OTT Kepala Daerah: Terus Menangkap atau Mulai Mencegah?
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
OPERASI
tangkap tangan kembali terjadi. Kepala daerah kembali ditangkap. Publik kembali terkejut—atau justru tidak lagi benar-benar terkejut.
Dalam beberapa bulan terakhir, Komisi Pemberantasan Korupsi kembali menjerat bupati dan wali kota aktif. Modusnya tidak jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya: proyek, izin, dan relasi kuasa yang diperdagangkan.
OTT selalu hadir sebagai klimaks. Ia dramatis, tegas, dan menegangkan. Namun, OTT juga kerap menutupi pertanyaan yang lebih mendasar: mengapa pola ini terus berulang?
Mengapa kepala daerah—yang lahir dari pemilu langsung dan legitimasi rakyat—begitu rentan terseret korupsi?
Setiap OTT menegaskan bahwa
korupsi kepala daerah
bukan anomali. Ia bukan kecelakaan tunggal, melainkan gejala dari sistem yang terus memproduksi risiko.
Menyederhanakan persoalan ini sebagai kesalahan moral individu hanya akan membuat kita terjebak pada siklus yang sama: tangkap, vonis, lalu ulangi.
Dalam konteks pemerintahan daerah, korupsi sering kali tidak muncul secara tiba-tiba. Ia tumbuh perlahan, sejak sebelum kepala daerah dilantik.
Akar persoalannya bukan hanya pada kekuasaan yang disalahgunakan, tetapi pada kekuasaan yang sejak awal dibeli dengan harga mahal.
Pilkada langsung membawa harapan demokrasi, tetapi juga membawa ongkos politik yang kian tak rasional. Biaya kampanye melonjak, kompetisi makin sengit, dan tuntutan logistik makin kompleks.
Dalam banyak daerah, ongkos politik tidak lagi sebanding dengan gaji dan fasilitas resmi kepala daerah selama masa jabatan.
Ketimpangan inilah yang menciptakan paradoks. Jabatan publik yang seharusnya melayani rakyat justru menuntut modal pribadi yang luar biasa. Dalam situasi seperti ini, politik berubah dari pengabdian menjadi investasi.
OTT KPK sering terjadi tak lama setelah kepala daerah menjabat. Ini bukan kebetulan. Tekanan untuk “mengembalikan modal” datang lebih cepat daripada proses adaptasi pemerintahan. Sponsor menunggu, tim sukses menagih, jaringan politik mengingatkan janji.
Tekanan ini tidak selalu diekspresikan secara vulgar. Ia hadir dalam bentuk permintaan halus, rekomendasi proyek, atau dorongan “memperhatikan” pihak tertentu. Di bawah tekanan semacam ini, garis antara kebijakan dan transaksi menjadi tipis.
High cost
politik melahirkan utang politik yang laten. Utang ini tidak diakui secara hukum, tetapi sangat nyata dalam praktik. Kepala daerah tidak berhadapan dengan bank, melainkan dengan relasi kuasa. Dan utang semacam ini tidak mengenal restrukturisasi.
OTT KPK sering kali membongkar lapisan terakhir dari utang politik tersebut. Suap yang tertangkap tangan bukan peristiwa pertama, melainkan ujung dari rangkaian relasi yang telah berlangsung sejak masa kampanye.
Desentralisasi memberi kepala daerah kewenangan luas. Di sinilah persoalan menjadi kompleks. Kewenangan atas anggaran, perizinan, dan birokrasi menciptakan ruang diskresi yang besar.
Dalam kondisi ideal, diskresi adalah alat pelayanan. Dalam kondisi tertekan, diskresi berubah menjadi komoditas.
Banyak OTT KPK menunjukkan bahwa kewenangan administratif dijadikan alat tukar. Proyek dipercepat, izin dilunakkan, jabatan diatur. Bukan karena kebutuhan publik, tetapi karena tekanan politik yang belum lunas.
Partai politik sering luput dari sorotan OTT. Padahal, mereka adalah aktor penting dalam mahalnya politik lokal. Proses pencalonan yang tidak sepenuhnya transparan membuat biaya politik menumpuk sejak awal.
Ketika partai gagal menjalankan fungsi kaderisasi, mereka secara tidak langsung mendorong lahirnya pemimpin yang rapuh secara etik.
OTT yang menjerat kepala daerah seharusnya juga menjadi cermin bagi partai: apakah mekanisme rekrutmen politik selama ini justru ikut menyiapkan lahan subur bagi korupsi?
Setelah OTT, sering terungkap bahwa praktik korupsi melibatkan jejaring birokrasi. Ini menunjukkan bahwa
high cost
politik tidak berhenti di kepala daerah. Ia merembes ke struktur pemerintahan.
Mutasi jabatan, pengisian posisi strategis, dan pengelolaan proyek menjadi bagian dari ekosistem balas jasa.
Birokrasi yang terseret dalam pusaran ini kehilangan profesionalisme. Negara dirugikan dua kali: oleh korupsi dan oleh rusaknya sistem pelayanan publik.
Frekuensi OTT justru memunculkan bahaya baru: normalisasi. Ketika penangkapan menjadi rutinitas, publik bisa kehilangan daya kejut. Korupsi tidak lagi dipandang sebagai kegagalan sistem, melainkan sekadar risiko jabatan.
Normalisasi ini berbahaya. Ia membuat kita puas pada penindakan, tetapi abai pada pencegahan. Padahal, OTT adalah alarm, bukan solusi akhir.
Data penegakan hukum menunjukkan ratusan kepala daerah dan wakilnya telah terseret kasus korupsi sejak era reformasi. OTT terbaru hanya menambah daftar panjang tersebut. Ini menegaskan bahwa persoalannya bersifat struktural dan berulang.
Jika setiap tahun kita menyaksikan OTT, tetapi tidak mengubah desain politik lokal, maka penindakan akan selalu tertinggal satu langkah dari korupsi.
Momentum OTT KPK seharusnya menjadi titik refleksi negara. Regulasi pendanaan kampanye, pengawasan Pilkada, dan akuntabilitas partai politik perlu dibenahi secara serius.
Negara tidak cukup hadir sebagai penindak, tetapi harus berani menjadi perancang sistem yang adil dan realistis.
Menekan biaya politik bukan melemahkan demokrasi. Justru sebaliknya, ia menyelamatkan demokrasi dari pembusukan yang berlangsung diam-diam.
OTT KPK adalah peringatan keras, bukan sekadar berita kriminal. Ia memberi pesan bahwa demokrasi lokal sedang sakit. Selama politik masih terlalu mahal, kepala daerah akan terus berada dalam dilema antara sumpah jabatan dan utang politik.
Korupsi pemimpin daerah bukan takdir. Ia bisa dicegah jika keberanian membenahi sistem lebih besar daripada kepuasan melihat penangkapan.
Momentum OTT seharusnya mendorong kita bertanya lebih jauh: apakah kita ingin terus menangkap, atau mulai mencegah?
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
OTT Kepala Daerah: Terus Menangkap atau Mulai Mencegah?
/data/photo/2025/12/21/6947cfa8193c1.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)