan berkelanjutan dan keadilan antargenerasi telah menjadi bagian dari kebijakan lingkungan nasional.
Ketika prinsip-prinsip tersebut tidak terwujud dalam praktik penegakan hukum, persoalan pertambangan ilegal bertransformasi menjadi persoalan keadilan sosial yang mendasar.
Prinsip yang menekankan bahwa kejahatan tidak cukup ditangani dari peristiwanya, tetapi harus ditelusuri melalui aliran uang yang dihasilkannya.
Pendekatan ini berangkat dari pemahaman bahwa aktivitas ilegal bertahan bukan semata karena pelaku lapangan, melainkan karena adanya insentif ekonomi yang terus mengalir.
Dalam konteks pertambangan ilegal, pendekatan
follow the money
menjadi relevan karena kegiatan ini pada dasarnya merupakan kejahatan ekonomi. Ia melibatkan modal, aliran dana, penampungan hasil tambang, serta mekanisme distribusi yang relatif terstruktur.
Secara normatif, UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang membuka ruang untuk menelusuri dan merampas hasil kejahatan yang berasal dari tindak pidana di bidang sumber daya alam.
Namun, dalam praktik penegakan hukum, pendekatan ini masih relatif terbatas penggunaannya. Penindakan lebih sering diarahkan pada aktivitas fisik penambangan, bukan pada aliran keuntungan yang menopang keberlanjutan kejahatan.
Akibatnya, lubang tambang dapat ditutup, tetapi insentif ekonomi tetap utuh. Hulu persoalan pun tetap tidak tersentuh.
Dalam banyak kasus, pertambangan ilegal menunjukkan karakter yang terorganisir: adanya pembagian peran, pendanaan, jaringan distribusi, dan kesinambungan operasi.
Namun, dalam praktik penegakan hukum, kejahatan ini masih sering diperlakukan sebagai rangkaian peristiwa yang terpisah, bukan sebagai satu sistem kejahatan.
Pendekatan sektoral yang terfragmentasi ini membuat penindakan bersifat reaktif dan sementara. Di sisi lain, struktur ekonomi ilegal di hulunya tetap bertahan.
Dalam konteks ini, pesan Natal menemukan relevansinya. Terang, dalam pengertian etis, bukan sekadar simbol, melainkan keberanian untuk menghadirkan keadilan secara nyata.
Dalam konteks hukum, terang berarti konsistensi dan ketidakselektifan dalam menegakkan aturan. Hal ini termasuk pula keberanian untuk menelusuri keuntungan dan aktor yang selama ini berada di balik layar.
Gagasan hukum progresif Satjipto Rahardjo mengingatkan bahwa hukum tidak boleh berhenti pada kepastian prosedural semata. Hukum perlu diukur dari kemampuannya mencegah kerusakan dan melindungi manusia.
Selama persoalan di hulu Sungai, baik secara ekologis maupun yuridis, belum ditangani secara komprehensif, termasuk dengan menelusuri dan memutus aliran keuntungan ilegalnya, maka risiko banjir di hilir akan terus berulang.
Selama pertambangan ilegal diperlakukan sebagai pelanggaran sektoral yang terpisah dari dimensi ekonomi dan dampaknya, daya terang hukum akan tetap terbatas.
Natal mengingatkan bahwa terang tidak hadir secara otomatis. Ia menuntut konsistensi, keberanian, dan kesetiaan pada hukum itu sendiri.
Dalam konteks ini, terang itu bernama penegakan hukum yang konsisten, proporsional, dan berani mengikuti aliran uang hingga ke hulunya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.