Jakarta: Dunia lari rekreasional di Indonesia tengah mengalami transformasi besar. Jika satu dekade lalu ajang fun run hanya dianggap sebagai hobi pengisi akhir pekan dan ajang berswafoto, kini pelari komunitas mulai bergeser ke arah pengejaran performa layaknya atlet profesional.
Fenomena tersebut ditandai dengan meningkatnya literasi pelari terhadap teknologi sepatu, terutama penggunaan pelat karbon (carbon plate).
Pergeseran paradigma ini terekam jelas dalam rangkaian Xtep 5K Fun Run Shoe Trial yang berlangsung di Bandung dan Jakarta. Kegiatan itu memberi kesempatan lebih dari 295 pelari komunitas mencoba beberapa tipe sepatu mulai dari 160X 7.0 Pro, 160X 6.5 Pro, 260X, hingga 360X 2.0.
Peserta diajak menjalani simulasi lari 5 kilometer dengan berbagai skenario, termasuk stride cepat, tanjakan, dan turunan ringan.
Pelari masa kini tidak lagi sekadar melihat warna atau keempukan sepatu di toko. Pelatih lari Ferry Junaedi mengatakan, pelari komunitas saat ini jauh lebih kritis dalam menilai parameter teknis.
“Mereka tidak lagi menilai sepatu hanya dari rasa empuk di awal. Fit, stabilitas, dan bagaimana sepatu bekerja setelah satu atau dua kilometer itu jauh lebih menentukan,” ujar Ferry.
Pentingnya pemahaman karakter sepatu ditekankan agar pelari dapat menjaga stride (langkah) tetap natural meski intensitas latihan meningkat. Hal ini krusial untuk menjaga keberlanjutan hobi lari tanpa bayang-bayang cedera.
Teknologi carbon plate yang dulu eksklusif bagi atlet elite, kini mulai menjadi standar baru di kalangan pelari rekreasional. Coach Tedjo dari gerakan Beyond The Miles menjelaskan bahwa kombinasi foam ringan dan pelat karbon membantu transisi langkah menjadi jauh lebih efisien, bahkan untuk jarak pendek sekalipun.
Senada dengan hal tersebut, pelari road race Nena Febrina menyoroti pentingnya pemilihan sepatu bagi pelari wanita seiring meningkatnya mileage (jarak tempuh) latihan. “Sepatu yang tepat membantu menjaga ritme tetap stabil saat masuk tempo pace,” ungkapnya.
Efrilla Maldini Sabila, seorang sprinter asal Bandung, memberikan perspektif teknis mengenai seri terbaru seperti 160X 7.0 Pro. Ia mencatat bahwa dorongan dari pelat karbon sangat krusial, terutama pada kilometer akhir saat stamina mulai terkuras.
Fenomena ini menegaskan bahwa batas antara pelari rekreasional dan kompetitif kini semakin tipis. Pelari Indonesia tidak lagi hanya mengejar keringat, tetapi juga mengejar sains olahraga (sports science).
Lari telah bertransformasi dari sekadar olahraga menjadi perjalanan serius menuju performa yang lebih baik. Dengan dukungan teknologi dan edukasi yang tepat, komunitas lari Indonesia tampaknya siap melangkah ke level yang lebih tinggi di kancah internasional.
Jakarta: Dunia lari rekreasional di Indonesia tengah mengalami transformasi besar. Jika satu dekade lalu ajang fun run hanya dianggap sebagai hobi pengisi akhir pekan dan ajang berswafoto, kini pelari komunitas mulai bergeser ke arah pengejaran performa layaknya atlet profesional.
Fenomena tersebut ditandai dengan meningkatnya literasi pelari terhadap teknologi sepatu, terutama penggunaan pelat karbon (carbon plate).
Pergeseran paradigma ini terekam jelas dalam rangkaian Xtep 5K Fun Run Shoe Trial yang berlangsung di Bandung dan Jakarta. Kegiatan itu memberi kesempatan lebih dari 295 pelari komunitas mencoba beberapa tipe sepatu mulai dari 160X 7.0 Pro, 160X 6.5 Pro, 260X, hingga 360X 2.0.
Peserta diajak menjalani simulasi lari 5 kilometer dengan berbagai skenario, termasuk stride cepat, tanjakan, dan turunan ringan.
Pelari masa kini tidak lagi sekadar melihat warna atau keempukan sepatu di toko. Pelatih lari Ferry Junaedi mengatakan, pelari komunitas saat ini jauh lebih kritis dalam menilai parameter teknis.
“Mereka tidak lagi menilai sepatu hanya dari rasa empuk di awal. Fit, stabilitas, dan bagaimana sepatu bekerja setelah satu atau dua kilometer itu jauh lebih menentukan,” ujar Ferry.
Pentingnya pemahaman karakter sepatu ditekankan agar pelari dapat menjaga stride (langkah) tetap natural meski intensitas latihan meningkat. Hal ini krusial untuk menjaga keberlanjutan hobi lari tanpa bayang-bayang cedera.
Teknologi carbon plate yang dulu eksklusif bagi atlet elite, kini mulai menjadi standar baru di kalangan pelari rekreasional. Coach Tedjo dari gerakan Beyond The Miles menjelaskan bahwa kombinasi foam ringan dan pelat karbon membantu transisi langkah menjadi jauh lebih efisien, bahkan untuk jarak pendek sekalipun.
Senada dengan hal tersebut, pelari road race Nena Febrina menyoroti pentingnya pemilihan sepatu bagi pelari wanita seiring meningkatnya mileage (jarak tempuh) latihan. “Sepatu yang tepat membantu menjaga ritme tetap stabil saat masuk tempo pace,” ungkapnya.
Efrilla Maldini Sabila, seorang sprinter asal Bandung, memberikan perspektif teknis mengenai seri terbaru seperti 160X 7.0 Pro. Ia mencatat bahwa dorongan dari pelat karbon sangat krusial, terutama pada kilometer akhir saat stamina mulai terkuras.
Fenomena ini menegaskan bahwa batas antara pelari rekreasional dan kompetitif kini semakin tipis. Pelari Indonesia tidak lagi hanya mengejar keringat, tetapi juga mengejar sains olahraga (sports science).
Lari telah bertransformasi dari sekadar olahraga menjadi perjalanan serius menuju performa yang lebih baik. Dengan dukungan teknologi dan edukasi yang tepat, komunitas lari Indonesia tampaknya siap melangkah ke level yang lebih tinggi di kancah internasional.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FZN)