Pengelolaan Aset Sitaan Dinilai Lemah Meski Negara Menang di Pengadilan

Pengelolaan Aset Sitaan Dinilai Lemah Meski Negara Menang di Pengadilan

JAKARTA — Indonesian Audit Watch (IAW) menilai praktik penyitaan aset hasil kejahatan di Indonesia selama puluhan tahun masih menyisakan persoalan serius pada tahap pengelolaan. Meski negara kerap menang di pengadilan dan berhasil merampas aset, kemenangan itu sering berbalik menjadi kerugian ketika aset harus dicatat, dirawat, dan dimanfaatkan untuk kepentingan publik.

Sekretaris Pendiri IAW Iskandar Sitorus mengatakan, temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selama bertahun-tahun menunjukkan pola yang berulang. Aset rampasan kerap mangkrak, nilainya menyusut, biaya pemeliharaan membengkak, dan tanggung jawab pengelolaan tidak jelas di antara institusi penegak hukum.

“Secara historis, fakta hukum, audit negara, dan pengalaman delapan dekade Republik Indonesia seharusnya menjadi pelajaran. Kita sering menang di pengadilan, tapi kalah di neraca negara,” ujar Iskandar di Jakarta, Senin, 22 Desember.

IAW menelusuri akar persoalan tersebut sejak awal kemerdekaan. Menurut Iskandar, Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda memang menjadi simbol kedaulatan negara. Namun, keberanian politik itu tidak dibarengi kehati-hatian fiskal.

“Perkebunan, pabrik, bank, dan perusahaan strategis beralih menjadi milik negara tanpa neraca awal, tanpa penilaian independen, dan tanpa audit. Negara belajar merampas tanpa menghitung,” katanya.

Kajian BPK pada 2007 terhadap BUMN hasil nasionalisasi, lanjut Iskandar, menunjukkan nilai historis aset-aset tersebut tidak pernah tercatat secara sistematis dalam pembukuan negara. Ia menyebut kondisi itu sebagai “dosa asal” tata kelola kekayaan negara.

Masalah serupa berlanjut pada era berikutnya. Penetapan Presiden Nomor 11 Tahun 1963 dan Undang-Undang Nomor 5/PNPS/1959 memberi kewenangan luas untuk menyita aset pihak yang dianggap subversif. Namun, banyak aset sitaan kala itu tidak pernah masuk ke sistem keuangan negara.

“Penyitaan berubah menjadi tindakan kekuasaan, bukan proses hukum yang akuntabel. Ini preseden berbahaya,” ujar Iskandar.

Memasuki Orde Baru, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP memang mengatur kewenangan penyidik dan penuntut umum atas barang sitaan dan rampasan. Namun, menurut IAW, KUHAP tidak pernah merancang tahapan akhir pengelolaan aset negara.

“Tidak ada batas waktu penyimpanan, tidak ada kewajiban menyerahkan ke pengelola kekayaan negara, dan tidak ada standar penilaian nilai aset,” katanya.

Kegagalan desain hukum itu, menurut Iskandar, tampak jelas dalam skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Berdasarkan LHP BPK Nomor 01/III/3/2004, penilaian aset tidak independen dan pencatatan tidak terpadu menyebabkan potensi kerugian negara mencapai Rp138,4 triliun.

“Negara tidak hanya dirugikan oleh kejahatan, tapi juga oleh salah kelola aset rampasan,” ujarnya.

IAW juga menyoroti ketidaksinkronan regulasi di era reformasi. Di satu sisi, Undang-Undang Tipikor memperkuat perampasan aset hasil korupsi. Di sisi lain, Undang-Undang Keuangan Negara dan Perbendaharaan Negara menegaskan seluruh kekayaan negara harus dikelola Menteri Keuangan sebagai single custodian.

“Dua rezim hukum ini berjalan sejajar tapi tidak pernah benar-benar bertemu,” kata Iskandar.

Dampaknya terlihat dalam temuan BPK beberapa tahun terakhir. LHP BPK 2020 mencatat sekitar 34 persen aset rampasan di KPK mengalami penyusutan nilai lebih dari 50 persen sebelum dilelang, dengan waktu tunggu rata-rata 3,2 tahun dan biaya perawatan hampir Rp48 miliar per tahun. Sementara itu, LHP BPK 2022 pada Kejaksaan Agung menemukan 1.247 aset senilai Rp2,3 triliun berstatus hukum tidak jelas.

Data Direktorat Jenderal Kekayaan Negara pada 2024 juga menunjukkan hanya sekitar 45 persen aset rampasan yang tercatat sebagai Barang Milik Negara dalam satu tahun setelah putusan berkekuatan hukum tetap.

“Tanpa pembenahan serius, perampasan aset akan terus menjadi kemenangan semu. Negara menang di meja hijau, tetapi kalah dalam mengelola kekayaan publik,” pungkas Iskandar.