FAJAR.CO.ID, JAkARTA — Pakar hukum tata negara, Prof. Jimly Asshiddiqie menyoroti lemahnya penegakan hukum sebagai sumber utama kemarahan publik terhadap aparat kepolisian.
Menurut dia, kemarahan masyarakat terhadap aparat kepolisian sejatinya bukan soal keamanan, melainkan soal keadilan dalam penegakan hukum.
“Polisi itu bagian dari sistem penegakan hukum. Karena mereka berada di garis depan, merekalah yang pertama dimarahi. Padahal, persoalannya sampai ke hulu, termasuk dunia kehakiman. Semua ini butuh pembenahan dan penataan ulang,” ujarnya.
Dia mengatakan berbagai peristiwa kerusuhan dan aksi kekerasan yang terjadi dalam rentang Agustus–September lalu, mencerminkan akumulasi kemarahan dan kekecewaan publik terhadap sistem perwakilan formal dalam politik nasional.
“Yang dibakar bukan hanya kantor polisi, tetapi juga kantor DPRD, bahkan terjadi penjarahan rumah anggota DPR. Ini menunjukkan adanya sumbatan serius dalam saluran aspirasi rakyat. Sistem politik kita harus dikaji ulang,” tutur mantan ketua Mahkamah Konstitusi itu dalam keterangan diterima di Jakarta, Kamis (25/12/2025).
Ketua Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian itu mendorong dilakukannya pengkajian ulang konstitusi, yakni Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 guna mengakomodasi aspirasi publik yang mencuat belakangan ini.
Prof Jimly menyebut kaji ulang konstitusi, termasuk evaluasi menyeluruh terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia, merupakan salah satu agenda yang perlu mendapat perhatian serius.
“Bahkan, ada kalangan aktivis yang menulis buku tentang reset Indonesia. Sayangnya, diskusi buku itu justru dibubarkan. Padahal, yang dimaksud reset itu bukan destruktif, tetapi menata ulang sistem politik, sosial, dan ekonomi kita agar lebih sehat,” kata Jimly.
