Jakarta: Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengeluarkan Peraturan Kepolisian Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Polri yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi. Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul Jakarta, Prof Juanda, menilai aturan itu tidak bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Prof Juanda menjelaskan untuk menilai sebuah produk hukum itu benar atau tidak, sah atau tidak maka sarana menilai dan pengujinya dapat dilihat dalam perspektif formiel dan materiel. Secara formiel suatu produk hukum atau keputusan Pemerintah dapat dinilai tidak sah karena keliru atau tidak tepat mekanisme pembentukannya atau keliru pejabat yang mengeluarkannya atau produk hukum tersebut dikeluarkan oleh pejabat yang tidak berwenang.
“Misalnya Peraturan Kepolisian dikeluarkan oleh Kapolri tetapi dikeluarkan oleh bukan Kapolri,” jelasnya seperti dikutip Selasa, 16 Desember 2025.
Lebih lanjut, ia mengatakan secara materiel bahwa produk hukum yang diterbitkan tersebut secara materi muatan tidak sesuai dengan jenis produk hukum yang diatur di dalam UU No.12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan bertentangan dengan asas serta norma hukum yang lebih tinggi.
Misalnya bertentangan dengan asas dan norma yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Di dalam Pasal 5 UU tersebut telah mengatur bahwa dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.
“Pertanyaannya apakah Peraturan Kepolisian Nomor 10 Tahun 2025 ditemukan menyalahi aspek formiel dan materiel sebagaimana diuraikan di atas. Termasuk menyalahi dan bertenatngan dengan ke 7 (tujuh) asas yang dimaksud,” kata Juanda yang juga Ketua Dewan Pembina Peradi Maju Indonesia.
Juanda menyebut sepanjang tidak ditemukan kesalahan dari aspek formiel dan materiel maka Peraturan Kepolisian Nomor 10 Tahun 2025 sah. Namun seandainya ada yang pihak-pihak beranggapan atau menilai Peraturan Kepolisian tersebut keliru maka gunakan saja sarana hukum pengujiannya yang diatur di dalam Pasal 9 ayat (1) dan (2) yaitu;
(1) Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.
(2) Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.
“Artinya, sepanjang belum ada proses pengujian terhadap Peraturan Kepolisian Nomor 10 Tahun 2025 di Mahkamah Agung, maka secara asas maupun norma yang berlaku maka Peraturan Kepolisian dimaksud tetap sah berlaku dan memiliki daya laku, daya guna dan daya ikat,” bebernya.
Pernyataan tersebut diperkuat dengan asas hukum yang berlaku yang menyatakan produk hukum tetap sah, selama belum dinyatakan pembatalan oleh Pengadilan yang berwenang.
Juanda menjelaskan asas tersebut dikenal dengan Asas Presumption of Legality atau Presumption of Validity (Asas Dugaan Keabsahan), bagian dari Asas Presumptio Iustae Causa (dugaan adanya alasan yang sah) yang berarti produk hukum/ keputusan pemerintah dianggap sah dan berlaku sampai ada pembatalan resmi oleh Pengadilan.
Memperhatikan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XXIII/2025 tanggal 13 November 2025 yaitu;
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
“Sesungguhnya hanya frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” yang terdapat dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI yang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” terangnya.
Ia menambahkan selain frasa yang dinyatakan dalam “amar putusan” tersebut yang bertentangan maka secara hukum frasa lain di dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) tetap berlaku, oleh karena itu makna “jabatan di luar kepolisian “ yaitu jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian masih tetap berlaku dan memiliki daya ikat .
“Oleh karena itu maka putusan Mahkamah Konstitusi No.114/PUU-XXIII/2025 secara normatif sesungguhnya tidak memiliki implikasi hukum yang luas dan tidak berdampak pada penghapusan atau peniadaan hak Anggota Kepolisian Negara RI yang aktif untuk menduduki jabatan di luar Kepolisian, sepanjang mempunyai sangkut paut dengan kepolisian, mereka tidak harus mundur atau pensiun,” tegasnya.
Ia juga menekankan bahwa berdasarkan amar putusan MK No. 114/PUU-XXIII/2025 tersebut, tidak ada alasan dan dasar normatif yang kuat untuk dijadikan dasar untuk melarang bagi Anggota Polri menduduki jabatan yang memiliki sangkut pautnya dengan tugas-tugas kepolisian meskipun di luar institusi kepolisian.
“Tidak ada keraguan, rumusan demikian adalah rumusan norma yang expressis verbis yang tidak memerlukan tafsir atau pemaknaan lain,” imbuhnya.
Karena itu, menurutnya Mahkamah perlu menegaskan, “jabatan” yang mengharuskan anggota Polri mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian, dengan merujuk Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (UU 20/2023), jabatan tersebut adalah jabatan ASN yang terdiri atas jabatan manajerial dan jabatan nonmanajerial [vide Pasal 13 UU 20/2023].
“Kalimat di atas merupakan penegasan dari Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya. Dari pertimbangan hukumnya dimaksud, semakin memperkuat analisis dan argumentasi hukum saya yang sejak awal menilai bahwa permohonan pemohon dan putusan ini tidak ada implikasi hukum yang signifikan yang berujung pada suatu ketentuan yang melarang Anggota Polri untuk menjabat jabatan tertentu diluar struktur Kepolisian.
Dalam pandangannya, Amar putusan MK No.114/PUU-XXIII/2025 tersebut secara esensial hanya mempertegas bahwa;
1. Frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2. Terhadap kewajiban mengundurkan diri atau pensiun sebagaimana diatur dalam Pasal 28 yat (3) UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian RI adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian, dengan merujuk Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (UU 20/2023), jabatan tersebut adalah jabatan ASN yang terdiri atas jabatan manajerial dan jabatan nonmanajerial.
Juanda menyebut poin Angka 2 tersebut merupakan pendapat Mahkamah yang artinya, bahwa jabatan tertentu di luar Institusi Kepolisian yang mempunyai sangkut paut dengan tugas-tugas Kepolisian, tetap boleh dijabat oleh Anggota POLRI aktif dengan tidak perlu mundur, berhenti atau pensiun sepanjang mengikuti prosedur, mekanisme peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur di dalam UU No. 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara dan PP 11 tahun 2017 yang dirubah dengan PP 17 Tahun 2020 tentang Manajemen PNS.
“Ke depan yang penting menurut saya dalam rangka proses penempatan Anggota Polri dalam jabatan tertentu di luar Kepolisian adalah di samping mempedomani prosedur, mekanisme yang terdapat dalam UU ASN dan PP manejemen PNS juga harus mempedomani tentang ruang lingkup tugas yang mempunyai sangkut pautnya dengan kepolisian,” jelasnya.
Karena itu, menurutnya kedepan agar tidak menimbulkan polemik dan keliru maka sudah seharusnya diatur dalam Undang-Undang Kepolisian atau Peraturan pemerintah tentang jenis-jenis tugas jabatan tertentu yang mempunyai sangkut pautnya dengan tugas kepolisian. Hal itu penting diatur dalam rangka perubahan dan pembenahan UU Kepolisian RI di masa yang datang agar tidak menimbulkan masalah hukum dan salah tafsir.
“Namun sebelum adanya pengaturan ke dalam bentuk UU atau PP, pengaturan dalam Peraturan Kepolisian Negara RI Nomor 10 Tahun 2025 salah satu sarana hukum antara yang dimungkinkan untuk mengisi kekosongan norma yang ada. Dan oleh karena itu secara normatif Perpol No. 10 Tahun 2025 secara hukum substantif tidak bertentangan dengan Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025,” ungkapnya.
“Sebaiknya dimasa yang akan datang diperkuat untuk diatur pula di dalam Perubahan Undang-Undang Kepolisian atau Peraturan pemerintah yang terkait. Namun sebelum adanya pengaturan ke dalam bentuk UU atau PP, tentu pengaturan dalam Peraturan Kepolisian Negara RI Nomor 10 Tahun 2025 salah satu sarana hukum antara yang dimungkinkan untuk mengisi kekosongan norma yang ada.”
Jakarta: Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengeluarkan Peraturan Kepolisian Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Polri yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi. Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul Jakarta, Prof Juanda, menilai aturan itu tidak bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Prof Juanda menjelaskan untuk menilai sebuah produk hukum itu benar atau tidak, sah atau tidak maka sarana menilai dan pengujinya dapat dilihat dalam perspektif formiel dan materiel. Secara formiel suatu produk hukum atau keputusan Pemerintah dapat dinilai tidak sah karena keliru atau tidak tepat mekanisme pembentukannya atau keliru pejabat yang mengeluarkannya atau produk hukum tersebut dikeluarkan oleh pejabat yang tidak berwenang.
“Misalnya Peraturan Kepolisian dikeluarkan oleh Kapolri tetapi dikeluarkan oleh bukan Kapolri,” jelasnya seperti dikutip Selasa, 16 Desember 2025.
Lebih lanjut, ia mengatakan secara materiel bahwa produk hukum yang diterbitkan tersebut secara materi muatan tidak sesuai dengan jenis produk hukum yang diatur di dalam UU No.12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan bertentangan dengan asas serta norma hukum yang lebih tinggi.
Misalnya bertentangan dengan asas dan norma yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Di dalam Pasal 5 UU tersebut telah mengatur bahwa dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.
“Pertanyaannya apakah Peraturan Kepolisian Nomor 10 Tahun 2025 ditemukan menyalahi aspek formiel dan materiel sebagaimana diuraikan di atas. Termasuk menyalahi dan bertenatngan dengan ke 7 (tujuh) asas yang dimaksud,” kata Juanda yang juga Ketua Dewan Pembina Peradi Maju Indonesia.
Juanda menyebut sepanjang tidak ditemukan kesalahan dari aspek formiel dan materiel maka Peraturan Kepolisian Nomor 10 Tahun 2025 sah. Namun seandainya ada yang pihak-pihak beranggapan atau menilai Peraturan Kepolisian tersebut keliru maka gunakan saja sarana hukum pengujiannya yang diatur di dalam Pasal 9 ayat (1) dan (2) yaitu;
(1) Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.
(2) Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.
“Artinya, sepanjang belum ada proses pengujian terhadap Peraturan Kepolisian Nomor 10 Tahun 2025 di Mahkamah Agung, maka secara asas maupun norma yang berlaku maka Peraturan Kepolisian dimaksud tetap sah berlaku dan memiliki daya laku, daya guna dan daya ikat,” bebernya.
Pernyataan tersebut diperkuat dengan asas hukum yang berlaku yang menyatakan produk hukum tetap sah, selama belum dinyatakan pembatalan oleh Pengadilan yang berwenang.
Juanda menjelaskan asas tersebut dikenal dengan Asas Presumption of Legality atau Presumption of Validity (Asas Dugaan Keabsahan), bagian dari Asas Presumptio Iustae Causa (dugaan adanya alasan yang sah) yang berarti produk hukum/ keputusan pemerintah dianggap sah dan berlaku sampai ada pembatalan resmi oleh Pengadilan.
Memperhatikan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XXIII/2025 tanggal 13 November 2025 yaitu;
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
“Sesungguhnya hanya frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” yang terdapat dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI yang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” terangnya.
Ia menambahkan selain frasa yang dinyatakan dalam “amar putusan” tersebut yang bertentangan maka secara hukum frasa lain di dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) tetap berlaku, oleh karena itu makna “jabatan di luar kepolisian “ yaitu jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian masih tetap berlaku dan memiliki daya ikat .
“Oleh karena itu maka putusan Mahkamah Konstitusi No.114/PUU-XXIII/2025 secara normatif sesungguhnya tidak memiliki implikasi hukum yang luas dan tidak berdampak pada penghapusan atau peniadaan hak Anggota Kepolisian Negara RI yang aktif untuk menduduki jabatan di luar Kepolisian, sepanjang mempunyai sangkut paut dengan kepolisian, mereka tidak harus mundur atau pensiun,” tegasnya.
Ia juga menekankan bahwa berdasarkan amar putusan MK No. 114/PUU-XXIII/2025 tersebut, tidak ada alasan dan dasar normatif yang kuat untuk dijadikan dasar untuk melarang bagi Anggota Polri menduduki jabatan yang memiliki sangkut pautnya dengan tugas-tugas kepolisian meskipun di luar institusi kepolisian.
“Tidak ada keraguan, rumusan demikian adalah rumusan norma yang expressis verbis yang tidak memerlukan tafsir atau pemaknaan lain,” imbuhnya.
Karena itu, menurutnya Mahkamah perlu menegaskan, “jabatan” yang mengharuskan anggota Polri mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian, dengan merujuk Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (UU 20/2023), jabatan tersebut adalah jabatan ASN yang terdiri atas jabatan manajerial dan jabatan nonmanajerial [vide Pasal 13 UU 20/2023].
“Kalimat di atas merupakan penegasan dari Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya. Dari pertimbangan hukumnya dimaksud, semakin memperkuat analisis dan argumentasi hukum saya yang sejak awal menilai bahwa permohonan pemohon dan putusan ini tidak ada implikasi hukum yang signifikan yang berujung pada suatu ketentuan yang melarang Anggota Polri untuk menjabat jabatan tertentu diluar struktur Kepolisian.
Dalam pandangannya, Amar putusan MK No.114/PUU-XXIII/2025 tersebut secara esensial hanya mempertegas bahwa;
1. Frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2. Terhadap kewajiban mengundurkan diri atau pensiun sebagaimana diatur dalam Pasal 28 yat (3) UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian RI adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian, dengan merujuk Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (UU 20/2023), jabatan tersebut adalah jabatan ASN yang terdiri atas jabatan manajerial dan jabatan nonmanajerial.
Juanda menyebut poin Angka 2 tersebut merupakan pendapat Mahkamah yang artinya, bahwa jabatan tertentu di luar Institusi Kepolisian yang mempunyai sangkut paut dengan tugas-tugas Kepolisian, tetap boleh dijabat oleh Anggota POLRI aktif dengan tidak perlu mundur, berhenti atau pensiun sepanjang mengikuti prosedur, mekanisme peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur di dalam UU No. 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara dan PP 11 tahun 2017 yang dirubah dengan PP 17 Tahun 2020 tentang Manajemen PNS.
“Ke depan yang penting menurut saya dalam rangka proses penempatan Anggota Polri dalam jabatan tertentu di luar Kepolisian adalah di samping mempedomani prosedur, mekanisme yang terdapat dalam UU ASN dan PP manejemen PNS juga harus mempedomani tentang ruang lingkup tugas yang mempunyai sangkut pautnya dengan kepolisian,” jelasnya.
Karena itu, menurutnya kedepan agar tidak menimbulkan polemik dan keliru maka sudah seharusnya diatur dalam Undang-Undang Kepolisian atau Peraturan pemerintah tentang jenis-jenis tugas jabatan tertentu yang mempunyai sangkut pautnya dengan tugas kepolisian. Hal itu penting diatur dalam rangka perubahan dan pembenahan UU Kepolisian RI di masa yang datang agar tidak menimbulkan masalah hukum dan salah tafsir.
“Namun sebelum adanya pengaturan ke dalam bentuk UU atau PP, pengaturan dalam Peraturan Kepolisian Negara RI Nomor 10 Tahun 2025 salah satu sarana hukum antara yang dimungkinkan untuk mengisi kekosongan norma yang ada. Dan oleh karena itu secara normatif Perpol No. 10 Tahun 2025 secara hukum substantif tidak bertentangan dengan Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025,” ungkapnya.
“Sebaiknya dimasa yang akan datang diperkuat untuk diatur pula di dalam Perubahan Undang-Undang Kepolisian atau Peraturan pemerintah yang terkait. Namun sebelum adanya pengaturan ke dalam bentuk UU atau PP, tentu pengaturan dalam Peraturan Kepolisian Negara RI Nomor 10 Tahun 2025 salah satu sarana hukum antara yang dimungkinkan untuk mengisi kekosongan norma yang ada.”
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(RUL)
