Menakar Dampak Makro-finansial dari Bencana Alam

Menakar Dampak Makro-finansial dari Bencana Alam

Bisnis.com, JAKARTA – Setiap bencana alam, keprihatinan pertama publik tertuju pada direct impact seperti korban jiwa, warga yang kehilangan tempat tinggal, serta rumah dan infrastruktur yang rusak.

Hal ini wajar, karena dimensi kemanusiaan harus berada di garis depan. Namun di balik itu, terdapat indirect impact dalam bentuk konsekuensi ekonomi yang perlu kita pahami lebih dalam.

Bencana yang melanda pulau Sumatera belakangan ini bukanlah kejadian yang berdiri sendiri, tapi merupakan bagian dari pola bencana alam yang terus berulang. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan bahwa jumlah bencana alam di Indonesia terus meningkat pada beberapa tahun terakhir.

Hal ini juga sejalan dengan publikasi dari INFORM risk index yang menyatakan bahwa risiko hazard and exposure Indonesia sangat tinggi yaitu 7.1 (dari skala 10), jauh melebihi risiko negara-negara di kawasan yang hanya sebesar 4.5. Menariknya, risiko tersebut tidak hanya disumbang oleh faktor alam namun juga karena disebabkan oleh faktor manusia.

Bencana yang terjadi di tiga provinsi yaitu Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada kurun waktu November dan Desember 2025 bukan bencana biasa. Hal itu terkait dengan intensitas dampak bencana yang luas.

Salah satu ukuran untuk menghitung besaran intensitas dampak bencana adalah jumlah orang yang terdampak, baik yang meninggal, mengungsi, maupun rumah yang terdampak, dibagi jumlah populasi daerah bencana. Perhitungan dengan menggunakan data BNPB sepanjang 11 November hingga 10 Desember 2025 menunjukkan bahwa lebih dari 1% penduduk di tiga provinsi tersebut terdampak secara langsung oleh bencana.

Mengacu pada standar internasional yang dipakai secara luas, intensitas bencana alam sebesar ini dapat dikategorikan sebagai bencana yang parah atau severe disaster. Literatur terkait dampak ekonomi dari bencana menyimpulkan bahwa severe disaster akan secara signifikan dan lebih persisten dirasakan dampak secara ekonomi dan finansial.

Mengutip riset yang dilakukan penulis dengan judul Macro-financial Effects of Climate-related Disasters: Evidence from Indonesia, bencana merupakan gangguan pada sisi suplai (supply shock) yang dapat mengakibatkan perlambatan pertumbuhan ekonomi, kenaikan inflasi, dan risiko bagi stabilitas sistem keuangan pada jangka pendek.

Dampak negatif ini dapat secara persisten berlanjut ke periode-periode selanjutnya bila tidak ada respons kebijakan yang cepat dari Pemerintah dan instansi terkait lainnya.

Dampak makro tersebut dapat dijelaskan melalui beberapa saluran yang saling berkaitan sebagai berikut: Pertama, pendapatan masyarakat menurun. Ketika aktivitas ekonomi terhenti akibat bencana, pekerja harian atau pelaku usaha kecil langsung kehilangan sumber pendapatan. Banyak dari kelompok rentan ini tidak memiliki bantalan keuangan sehingga dampak bencana secara cepat dirasakan dalam konsumsi sehari-hari.

Pelemahan pendapatan jika dibiarkan akan menjalar ke melemahnya daya beli dan turunnya permintaan agregat.Kedua, harga pangan dan barang kebutuhan lainnya meningkat.

Akses transportasi yang terputus, distribusi barang yang terhambat, dan menipisnya stok barang di daerah bencana, membuat harga-harga meningkat. Tekanan harga ini dirasakan baik pada level produsen maupun konsumen.

Ketiga, dampak sektoral yang lebih luas. Kerusakan peralatan atau lokasi usaha di tengah keterbatasan modal kerja serta melemahnya daya beli masyarakat menyebabkan dunia usaha terganggu.

Riset empiris menyebutkan bahwa dampak secara sektoral terjadi secara luas, baik sektor pertanian, industri pengolahan, maupun jasa-jasa. Keempat, risiko kredit yang meningkat. Pada saat pendapatan masyarakat dan dunia usaha menurun, mereka akan memprioritaskan pengeluaran yang lebih mendesak dan besar kemungkinan akan menang-guhkan cicilan kredit.

Jika hal ini terjadi secara terus menerus, kualitas kredit akan menurun dan menjadi risiko bagi stabilitas sektor keuangan. Respons kebijakan Pemerintah yang cepat dan terorganisasi menjadi sangat penting untuk mengatasi dampak bencana tersebut.

Dalam jangka pendek, Pemerintah harus memprioritaskan pencairan dana bantuan bencana kepada rumah tangga, tidak hanya untuk kelangsungan hidup masyarakat, namun juga untuk memulihkan kon-sumsi.

Pemulihan konsumsi menjadi langkah awal pemulihan dunia usaha. Selain itu, Pemerintah bekerja sama dengan Bank Indonesia dan instansi terkait perlu segera memulihkan pasokan pangan untuk mengurangi tekanan inflasi. Lebih lanjut, dukungan likuiditas kepada UMKM dan relaksasi atau restrukturisasi kredit yang terukur dapat memitigasi penurunan kualitas kredit lebih lanjut.

Dalam jangka yang lebih panjang, pembangunan kembali infrastruktur dasar akan menjadi katalis pemulihan pertumbuhan ekonomi kawasan bencana.

Pada akhirnya, bencana alam bukan sekedar peristiwa lingkungan, namun juga kejadian ekonomi yang memiliki biaya nyata yang saling terkait. Kecepatan pemulihan dampak ekonomi dan finansial tersebut sangat tergantung pada cepat atau lambatnya pemulihan pascabencana oleh Pemerintah.