Sehingga, menurutnya, terdapat perbedaan karakter yang menimbulkan ketegangan dalam praktik pemerintahan sehari-hari.
“Polisi adalah aparat yang memegang prinsip satu komando, sementara budaya organisasi sipil bertumpu pada dialog dan ruang perbedaan pendapat sebelum kebijakan diambil,” paparnya.
Kondisi ini juga diprediksi dapat melemahkan supremasi sipil yang menjadi salah satu fondasi penting bagi negara demokratis. Jika keputusan ini tetap ditempuh dan keputusan MK tidak dijalankan secara substantif, ia menilai akan ada kemunduran dalam tata kelola pemerintahan.
Menurutnya, dalam negara demokratis, sudah sepantasnya institusi sipil dipimpin oleh warga sipil karena jika polisi terlibat malah akan melemahkan kontrol sipil atas aparatur negara yang berasal dari polisi. Hal ini tentu dapat berdampak pada kemunduran semangat reformasi yang telah dibangun atas tujuan dalam memisahkan peran militer, kepolisian, dan birokrasi sipil.
“Kembalinya polisi aktif ke jabatan sipil bisa dianggap sebagai langkah mundur dari reformasi pasca 1998 dan berpotensi melemahkan kontrol sipil atas aparatur negara,” ujar dosen UGM itu.
Lebih lanjut, ia menekankan jika keputusan MK tidak dijalankan secara substantif dapat berpotensi menimbulkan risiko panjang dalam legitimasi kebijakan publik dan mengganggu stabilitas pemerintahan.
Pejabat sipil yang kehilangan legitimasi sosial akan menghadapi kesulitan dalam mengeksekusi kebijakan karena muncul resistensi sosial dan minimnya dukungan politik.
Hal ini tentu dinilai berbahaya bagi efektivitas pemerintahan dalam jangka panjang. Dengan aktifnya anggota polisi menduduki jabatan di 17 institusi sipil memunculkan polemik yang memperpanjang kegaduhan politik akibat masyarakat yang kurang setuju akan keputusan tersebut. (Pram/fajar)
