Bisnis.com, JAKARTA – Transformasi ekonomi digital di Indonesia kini bukan lagi sekadar wacana, melainkan realitas yang mengubah fundamental pasar. Ketika algoritma menentukan harga dan otomatisasi menggeser peran manusia, tantangan bagi regulator persaingan usaha kian kompleks. Struktur pasar tradisional tergerus, menuntut aturan main baru yang lebih adil dan responsif.
Merespons dinamika ini, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menegaskan urgensi perombakan kerangka kebijakan nasional. Ketua KPPU, M. Fanshurullah Asa, menyebutkan bahwa pendekatan konvensional sudah usang menghadapi laju teknologi.
“Praktik dan tata kelola yang ada saat ini tidak lagi cukup untuk memenangkan persaingan global,” tegas Fanshurullah dalam pembukaan The Third Jakarta International Competition Forum (3JICF) 2025 di Menara Danareksa, Jakarta, Kamis (11/12/2025).
Menurut Fanshurullah, terutama dengan keanggotaan di BRICS dan di tengah persiapan aksesi Indonesia ke OECD serta berbagai perjanjian ekonomi komprehensif, KPPU mendorong tiga pilar strategis agar pengawasan persaingan tetap relevan: reformasi hukum yang progresif, penyelarasan standar internasional, dan evolusi dalam penegakan hukum.
Urgensi pembenahan regulasi ini diamini oleh Guru Besar Universitas Indonesia, Rhenald Kasali. Dalam pidato kuncinya, Rhenald menyoroti bagaimana teknologi telah menjadi “tangan tak terlihat” yang baru dalam persaingan usaha. Teknologi kini mendikte apa yang dilihat konsumen di layar gawai, bagaimana harga berfluktuasi secara real-time, hingga siapa pelaku usaha yang berhasil ditemukan di pasar digital.
Untuk menghadapi disrupsi ini, Rhenald merekomendasikan enam langkah kebijakan krusial, mulai dari penggabungan penegakan hukum pencegahan (ex-ante) dan penindakan (ex-post), peningkatan kemampuan forensik digital, hingga audit algoritmik berstandar internasional (BRICS). Ia juga menekankan pentingnya interoperabilitas data dan pengawasan merger yang lebih ketat agar tidak mematikan inovasi.
Forum 3JICF 2025 menjadi wadah krusial untuk membedah bagaimana negara lain merespons tantangan serupa. Mariam El Ghandour dari Egyptian Competition Authority (Mesir) memaparkan kerangka hukum hibrida di negaranya untuk menangani persekongkolan tender (bid rigging), yang mengombinasikan larangan perjanjian horizontal dalam UU Persaingan Usaha dengan kewajiban pelaporan kolusi dalam UU Pengadaan Publik.
Sementara itu, perspektif perlindungan konsumen di era digital disuarakan oleh Rachel Burgess dari Australian Competition and Consumer Commission (ACCC). Australia baru saja memperkuat regulasinya dengan sanksi penalti yang lebih berat dan perluasan perlindungan bagi usaha kecil, sebuah langkah yang relevan untuk diadaptasi di Indonesia mengingat besarnya populasi UMKM.
Forum internasional yang dihadiri lebih dari 200 peserta dari kalangan regulator, akademisi, dan organisasi internasional (termasuk OECD dan ASEAN) ini menyimpulkan satu hal, bahwa persaingan usaha yang sehat tidak bisa dicapai oleh regulator sendirian.
Wakil Ketua KPPU menutup forum dengan pesan kuat bahwa peningkatan kualitas persaingan usaha nasional membutuhkan “napas” baru. Hal ini mencakup perubahan regulasi yang fokus memberantas hambatan masuk pasar (bottleneck), kemudahan investasi, serta kolaborasi lintas lembaga dengan optimalisasi teknologi informasi. Tanpa langkah strategis ini, ekonomi digital Indonesia berisiko hanya menjadi pasar bagi pemain global, tanpa memberikan manfaat maksimal bagi pelaku usaha dalam negeri.
