Momen Natal 2025 dan Tahun Baru 2026, Konsumen Global Masih Mengerem Belanja

Momen Natal 2025 dan Tahun Baru 2026, Konsumen Global Masih Mengerem Belanja

JAKARTA – Di tengah kondisi ekonomi yang masih belum pulih, pola konsumsi pada momen Natal 2025 tertahan tak seperti biasanya. Dan, situasi ini terjadi di beberapa negara, tidak hanya di Indonesia.

Analis pasarMintelmenunjukkan konsumen menahan konsumsi pada momen Natal tahun ini. Fenomena ini menunjukkan adanya kehati-hatian dalam berbelaja di tengah tekanan dan ketidakpastian ekonomi.

Mintelmemprediksi lebih banyak orang menunda pembelian demi mendapatkan penawaran menit terakhir.

Data dariMintelmenunjukkan, sepertiga atau sekitar 34 persen konsumen di Inggris menunggu promosi atau diskon sebelum membeli hadiah Natal. Sederhananya, konsumen di Inggris memprioritaskan keterjangkauan harga dalam berbelanja.

Tidak hanya itu, dua per lima dari responden yang mengikuti survei juga menyatakan tidak tertarik berbelanja di momen Natal 2025 karena sedang berhemat.

Warga memotret dekorasi Natal di Pusat Perbelanjaan PVJ Mall, Bandung, Jawa Barat, Senin (22/12/2025). Pengelola pusat perbelanjaan PVJ Mall menghadirkan pernak pernik Natal berupa dekorasi pohon cemara, kado pemberian sinterklas dan spot foto guna memeriahkan Natal 2025 dan Tahun Baru 2026. (ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/nym)

Fenomena Global

Penghematan saat belanja untuk Natal juga terjadi di Amerika Serikat. Meski mayoritas konsumen tetap berbelanja, 84 persen dari mereka menggunakan taktik berhemat dengan mencari diskon khusus. Ini mengindikasikan, konsumen jauh lebih berhati-hati dan tidak berbelanja berdasarkan keinginan di Natal tahun ini.

Di Inggris, Natal memang tetap dianggap sebagai momen untuk berbelanja. Namun para konsumen di negara tersebut dibayangi perasaan khawatir terhadap biaya hidup dan pajak yang tinggi.

Berdasarkan perbandinganMintel, tingkat keyakinan konsumen terhadap situasi ekonomi mereka di masa belanja Natal ini relatif lebih rendah dibandingkan keyakinan mereka di awal 2025.

Supaya belanja Natal yang menguras kantong, para konsumen menyiasatinya dengan berbelanja lebih awal, tepatnya pada momenBlack Friday.

Black Fridayadalah hari Jumat setelah perayaanThanksgiving, yang jatuh pada minggu keempat November setiap tahunnya. Ini menjadi momen di mana berbagai jenama memberikan diskon besar-besaran.

Para pembeli di momentum Black Friday berbelanja di Citadel Outlets di Los Angeles, California, Amerika Serikat, pada malam 25 November 2021. (ANTARA/Xinhua)

Biasanya momen diskon ini berlangsung selama beberapa hari. Meski budayaBlack Fridaylahir di AS, namun strategi ini kemudian diadaptasi di banyak negara, termasuk negara barat dan bahkan di Indonesia.

Masih dariMintel, survei menunjukkan momen Black Friday tahun ini digunakan konsumen di negara barat untuk berbelanja hadiah Natal. Ini menarik karena biasanya konsumen mulai belanja untuk kado Natal pada Desember, bukan November.

Di Inggris, misalnya, dua pertiga konsumen menggunakan momenBlack Fridayuntuk membeli kado Natal. Hal ini selaras dengan tren yang diprediksi pada setahun silam, di mana 6 dari 10 konsumen sudah memundurkan waktu belanja Natal mereka di masaBlack Friday.

“Hal ini menantang para peritel tidak hanya untuk menonjol tetapi juga menciptakan momen-momen yang berdampak setelahBlack Friday,” demikian mengutip lamanMintel.

Pay LaterMeningkat

Fenomena lainnya yang terlihat pada momen belanja akhir tahun adalah meningkatnya pembelian secara kredit, terutama metode pembayaranbuy now pay later(BNPL).

Menurut dataAdobe, lebih dari 10 miliar dolar AS transaksi BNPL pada momen belanja akhir tahun 2025. Dengan demikian, berarti ada peningkatan sebesar sembilan persen dibandingkan transaksi BNPL di periode yang sama tahun lalu.

Fenomena pertumbuhan BNPL ini juga terjadi di Indonesia. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, pada semester I-2025 utangpay laterdi konsumen Indonesia mencapai lebih dari Rp31,5 triliun. Utang ini terkonsolidasi dari lebih dari 17 juta orang konsumen di Indonesia.

Pertumbuhan BNPL di Indonesia pada 2025 terbilang pesat. Per Februari lalu saja, pertumbuhan penggunapay latermeningkat lebih dari 25 persen secarayear on year.Angka ini pun diprediksi akan terus meningkat hingga 2025 berakhir.

Nasabah mengakses aplikasi penunda pembayaran (paylater). (ANTARA/Yulius Satria Wijaya/tom/aa)

Angka ini bisa dimaknai secara positif dan negatif. Di satu sisi, ini mencerminkan adaptasi masyarakat terhadap pembiayaan digital. Selain itu, tren ini juga menunjukkan bahwa masyarakat masih relatif ingin melakukan konsumsi.

Namun di balik grafik yang terus menanjak, muncul tanda bahaya yang tidak bisa diabaikan. Angka BNPL yang didominasi oleh kelompok generasi milenial dan gen Z ini menandakan daya beli masyarakat lemah di kelompok usia produktif.

Ketika daya beli di kelompok usia produktif melemah, maka BNPL memiliki risiko gagal bayar yang tinggi. Menurut data Januari 2025, rasio pembiayaan bermasalah (non-performing financingatau NPF) BNPL di perusahaan pembiayaan naik ke kisaran 3,37 persen. Angka ini sempat turun menjadi sekitar 2,95 persen pada pertengahan 2025, namun analis menilai penurunan itu bisa bersifat sementara—terutama menjelang lonjakan konsumsi akhir tahun.

Risiko Gagal Bayar

Sementara itu, datacredit bureaumenunjukkan gambaran yang lebih konkret. Hingga Oktober 2024, nilai kredit macet BNPL telah mencapai Rp723,1 miliar, dari total portofolio hampir Rp33,84 triliun, dengan sekitar 2,44 juta debitur.

Di tengah tingginya pertumbuhan BNPL, pada 15 Desember 2025 OJK mengesahkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 32 Tahun 2025 tentang PenyelenggaraanBuy Now Pay Later. Regulasi ini bukan sekadar aturan administratif, melainkan sinyal kekhawatiran. BNPL tak lagi bisa diperlakukan sebagai inovasi tanpa konsekuensi.

“Kami ingin memastikan pertumbuhan BNPL tetap sehat, berkelanjutan, dan tidak mengorbankan stabilitas sektor jasa keuangan maupun kepentingan konsumen,” ujar Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan dan Komunikasi OJK M. Ismail Riyadi.

Konsumen, kata Ismail, harus bisa mengambil keputusan pembiayaan secara sadar dan bertanggung jawab.

Seperti hari raya lainnya, momen belanja Natal tahun ini bisa memberikan gambaran soal situasi perekonomian, terutama keyakinan konsumen setahun mendatang.

Ketidakpastian dan tekanan ekonomi menjadi tantangan. Namun melihat pertumbuhan kredit, terutamapay later,bisa menjadi penanda bahwa sebenarnya minat masyarakat untuk belanja masih tinggi.

Fenomena ini tentunya harus dipandang serius oleh pemerintah. Di satu sisi, pemerintah harus mengambil langkah penting supaya tren pay later tidak berkembang menjadi persoalan sistemik. Tapi di sisi lain, langkah itu juga harus dilakukan dengan hati-hati supaya daya beli tidak semakin tergerus.