Bencana Alam Menguji Kecakapan Komunikasi Negara
Menulis adalah aktualisasi diri
Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
BENCANA
alam tidak pernah memberi aba-aba. Ia datang tiba-tiba, melampaui batas administratif, dan menguji bukan hanya ketangguhan infrastruktur, tetapi juga kecakapan komunikasi negara.
Dalam beberapa peristiwa bencana di Aceh, Sumatera Utara (Sumut) dan Sumatera Barat (Sumbar) pada akhir November 2025, satu persoalan berulang mencuat ke permukaan: impuls komunikasi pemerintah yang tersendat, tidak sinkron, dan sering kali membingungkan publik.
Pertanyaannya kemudian sederhana, tapi jawabannya tidak sesederhana itu: salah siapa?
Komunikasi yang terlambat sama bahayanya dengan bencana itu sendiri. Dalam situasi darurat, kecepatan dan kejelasan informasi adalah kebutuhan pokok, setara dengan logistik dan layanan medis.
Sayangnya, pada sejumlah kasus bencana di tiga provinsi tersebut, publik kerap menerima informasi terlambat, saling bertentangan, atau bahkan nihil pada jam-jam krusial.
Masyarakat tidak tahu harus mengungsi ke mana, jalur mana yang aman, siapa yang bertanggung jawab, dan bantuan apa yang sedang bergerak.
Kekosongan informasi ini menciptakan kepanikan, membuka ruang spekulasi, dan memperparah trauma korban.
Ketika negara gagal hadir secara komunikatif, ruang itu segera diisi oleh media sosial—sering kali dengan informasi yang belum terverifikasi.
Salah satu akar persoalan terletak pada fragmentasi kelembagaan. Pemerintah pusat, pemerintah provinsi, kabupaten/kota, BNPB, BPBD, TNI-Polri, hingga relawan bergerak di medan yang sama, tapi sering berbicara dengan bahasa berbeda.
Tidak jarang, pernyataan pejabat pusat tidak sejalan dengan kondisi faktual di lapangan yang disampaikan pemerintah daerah.
Di Aceh, misalnya, narasi pusat terkesan menenangkan, sementara warga lokal masih berjibaku dengan dampak bencana.
Di Sumut dan Sumbar, koordinasi lintas daerah sering tersendat oleh ego sektoral dan jalur komando yang tidak tegas.
Masalahnya bukan pada ketiadaan lembaga, melainkan pada absennya satu suara yang dipercaya publik.
Apakah ini murni salah pemerintah daerah?
Menyederhanakan persoalan dengan menyalahkan pemerintah daerah adalah pendekatan yang keliru. Banyak kepala daerah dan BPBD bekerja dengan sumber daya terbatas, baik anggaran, personel, maupun infrastruktur komunikasi.
Namun, pemerintah pusat juga tidak sepenuhnya bebas dari tanggung jawab. Sistem komunikasi kebencanaan nasional seharusnya dirancang untuk memotong hambatan birokrasi saat status darurat ditetapkan.
Jika impuls komunikasi masih menunggu rapat koordinasi, surat resmi, atau konferensi pers seremonial, maka sistem itu gagal menjalankan fungsinya.
Dalam kondisi darurat, komunikasi tidak boleh hierarkis; ia harus responsif.
Kehadiran negara tidak diukur dari jumlah pejabat yang turun ke lokasi atau banyaknya baliho bantuan. Ia diukur dari seberapa cepat dan jelas negara berbicara kepada warganya—dan lebih penting lagi, mendengarkan mereka.
Komunikasi kebencanaan seharusnya berorientasi pada korban, bukan pada citra. Bahasa yang digunakan harus lugas, empatik, dan operasional. Bukan jargon teknokratis yang justru memperlebar jarak antara pemerintah dan masyarakat terdampak.
Jadi, salah siapa?
Jawaban paling jujur: ini adalah kegagalan sistemik, bukan kesalahan tunggal. Kegagalan desain komunikasi kebencanaan yang belum menempatkan informasi sebagai instrumen penyelamat nyawa.
Tanpa pembenahan serius—mulai dari satu komando komunikasi, pelatihan juru bicara kebencanaan, hingga pemanfaatan teknologi informasi yang terintegrasi—peristiwa serupa akan terus berulang. Dan setiap keterlambatan komunikasi akan selalu dibayar mahal oleh masyarakat.
Dalam bencana, diam adalah dosa. Negara tidak boleh gagap ketika warganya paling membutuhkan suara yang menenangkan dan dapat dipercaya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Bencana Alam Menguji Kecakapan Komunikasi Negara
/data/photo/2025/12/20/6945e1a279ae4.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)