Refleksi Natal: Damai di Hati dan Damai Tanah Airku
Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.
Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
DARI
salah satu sudut jendela hotel di Yerusalem, kota yang secara paradoks disebut sebagai “Kota Suci tiga agama samawi”, tapi hari ini dibalut oleh kawat berduri dan dihinggapi kecemasan yang tak berkesudahan, saya merasa perlu untuk menulis refleksi penting di hari Natal kali ini.
Udara dingin yang menusuk tulang di tanah para nabi ini seolah membawa pesan penting yang harus saya sampaikan kepada Tanah Air yang saya cintai.
Di sini, sepanjang pengamatan saya,
Natal
sudah bukan lagi sekadar ornamen lampu warna-warni atau diskon-diskon di berbagai pusat perbelanjaan.
Di sini, Natal sudah bertransformasi menjadi penantian yang sangat panjang atas ujung waktu kapan berakhirnya deru mesin perang.
Sebagai seorang pengamat sosial-politik aktif tanah air, yang kebetulan kali ini mengamati dari jarak jauh, berada di episentrum
konflik
Palestina dan Israel memberikan perspektif yang berbeda tentang apa arti “damai” yang sesungguhnya.
Kita tentu sepakat bahwa dunia hari ini sedang tidak baik-baik saja. Dunia sedang “gelagapan dan grogi” karena demam geopolitik yang kian tak pasti kapan akan sembuhnya.
Jika kita melayangkan pandangan lebih jauh dari tembok-tembok Yerusalem, kita akan melihat Sudan yang terkoyak oleh ambisi dua kubu militer yang berseteru sejak beberapa tahun lalu, menyisakan jutaan orang dalam kelaparan dan ketidakpastian.
Di hamparan Eropa Timur, perang antara Rusia dan Ukraina juga tak menunjukkan tanda-tanda akan segera berakhir dengan cara yang baik.
Perang Rusia-Ukraina telah mengubah ladang gandum menjadi ladang ranjau, lalu ikut mengguncang ketahanan pangan serta energi global.
Bahkan di kawasan yang lebih dekat dengan tanah air kita, ketegangan historis antara Thailand dan Kamboja, hingga rivalitas raksasa antara Amerika Serikat dan China di Indo-Pasifik yang terus mendorong terciptanya bipolaritas baru, semuanya menggambarkan betapa rapuhnya tatanan dunia yang kita tinggali.
Geopolitik pelan-pelan berubah menjadi permainan catur yang penuh dengan pengorbanan, di mana manusia seringkali hanya dianggap sebagai angka-angka dalam data statistik.
Namun, di tengah hiruk-pikuk api yang menyala di berbagai belahan dunia tersebut, pikiran saya terbang kembali ke tanah air, Indonesia.
Harus diakui, Indonesia saat ini sedang bergulat dengan beban yang tidak sedikit di satu sisi dan tak mudah di sisi lain.
Masalah ekonomi yang menghimpit masyarakat kebanyakan, fluktuasi harga kebutuhan pokok yang terus membebani dapur keluarga, hingga rentetan bencana alam yang silih berganti menghantam dari satu pulau ke pulau lain, menjadi realitas yang pahit untuk dicerna.
Dengan kata lain, kita merayakan Natal tahun ini di bawah bayang-bayang kesulitan yang secara pelan-pelan berubah menjadi beban nyata.
Namun demikian, jika kita bersedia sedikit saja menepi dari berbagai keluhan tersebut, lalu mulai melihat gambaran besar dunia melalui lensa reflektif perayaan Natal kali ini, ada satu hal fundamental yang patut kita syukuri sebagai negara bangsa, yakni Indonesia tidak sedang berada dalam kobaran perang saudara atau tekanan militer mana pun.
Keberhasilan kita menjaga kohesi sosial di tengah keragaman adalah pencapaian sosiologis yang seringkali terlupa untuk diapresiasi secara proporsional.
Di saat bangsa-bangsa lain terpecah karena perbedaan sekte, etnis, atau batas wilayah, Indonesia masih tegak berdiri sebagai rumah besar yang dianggap masih mampu menjadi ibu pertiwi dari semua ibu yang hidup di tanah air.
Oleh karena itu, Natal di Indonesia kali ini adalah momen di mana pesan perdamaian itu harus digemakan kembali, bukan sebagai retorika kosong atau istilah kerennya
omon-omon
, melainkan sebagai komitmen eksistensial bersama.
Sebagaimana sama-sama diketahui, “damai” bukanlah kondisi statis atau pemberian alam, melainkan hasil kerja keras merujuk akal sehat yang harus terus diproduksi dan diproduksi ulang oleh setiap warga negara.
Karena itu, pesan damai dari palungan Natal di Indonesia kali ini harus mampu melintasi batas-batas geografis dan ideologis. Agar pesan tersebut tetap kredibel di mata dunia, maka pesan tersebut harus terlebih dahulu membumi dan mampu menyembuhkan luka-luka di dalam tubuh kita sendiri.
Salah satu luka yang paling dalam dan membutuhkan perhatian serius adalah Tanah Papua di mana mayoritas penduduknya merayakan Natal.
Sebagai sosiolog, saya menilai bahwa pendekatan keamanan dan pembangunan infrastruktur fisik masih jauh dari cukup untuk membasuh luka sejarah di sana.
Sudah saatnya Indonesia, dengan keberanian moral yang besar, memikirkan strategi baru yang lebih manusiawi untuk menyelesaikan masalah Papua dengan memperlakukan aspirasi yang lahir dari tanah Papua Barat seapresiatif dan semanusiawi mungkin.
Dengan kata lain, saya termasuk orang yang percaya bahwa damai di Papua tidak akan lahir dari moncong senjata atau dari meja-meja birokrasi di Jakarta yang buat orang Papua sendiri maupun negara-negara Polinesia dianggap masih ‘arogan’.
Damai hanya bisa tumbuh dan bertumbuh dari meja-meja negosiasi yang didasari oleh ketulusan dan kemurnian niat, di mana rasa saling menghargai dan pengakuan atas martabat kemanusiaan menjadi alas dasarnya.
Indonesia harus mulai membuka mata dan berani mendengarkan suara-suara yang selama ini terpinggirkan di Tanah Papua, memahami narasi penderitaan mereka dengan hati yang bersih, lalu mencari jalan tengah yang menjunjung tinggi keadilan.
Mengabarkan damai ke seluruh dunia akan terasa hambar jika Indonesia belum mampu menghadirkan kedamaian yang substantif di Bumi Cendrawasih.
Artinya, resolusi konflik di Papua melalui jalur dialog akan menjadi bukti nyata yang dihadirkan kepada dunia bahwa Indonesia adalah kampiun perdamaian yang sesungguhnya, bukan sekadar penonton di panggung global.
Situasi geopolitik yang kian memanas antara Amerika Serikat dan China yang memicu ketegangan geo-ekonomi seharusnya menjadi pengingat bagi kita semua sebagai bangsa yang tangguh untuk memperkuat ketahanan nasional melalui solidaritas sosial nyata, terutama di tanah Papua, bukan melalui pemaksaan dan moncong senjata.
Dalam perspektif sosiologi politik, stabilitas negara sangat bergantung pada kemampuannya mengelola konflik internal secara damai.
Jika negara terjebak dalam pertikaian tak berujung di dalam negeri, maka akan mudah terbawa arus kepentingan kekuatan-kekuatan global yang sedang bertarung di arena internasional.
Oleh karena itu, Natal kali ini sebaiknya menjadi momentum untuk melakukan “gencatan senjata” sosial atas segala kebencian, prasangka, dan polarisasi politik yang mungkin masih tersisa di antara kita sebagai anak bangsa, termasuk dengan para pihak di Papua yang selama ini dilabeli pemberontak atau teroris oleh Jakarta.
Selanjutnya, masalah ekonomi dan bencana alam yang kita hadapi memang berat. Namun sejarah mencatat bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang tangguh.
Kita sebagai bangsa memiliki modal sosial berupa “gotong royong” yang tidak dimiliki oleh banyak bangsa lain.
Di saat bencana melanda, tidak ada yang bertanya apa agamamu atau apa sukumu sebelum mengulurkan tangan.
Itulah intisari dari pesan Natal, yakni kasih yang melampaui segala sekat. Semangat inilah yang harus diekspor ke luar negeri.
Indonesia memiliki kewajiban moral untuk menjadi perantara damai (
peace broker
) di tingkat dunia, dimulai dengan menunjukkan teladan dalam penyelesaian konflik domestik secara elegan dan bermartabat di ranah domestik.
Dari Yerusalem yang sedang berduka, saya akhirnya menyadari betapa mahalnya harga kedamaian.
Saya melihat anak-anak yang kehilangan masa depan karena kebencian yang diwariskan secara turun-temurun. Sehingga besar harapan saya, jangan sampai Indonesia jatuh ke dalam lubang yang sama.
Kekuatan kita terletak pada kemampuan kita untuk memaafkan dan berdialog. Indonesia harus bangga bahwa di tengah dunia yang terus memanas, Indonesia tetap menjadi oase di mana azan dan lonceng gereja masih bisa saling bersahutan dalam harmoni serta harum dupa masih ada, meskipun tantangan hidup semakin berat.
Mari kita rayakan Natal tahun ini dengan kesadaran baru bahwa di balik setiap kesulitan ekonomi dan duka akibat bencana, kita masih memiliki “negara” yang utuh. Kita masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri.
Pesan damai dari Indonesia harus menjadi mercusuar bagi negara-negara yang sedang bertikai di Timur Tengah, Afrika, hingga Eropa Timur. Kita harus mengatakan kepada dunia bahwa perdamaian adalah satu-satunya jalan keluar bagi kelangsungan hidup umat manusia.
Sekali lagi saya ingin menyampaikan bahwa refleksi Natal kali ini seharusnya menjadi ajakan untuk pulang ke jati diri kita sebagai bangsa yang santun dan pemaaf.
Mari kita bawa pesan damai ini ke pasar-pasar yang sedang mengalami tekanan permintaan, ke desa-desa yang baru saja dihantam banjir, dan terutama ke pegunungan serta pesisir di tanah Papua.
Biarlah cahaya terang Natal tahun ini, menyinari lorong-lorong gelap kecurigaan dan menggantinya dengan harapan atas masa depan yang lebih inklusif. Sehingga Indonesia bisa menjadi laboratorium perdamaian dunia yang paling nyata.
Jika kita berhasil menyelesaikan persoalan internal kita, termasuk Papua, dengan jalan damai, maka Indonesia tidak hanya akan menjadi negara yang maju secara ekonomi, tetapi juga menjadi kompas moral bagi peradaban dunia yang sedang kehilangan arah ini.
Selamat menyambut Natal untuk saudara-saudaraku di seluruh pelosok tanah air. Dari kejauhan, doa saya menyertai setiap langkah kita dalam merajut kembali kain tenun kebangsaan yang selama ini telah menjadi kebanggaan kita semua.
Tetaplah menjadi pembawa damai, karena di tangan mereka yang mencintai kedamaianlah, masa depan dunia sedang dititipkan.
Damai di bumi, damai di hati, dan damai untuk Indonesia tercinta. Selamat merayakan Natal 2025.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Refleksi Natal: Damai di Hati dan Damai Tanah Airku
/data/photo/2025/12/25/694ce8fe7f05e.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)